Oleh: Muhammad Plato
Al-Qur’an jika kita
renungkan adalah kitabnya para pandidik. Sejarawan memendang Al-Qur’an adalah
sumber primer dalam bentuk fakta mental (mentifact). Seluruh isi
Al-Qur’an mengandung pelajaran untuk manusia yang mau memikirkanya. Konsep
pendidikan di dalam Al-Qur’an adalah mengajarkan kepada manusia untuk melakukan
refleksi diri karena karena seluruh kejadian yang diterima secara individu
maupun kelompok adalah hasil dari perbuatannya.
Utusan-utusan itu
berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu
diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang
melampaui batas". (Yasin, 36:19).
Konsep dasar ini banyak
dijelaskan di dalam Al-Quran dalam berbagai kasus. Pada intinya manusia punya
kebiasaan menyalahkan orang lain, dan bagi orang-orang yang diberi petunjuk
setiap kejadian yang menimpa dirinya akan menjadi bahan refleksi diri. Inilah
konsep berpikir yang harus diajarkan para pendidikan pada siswa. Konsep dasar
ini menjadi pola berpikir baku dan sudah menjadi takdir atau ketetapan dari
Allah. Manusia-manusia yang terlalu fokus pada kesalahan orang lain adalah
manusia tidak terdidik dan melampaui batas yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Jika kita mengacu kepada Al-Qur’an sedikitnya ada tiga dasar pendidikan yang harus diajarkan yaitu, membaca, keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah atau berbuat baik pada sesama. Gagasan ini dimulai dari perintah membaca (Al ‘Alaq, 96:1), keyakinan pada Tuhan, dan bersedekah (Al Baqarah, 2:3). Tiga gagasan ini menjadi konsep dasar pendidikan yang harus diajarkan dalam berbagai macam materi ajar, media dan pendekatan pembelajaran.
Pertama; Mengapa membaca
(literasi) menjadi dasar pendidikan? Secara filosofis segala yang dapat
dilakukan dan diciptakan oleh manusia sumbernya adalah pengetahuan. Abas &
Wekke (2019) mengatakan bahwa agama sebenarnya bersumber dari pengetahuan. Keyakinan
pada Allah sumbernya pengetahuan, dan teknologi yang diciptakan sumbernya
pengetahuan. Arwani (2012) menjelaskan bahwa Tuhan sebagai sumber pengetahuan
dan kebenaran, dan manusia sebagai aktor pencari pengetahuan. Dalam teori
fenomenologi, pengetahuan diketahui berdasarkan kesadaran orang yang
mengalaminya, karena itu penngetahuan hanya dapat diamati oleh orang yang
mengalaminya (Asih, 2005). Dari sudut pandang fenomenologi, kesadaran seseorang
tentang sebuah pengetahuan menjadi tanggung jawab seseorang. Ide ini berkaitan
dengan pengajaran Al-Qur’an, bahwa segala sesuatu pada akhirnya menjadi
tanggung jawab pribadi.
Dasar pendidikan kedua;
keyakinan pada Tuhan yang ghaib. Keyakinan pada Tuhan yang ghaib
implementasinya adalah percaya pada pengetahuan yang diturunkan dari Tuhan yaitu
kitab suci yang substansinya tentang adanya kehidupan setelah kematian yaitu
akhirat. (baca: Al Baqarah, 2:4). Berkeyakinan pada Allah pemilik pengetahuan
dan alam akhirat, pada prakteknya harus
menjadi ide ajaran etika dan moral dalam kehidupan sehari-hari manusia. Alam
akhirat yang dijelaskan Allah sebagai alam kekal menjadi pembangun harapan dan
optimisme manusia untuk berbuat kebajikan atas nama Tuhan. Allah mengatakan
orang-orang yang hidup dengan keyakinan pada Tuhan, alam akhirat, dan berbuat
baik pada sesama, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang beruntung.
“Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung”. (Al Baqarah, 2:5).
Eksistensi Tuhan harus
dijadikan sebagai wujud segala pengharapan manusia. Segala sesuatu yang
dikerjakan manusia di muka bumi harus bersandar pada pengharapan baik yang
digantungkan pada Tuhan. “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap” (Alam Nasyrah, 94:8). Erich Fromm (1968) dalam bukunya “Revousi
Harapan” menjelaskan harapan adalah hasrat atau keinginan. Harapan kepada
rumah, mobil, perkakas, bahkan ke masa depan sejarah adalah berhala. Harapan
ini harapan-harapan palsu yang diciptakan manusia yang dimulai pada masa
Revolusi Perancis. Harapan bersifat paradoksional. Bukan pekerjaan pasif,
tetapi keadaan yang siap setiap saat menunggu kedatangan yang akan datang, dan
sekalipun tidak datang tidak putus asa. Psikologi harapan ini hanya bisa
diwujudkan ketika manusia berharap kepada Tuhan sebagai pemberi harapan.
Dasar pendidikan ketiga;
menngeluarkan sebagai harta atau sedekah. Konsep sedekah bermakna luas yaitu
hidup bermanfaat bagi sesama. Sedekah adalah karakter yang dapat membentuk
manusia-manusia penyejahtera yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Karakter
sedekah harus menjadi pola pikir (mindset) yang dipraktekkan dalam
kebiasan-kebiasan memberi diajarkan dalam bentuk pendidikan karakter atau
pembiasaan. Murakami (2013, hlm. xix) menjelaskan manusia tersusun dari banyak
sel. Di dalam sel tertulis kode rahasia yang luar biasa banyaknya. Salah satu
cara untuk mengaktifkan DNA yang baik yaitu hidup dengan memikirkan kepentingan
orang lain dan untuk kebaikan dunia, berpikir optimis dan bersyukur. Hidup
memikirkan orang lain, berpikir optimis, dan bersyukur adalah bawaan yang
terdapat dalam kode DNA.
Mengeluarkan sebagian
harta yang diajarkan dalam kitab suci Al-Qur’an, berkaitan dengan mengaktifkan
DNA baik, untuk membentuk karakter manusia-manusia penyejahtera yang sudah
terdapat dalam kode DNA-nya manusia. Memberi akan membawa efek positif pada
pikiran dan perasaan, serta mendatangkan sikap-sikap bersyukur dalam arti
menerima dan mengoptimalkan sesuatu yang telah dimilikinya menjadi lebih
bermanfaat untuk orang lain.
No comments:
Post a Comment