OLEH: MUHAMMAD PLATO
Indonesia itu beda dengan
Jepang, Jerman dan Amerika. Bertahuan-tahun berupaya untuk menyamakan budaya
hidup bangsa Indonesia dengan Jepang, Jerman, dan Amerika, ternyata kita harus
berpikir ulang. Apakah harus kita hidup seperti gaya negara-negara maju, atau
kita harus mengembangkan cara hidup yang sesuai dengan budaya kita sendiri?
Mendengar keluh kesah orang-orang di negara-negara maju, ternyata mereka juga
memiliki keluhan, hidup di negara maju terlalu keras sehingga menuntut mereka
bekerja keras dan tidak bisa menerima kegagalan berujung dengan bunuh diri.
Mereka mencemooh cara hidup orang-orang Indonesia, tetapi disisi lain setelah
mereka bergaul dengan cara-cara hidup orang Indonesia, mereka menikmatinya
karena hidup di Indonesia cenderung rileks dan menyenangkan sehingga mereka
memilih tinggal di Indonesia berbaur dengan masyarakat dan alam Indonesia yang
pada dasarnya ramah.
Bisa jadi, orang-orang Belanda
bersikukuh ratusan tahun untuk menguasai Indonesia, karena masyarakat dan alam
Indonesia sangat menawan hati orang Belanda. Bisa jadi pula orang-orang
Indonesia selalu merasa gagal karena terlalu fokus dengan gaya hidup
negara-negara maju, dan lupa bahwa di mana tempat dipijak di situ langit
dijunjung. Artinnya bangsa Indonesia gagal menjunjung tinggi budaya-budaya hidup
bangsa Indonesia sendiri yang tidak kalah dengan negara-negara maju di dunia. Negara-negara
maju dengan budaya rasionalistik mereka sangat hitung-hitungan dalam mengaruhi
kehidupan, karena materalis menjadi ukuran pokok mengukur keberhasilan hidup.
Sedangkan Indonesia sebagai negara religius, memandang kehidupan sebagai tempat
tinggal sementara sehingga cara berpikirnya sangat fleksibel. Bagi orang
Indonesia dunia materi bukan satu-satunya tempat ruang hidup, ada ruang hidup
lain yang akan dijalani yaitu ruang yang kekal di alam setelah kematian.
Kekuatan bangsa Indonesia
bisa bertahan dalam kondisi sulit, karena harapan hidupnya tidak hanya diukur oleh
dunia materil, tetapi oleh keberhasilan hidup yang non materil yang tidak
diukur oleh kepemilikan sesuatu yang materil. Kaya dan miskin menjadi sesuatu
yang tidak tendensius menjadi perbedaan kualitas hidup. Hidup orang kaya dan
orang miskin sama-sama berpeluang gagal dan sukses di dunia. Ukuran kesuksesan
bagi orang-orang Indonesia yang religius adalah bagaimana hidupnya berakhir
dalam jalan kebaikan. Ketika akhir hidupnya berada dalam jalan kebaikan, tidak
dipandang kaya atau miskin dialah sesungguhnya orang-orang sukses di dunia
materil.
Indonesia sebagaimana
negara-negara maju, hidup dengan hukum tata negara, norma adat, budaya, dan
agama. Penyelesaian-penyelesaian masalah tidak selalu selesai di meja hukum
tata negara, karena bangsa Indonesia punya norma adat, budaya, dan agama. Inilah
keunggulan bangsa Indonesia dalam menyelesaikan masalah. Konflik-konfik yang
terjadi di Indonesia selalu bisa terselesaikan tanpa konflik terbuka. Norma
adat, budaya dan agama selalu berhasil meredam atau menyelesaikan masalah-masalah
sosial di masyarakat hingga berujung pada perdamaian. Bisa jadi inilah penyebab
mengapa Indonesia bisa jadi negara demokrasi dengan ciri khas unik sebagai
demokrasi lobi (dialog) ala Indonesia.
Alam demokrasi di Indonesia selalu melibatkan lobi-lobi antara tokoh adat, budaya, dan agama. Sekalipun rumit tetapi bangsa Indonesia selalu berhasil keluar dari konflik terbuka, dan tetap hidup berdampingan. Inilah uniknya bangsa Indonesia berbeda dengan Jepang, Jerman, Amerika, Korea, dan Rusia. Sekalipun alam demokrasi terus berkembang, namun sikap saling menghargai terhadap norma adat, budaya, dan agama tetap terpelihara. Demokrasi di Indonesia tidak menghilangkan norma-norma yang ada tetapi lebih mengakomodasi seluruh norma yang ada menjadi sebuah harmoni kehidupan damai dan sejahtera. Demokrasi Indonesia menjadi tempat lobi-lobi seluruh unsur norma yang ada menjadi sebuah rajutan, mozaik, atau hexagonal yang tampak indah.
Kecerdasan bangsa Indonesia
berbeda dengan bangsa Jepang, Jerman dan Amerika. Bangsa Indonesia cenderung memiliki
kecerdasan inter dan antar personal. Pandai bermain peran sebagaimana diimpelemtasikan
dalam politik luar negeri Indonesia bebas aktif. Orang Indonesia tidak hipokrit
tetapi pandai membaca peluang dan menempatkan posisi dimana posisi
menguntungkan. Sikap ini terbentuk karena kondisi alam Indonesia serba ada, dan
keteteran untuk mengolahnya. Norma adat, budaya, dan agama, dalam setiap
keputusan memandu agar selalu terjadi keharmonisan hidup bermasyarakat dan
bernegara. Pertimbangan-pertimbangan norma adat, budaya, dan agama, pada tataran
implementasi selalu ikut memengaruhi keputusan hukum dan politik.
Bagi orang Jepang,
Jerman, Amerika, mungkin tata cara hidup seperti ini sangat rumit dan sulit
dipahami. Lalu mereka membuat stereotif prilaku orang Indonesia buruk, berdasar
sudut pandang budaya yang mereka miliki. Stereotif ini disebarluaskan melalui
berbagai macam cara, seperti tekanan politik, bantuan keuangan, substansi
pendidikan, beasiswa pendidikan, ideologi, dan riset-riset yang menyudutkan
Indonesia. Tujuannya agar budaya yang mereka miliki bisa sama-sama dimiliki
orang Indonesia, sehingga mereka lebih mudah memasuki dan memengaruhi bangsa
Indonesia.
Setelah bertahun-tahun
merdeka, Indonesia tetap Indonesia. Norma adat, budaya, dan agama sangat
mengakar kuat dalam kepribadian bangsa Indonesia. Di era informasi global, kita
bisa saling menilai bahwa setiap bangsa punya kelebihan dan kekurangan. Untuk
itulah Sukarno menyampaikan sebuah pesan dari Al-Qur’an; “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujurat, 49:13).
No comments:
Post a Comment