Wednesday, January 29, 2025

KELEMAHAN PENDIDIKAN PESANTREN

Oleh: Muhammad Plato

Kegagalan pendidikan pesantren adalah tidak menghasilkan ulama-ulama terbaik di zamannya. Doktrin guru kepada para santri terlalu kuat, hingga mengunci kemampuan berpikir para santri. Narasi guru sebagai orang paling berilmu, penghormatannya menjadi terlalu berlebihan sehingga menghilangkan sisi kemanusiaan dari sang guru. 

Kadang posisi guru di pesantren seperti pendeta. Guru menjadi orang yang harus didengar, dipatuhi, pemikiran, ucapan, dan tindakannya. Superioritas guru di pesantren kadang membuat akal para santri tidak berkembang, hanya membebek, dan keberaniannya hanya mengandalkan emosi. 

Tidak aneh jika kita sering menyaksikan sikap-sikap emosional santri ketika membela gurunya. Kemampuan santri mengendalikan emosi rendah karena akal kurang bekerja. Olah pikirnya kurang terlatih, karena harus mendengar satu narasi dari gurunya.

Kita juga sering melihat tindak-tanduk santri yang tidak masuk akal ketika memperlakukan gurunya. Jalan bebek ketika ketemu guru, mencium tangan bolak balik, dan memperlakukan guru sebagai orang suci yang tidak pernah salah.

Kondisi inilah yang membuat para santri rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di pesantren. Sebagai contoh, pimpinan ponpes cabuli puluhan santri (detikcom, 8/08/24). Pimpinan ponpes cabuli santriwati hingga hamil dan aborsi (tempo, 2/12/24). 

Ilmu yang diajarkan di pesantren bersifat turun-temurun, sehingga para santri kurang adaftif dengan perubahan zaman. Pendidikan pesantren terlalu kuat memegang madzab pemikiran sehingga memunculkan sikap curiga dan benci kepada pemikiran lain.

Bisa dipahami di dalam pendidikan agama ada hal-hal yang tidak berubah dari dulu hingga sekarang, yaitu ayat suci Al Quran. Namun pemikiran para ulama mengalami perkembangan. Ulama-ulama terdahulu mengembangkan pemikiran-pemikirannya untuk mempertahankan keyakinan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, agar tetap eksis dalam perubahan zaman.

Pendidikan pesantren kadang lebih terlihat ekslusif, sehingga menimbulkan sikap-sikap percaya diri santri berlebih. Hasilnya kadang mereka sering melihat orang lain tidak berilmu, dan tidak pantas ketika membahas agama dari sudut pandang lain, karena dirinya merasa lebih berhak.

Dalam pendidikan pesantren kultus kepada guru harus dikembalikan pada hal wajar. Guru adalah manusia biasa yang bisa salah, sehingga antara guru dan santri bisa saling belajar. Pesantren harus melatih santri-santri menjadi manusia-manusia bertauhid dan tetap kritis dalam menyikapi perubahan zaman.

Kita berharap dari pesantren lahir pemikir-pemikir hebat yang bisa mengimbangi perubahan zaman dengan tetap beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan pesantren adalah aset masyarakat dunia dalam menjaga akal manusia di dunia tetap sehat.***

No comments:

Post a Comment