OLEH: MUHAMMAD PLATO
Tahun 2018, “setelah melaksanakan
sedekah anak saya meniggal”. Kematian anak saya begitu mendadak. Hari kamis dan
Jumat saya antar anak ke sekolah. Dua hari itu ternyata catatan terakhir dalam hidup
saya mengantar anak ke sekolah. Sekitar 18 tahun sangat bisa dihitung jari
antar anak ke sekolah, Allah memberi kesempatan saya mengantar anak sekolah di
hari-hari terakhir kematiannya.
Hari-hari terakhir dia duduk di
jok depaan. Hari jumat hari terakhir saya antar anak sekolah, selama
diperjalanan anak terliam diam, tidak banyak bicara. Di benak saya bertanya,
kenapa tidak biasanya? Saya godain dia dengan menancap gas, dan mobil kecepatan
tinggi. Biasanya dia teriak histeris, dan tertawa-tawa. Kali itu hanya
tersenyum. Mobil kembali melambat.
Setelah hampir sampai sekolah,
dia turun 100 meter dari sekolah. Kemudian menyebrang jalan menuju sekolah.
Ketika dia menyebrang saya menatap anak itu agak lama. Badannya yang gemuk,
kulitnya yang sudah putih, terlihat saat itu sangat putih seolah bercahaya.
Tidak ada pikiran apa-apa kecuali bangga punya anak sehat dan semakin tumbuh
dewasa. Tidak disangka itu momen terakhir dengan buah hati saya.
Hari sabtu malam anak panas dan
minggu jam 9.00 kondisinya kritis. Anak langsung di bawa ke klinik terdekat.
Anak muntah darah kotor, sampai mengenai baju saya. Mulutnya kejang, dan
giginya kuat mengigit. Takut mengigit lidahnya, segera dikasih alat pengganjal.
Anak langsung dirujuk ke rumah sakit terbaik swasta di Bandung pakai ambulan
bersama Istri. Saya cari mushola, ambil air wudhu. Shalat dhuha enam rakaat,
memohon pertolongan Allah untuk diselamatkan disehatkan kembali dari penyakit.
Setelah itu saya berangkat mengendarai mobil dengan harapan anak bisa ditangani
dan sehat kembali.
Ditengah jalan menuju rumah sakit
terjadi perubahan, anak di bawa ke rumah sakit pemerintah terbesar di Bandung.
Masuk UGD dan ditangani sesuai prosedur, sebagai bukti pelayanan.
Dokter yang masih sangat muda,
mereka bilang kondisi kritis, kesadarannya sudah semakin menurun. Saya belum
sadar anak mau meninggal. Saya bacakan alfatihah, al Ikhlas, al Falaq, An Nas,
al Baqarah ayat 1-5, ayat qursi, dan ayat terakhir al Baqarah. Terlihat keluar
air mata dari matanya. Saya senang saya pikir dia akan kembali sadar, ternyata
itu adalah salam perpisahan.
Anak dipindah ke ruang picu yang
sempit, sangat pengap. Anak sedang dibuat napas buatan dengan pompa. Saya masih
punya harapan dia akan kembali sehat, ternyata itu hanya prosedural agar usaha
dikatakan maksimal.
Ketika sedang sakaratul maut
menjemput, dengan keyakinan saya transfer sejumlah uang ke nomor rekening panti
yang saya simpan di hand phone. Dengan harapan sehatkan kembali anak
kami ya Allah. Dalam hati saya menjerit memohon pertolongan Allah. Ketika nada
detak jantung berhenti, inilah rasa bagaimana hidup diruang hampa. Saya
menyaksikannya sambil memeluk istri. Hanya kata, sabar yang terucap, dan tubuh
yang masih hangat tapi tak bernyawa di bawa ke kamar mayat. Dalam hati berkata,
maafkan papi de…tidak bisa merawat, menyayangi, membahagiakan ade!
Kegundahan setelah itu adalah kepada
apa yang telah saya lakukan sebelum kematian anak. Kesimpulan pesimis muncul, shalat
dan sedekah tak bisa memanjangkan umur. Saya hanya menilai pada saat itu,
shalat dan sedekah harus membuat anak kembali sehat dan panjang umur. Saya
berpikir, “seharusnya kebaikan dibalas Allah dengan kebaikan, tetapi saat itu Allah
membalas dengan kesedihan yang sangat mendalam. Peristiwa kelam itu berlalu
hingga menjelang dua tahun.
Di meja makan yang biasa saya
jadikan tempat kerja, saya dan istri mengenang almarhum. Istri cerita, “almarhum
selalu datang dalam mimpi, ketika istri dan saya tidak berjiarah ke makamnya.
Dalam mimpi almarhum selalu berdua dengan anak perempuan. Kata istri, dia
adalah kakaknya, karena dulu istri saya pernah keguguran ketika usia kandungan yang
diprediksi sudah punya ruh”. Kata istri, “anak perempuan itu cantik, kulitnya
putih. Mukanya persis seperti ibunya”. Kadang, ketika kami tidak ziarah kubur
karena sibuk, ke dalam mimpi istri, almarhum datang dengan muka sedih, air
matanya mengalir dan mukanya memerah. Lalu istri saya kirim doa alfatihah dan
seolah dia bicara langsung. Istri saya berkata, “maaf ya de…, besok mami ziarah
sama papi, dia pun pergi”.
Kegundahan saya terjawab. Ketika
membaca sebuah buku saya menemukan hadis tentang sedekah. “Sedekah selain
memanjangkan umur, ternyata mencegah dari kematian yang buruk”. Dengan hadis
ini saya diskusi dengan istri mengenang proses kematian anak tercinta.
Masih kuat dalam ingatan saya, “di
hari sabtu malam anak sakit panas. Pagi jam 9.00 kritis. Dibawa ke klinik,
langsung rujuk ke rumah sakit. Menjelang Isa, anak tercinta menghembuskan nafas
terakhir. Waktunya begitu singkat, dengan hasil pemeriksaan dokter terkena
serangan virus meningitis. Sebelum kematian menjemput, ternyata ketika berada
di klinik, istri sudah melakukan sedekah dengan transfer uang ke panti. Praktek
sedekah ketika dalam kesulitan, memang sudah sering kami diskusikan dan lakukan,
mengacu kepada surat At Thalaq ayat 7. “Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”.
Intinya dikala sulit Allah perintahkan bersedekah.
Dari hadis yang saya baca di
buku, terjadilah diskusi. Lalu Istri berkesimpulan, “ade meninggal dengan mudah
dan tidak menyulitkan. Dari pengalaman teman-temannya, meningitis adalah
penyakit yang mematikan dan bisa berminggu-minggu perawatan di rumah sakit, dan
ujungnya meninggal. Ada pun yang selamat dari kematian, kondisinya sulit
dipulihkan. Lalu istri berkeyakinan, bahwa kematian Ade, bisa jadi jawaban
Allah dengan memudahkan kematiannya.
Memang proses kematian itu
berlangsung sangat cepat dan di luar dugaan. Tapi saat itu, kami berdua
menghadapinya dengan tenang dan sabar. Tidak ada jerit tangis, dan ratapan,
semuanya berjalan dengan penuh kepasrahan. Proses di kamar mayat pun tidak berlangsung
lama, prosedur pengurusan administrasi dan keuangan, tak satu peser pun kami
keluarkan, semuanya ada yang mengurus. Bantuan datang dari kakak, dan keluarga.
Ambulan menjemput dengan lancar dan kami diantar bersama mayat ke rumah, lalu
mayat dimandikan. Istri merasa heran,
kenapa saat itu bisa ikut memandikan dan tegar. Tiada lain ini adalah kebaikan
dari Allah, bahwa sedekah menghindarkan dari kematian yang buruk.
Hal yang mengherankan, setelah
beberapa bulan ade meninggal, teman-teman sekelasnya masih pada datang untuk
berziarah ke makam. Saya sempat berpikir, “ini sebuah persahabatan yang luar
biasa”. Sampai sekarang, sahabat, keluarga, istri dan saya, masih rutin menjiarahinya.
Orang-orang yang pernah mengenalnya, merasa kehilangan karena selama hidup
mereka mengatakan, “Ade anak yang supel dan menyenangkan”. Subhanalloh…apakah
ini balasan dari shalat dan sedekah yang kami kerjakan? Sebaik-baiknya tafsir
adalah berprasangka baik kepada Allah. Ya Allah beri kekuatan, kami akan shalat
dan bersedekah sampai bertemu dengan kematian. Wallahu’alam.