OLEH: MUHAMMAD PLATO
Perang Rusia dengan
Ukraina menjadi sorotan dunia, namun kita tidak tahu apa motivasi sesungguhnya dibalik
perang yang dilakukan oleh kedua negara. Rusia jelas menjadi negara berkekuatan
besar tetapi jumlahnya tidak seberapa dibanding dengan kekuatan 27 negara tergabung
dalam NATO yang terdiri dari beberapa negara yang punya kekuatan militer besar
di dunia. Sesungguhnya, bukan Ukraina yang sedang berperang dengan Rusia tapi kekuatan
yang ada dibalik Ukraina. Dapat dipahami secara emosi, Rusia akan sangat marah
kepada Ukraina jika ingin bergabung dengan NATO. Tetangga dekat yang seharusnya
senasib dan sepenanggungan malah milih bergabung dengan rival. Kemarahan yang
sangat memuncak dari Rusia, maka dipilihlah jalan perang untuk menduduki
Ukraina, sebelum Ukraina keburu berubah menjadi bagian kekuatan NATO. Perang didasari
oleh psikologi dan emosi para pemimpin yang menjadi komandan tertinggi pasukan.
Dahulu, Nabi Muhammad
mengalami beberapa kali perang yang sangat menguras energi pikiran, hati, dan
tenaga. Dari peristiwa-peristiwa perang yang dialami Nabi, beredar sangkaan-sangkaan
di masyarakat dunia, Nabi Muhammad dianggap sebagai sosok yang menyebarkan Islam
dengan kekerasan, disimbolkan dengan pedang di tangan kanan dan Al-Qur’an di
tangan kiri. Isu ini disebarkan oleh orang-orang yang mencoba mempelajari sejarah
Islam tetapi tidak dilatarbelakangi oleh objektivitas fakta. Artinya kejujuran
sebagai nilai dasar bagi seorang ilmuwan tidak dipegang teguh. Sebagai seorang
muslim, penulis tidak hendak mengklarifikasi sangkaan-sangkaan buruk terhadap
Nabi Muhammad, tetapi penulis mencoba menyampaikan fakta dan dari fakta itu biarkan
semua orang berkseimpulan.
Fakta sejarah sifatnya netral, dan penafsiran sangat tergantung pada kultur memori yang dimiliki panafsir. Fakta bahwa perang Badar, Uhud, dan Khandaq adalah perang tidak seimbang. Berdasar fakta ini, secara psikologis sangat tidak mungkin pasukan kecil berniat melakukan ekspansi pada pasukan yang berjumlah besar.
Peperangan yang dialami
Nabi Muhammad jauh dari fakta sebagai agresi, tetapi tepatnya sebagai masa-masa
penderitaan Nabi Muhammad. Secara psikologis Perang Badar, Perang Uhud, dan
Perang Khandaq merupakan tekanan batin yang sangat hebat, menguji keimanan para
pengikut Nabi Muhammad. Rasa takut yang menghantui para pengikutnya pada saat
perang Badar, membuat Nabi berdoa dengan doa yang sangat mengiba dan “mengancam”
pada Allah, jika tidak ada pertolongan Allah maka tidak akan ada lagi manusia
yang menyembah Allah.
Kemenangan perang Nabi Muhammad bukan karena pasukan kecil yang dipimpin Nabi Muhammad, tetapi dalam rekaman sejarah di Al-Qur’an dikatakan;
"Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Anfaal, 8:17).
Kekuatan perang Nabi Muhammad, adalah bantuan dari Allah, akibat penderitaan, tekanan, teror, yang melampaui batas dialami Nabi dan pengikutnya dari orang-orang yang ingin memerangi kebenaran. Pada hakikatnya Allah akan menolong bangsa-bangsa, kelompok-kelompok yang mendapat tekanan dari bangsa atau kelompok lain yang melampaui batas.
Di bawah tekanan yang
hebat, maka emosi perang yang bangkit bukan untuk melakukan agresi atau
penjajahan, tetapi melakukan perlawanan untuk membela diri. Emosi untuk membela
diri inilah yang sampai kapanpun akan bangkit, menjelma menjadi kekuatan melebihi
kekuatan pasukan biasa. Seperti perlawanan bangsa Indonesia terhadap Penjajahan
Kolonial Belanda, nafsu perang pada saat itu untuk membela diri dari tekanan dan
kekerasan yang dilakukan pemerintah Kolonial Belanda. Kematian dalam perang menjadi
tebusan terbaik bagi orang-orang yang merasa bertahun-tahun tertindas dan
teraniaya.
Dalam catatan biografi
Nabi Muhammad SAW karya Muhammad Husain Haekal (2003, hlm. 305), dikisahkan Nabi
Muhammad pada saat usai perang Uhud sangat berduka cita, melihat mayat Hamzah
pamannya, dianiaya dengan membedah perutnya, Nabi merasa sangat sedih sekali
sehingga ia berkata; “takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau
ini. Belum pernah aku menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan
amarahku seperti kejadian itu”. Lalu katanya lagi, “demi Allah, kalau pada
suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan mereka, niscaya
akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah dilakukan oleh orang Arab”. Dalam
kejadian ini firman Allah turun:
“Dan jika kamu memberikan
balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik
bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih
hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa
yang mereka tipu dayakan”. (An Nahl, 16:126-127)
Sebagai Rasul, Nabi melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dalam ayat di atas. Tiba saatnya Nabi Muhammad dan 10.000 pengikutnya menaklukkan Mekah. Hari itu bukan jadi hari pembantaian, tetapi jadi hari pengampunan masal. Nabi Muhammad tidak mengingat kebencian, kekerasan, pelecehan, dan rencana-rencana pembunuhan yang telah dilakukan masyarakat Arab di masa lalu, Nabi Muhammad melaksanakan perintah Allah yang telah mengajarkan dalam Al-Qur;an;
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. Fushshiat, 41:34).
Nabi Muhammad
menginstruksikan tidak boleh ada darah setetespun ditumpahkan. Membalas
keburukan dengan keburukan hanya akan membuat lingkaran setan, yang melahirkan
keburukan terus berkelanjutan. Kemenangan perang akan diperoleh oleh bangsa-bangsa
yang tidak melampaui batas sekalipun dalam peperangan atau menjadi pemenang perang. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment