Oleh: Muhammad Plato
"Kisah tentang Eril, anak lelaki kesayangan kami, hakikatnya adalah tentang cerita kita semua. Hakekat dari kita semua, pasti akan pulang. Dengan waktu, tempat dan cara yang kita tidak akan pernah selalu tahu. Hidup di dunia ini sesungguhnya adalah tentang perjalanan bukan tujuan.
Inspirasi ini diambil dari dialog dan narasi @ridwankamil, mengenang anaknya Eril yang meninggal terseret arus di Sungai Aare Swiss. Rasa duka itu seperti menular menelusuk hati bagi siapa yang mencoba hermenitik masuk ke dalam kalbu seorang ayah yang dilanda badai duka. Akan terasa sulit bangkit bagi orang-orang yang tidak punya kemutlakkan dalam hati dan pikirannya.
Takdir Allah adalah kemutakkan dalam hidup manusia. Takdir dapat dijelaskan dari perjalanan sejarah manusia. Maka Allah memerintahkan untuk berjalan-jalan di muka bumi ini. Bagaimana kesudahan kehidupan manusia. Kesudahan hidup manusia selalu ada dalam kemutlakkan yaitu kembali kepada Allah. Pesan tentang kemutlakkan hidup bagitu banyak dijelaskan dalam sejarah kehdiupan manusia.
Sejarah adalah kejadian yang tidak akan pernah berulang kembali karena waktu terus berjalan. Kejadian hari ini akan jadi kemutlakkan setelah menjadi masa lalu. Setiap hari kita mengalami dan menciptakan sejarah hidup kita sendiri. Lalu bagaimana orang-orang baik berksesudahan dalam hidupnya? Dan bagaimana kesudahan orang-orang yang dusta selama hidupnya?
Kemutlakkkan bagi orang-orang yang selalu berbuat baik untuk orang lain, akhir hidupnya adalah kebaikan. Sebaliknya orang-orang yang selalu berbuat buruk akhir kehidupannya akan mendapat keburukan. Akal sehat tidak akan mencampur adukkan kebaikan dengan keburukan. Akal sehat selalu berpikir kebaikan berbalas kebaikan, sekalipun kejadiannya buruk menurut pandangan manusia. Akal sehat akan berpegang teguh pada kemutlakkan bahwa kebaikan pasti berakhir dengan kebaikan.
Pesan untuk dunia, Allah memiliki kemutlakkan-kemutlakkan dalam hidup. Apapun persepsi manusia tentang kehidupan, kemutlakkannya sudah ditetapkan. Kita semua akan kembali dan mempertanggung jawabkan setiap perbuatan yang kita lakukan.
Tidak ada kekuasaan sedikitpun dimiliki oleh manusia. Negara maju negara berkembang, semua manusianya hidup dalam kemutlakkan yang telah Allah tetapkan. Bagi yang bersenang-senang silahkan bersenang-senang, tapi itu hanya sementara. Bagi yang menderita, bersabar dalam penderitaan, itu juga sifatnya sementara.
Hidup ini bukan masalah mencari makan, berilmu dan tidak berilmu, berkedudukan dan tidak berkedudukan. Hidup ini hanya berlomba berbuat kebaikan demi kembaikan. Sekecil apapun kebaikan itulah kebaikan yang akan berbalas kebaikan. Allah tidak memandang kebaikan besar dan kecil, karena hakikatnya setiap kebaikan berpeluang menjadi pemberat neraca keadilan.
Nabi Muhammad mengajarkan berbuatlah kebaikan (sedekah) sekalipun sebiji kurma, karena kebaikan kecil itu bisa jadi kelak menjadi pemberat neraca keadilan dihadapan Allah sebagai penentu kita penghuni surga. Siapapun yang hidup di Barat atau di Timur, semua akan dihimpun dalam satu momen untuk menghadapi pengadilan dihadapan Allah.
Orang Barat orang Timur yang beriman kepada Allah dan berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk mensejahterakan umat manusia, dia berpeluang menjadi orang-orang yang menempati sebaik-baiknya tempat yang disediakan Allah.***
No comments:
Post a Comment