OLEH: MUHAMMAD PLATO
Puncak dari keimanan seseorang adalah keyakinan haqul yakin,
yaitu keyakinan yang tidak ada ada pertanyaan dari akal, dan tidak ada lagi
keraguan hati. Rupanya keimanan akan terus mengalami pasang surut mengikuti
pembenaran dari akal dan ketetapan dari hati. Keimanan yang kita bangun, demikian
juga keyakinan tidak lepas dari berfungsinya akal dan hati.
Sehabis subuh, sambil berdzikir melakukan refleksi diri.
Teringat pada isi buku Abdu Kadir Jailani, dia mengatakan, “akal dan nafsu kita
adalah berhala”. Berhala ini bisa menghalangi kita untuk taat kepada Tuhan. Bisa
juga berhala ini menjadi kendaraan kita untuk menjadi manusia pengabdi kepada
Tuhan. Akal dan nafsu hanya sebatas alat, tergantung pada pengetahuan dan
lingkungan mana yang banyak memengaruhinya.
Kebanyakan Muslim, kadang kurang pengetahuan tentang kitab
suci dan sunnah Rasulnya. Kekurangan pengetahuan menyebabkan segala sesuatu
pengetahuan tentang agamanya di serahkan kepada seseorang yang belum tentu
pengetahuannya banyak tentang kitab suci dan hadist. Akibat kekurangan
pengetahuan, akal dan hatinya diserahkan kepada seseorang untuk dikendalikan
mengikuti apa kata orang itu tanpa ada pikiran kritis dari akal, dan tanpa ada
lagi keraguan dari hati. Sementara kualitas orang yang diserahi akal dan nafsu
hati itu tidak dijamin menjadi orang yang selalu benar.
Membangkitkan pertanyaan di akal atau menghadirkan keraguan dalam hati, bukan untuk mempertanayakan adanya Tuhan, tetapi mempertanyakan tentang isi pikiran akal kita, dan keimanan yang ada dalam hati kita, apakah sudah benar-benar memiliki keimanan kepada Tuhan yang satu-satunya wajib diimani? Atau selama ini kita telah beriman karena dilandasi bukan keimanan pada Allah tetapi dilandasi karena madzab, aliran, kelompok, kepentingan, kecintaan pada manusia, dan lain-lain.
Ternyata berhala itu ada dalam akal dan hati kita sendiri. Hakikat
berhala bukan gunung, laut, pohon, patung, atau teknologi. Semua yang kita lakukan diputuskan
oleh akal dan didorong oleh hati. Dua berhala ini sangat bertanggung jawab atas
apa-apa yang kita lakukan di dunia. Dua berhala inilah yang kelak akan diadili Tuhan
di hari perhitungan.
Dua berhala ini harus kita kendalikan dengan memperbanyak
pengetahuan-pengetahuan tentang kebajikan yang bersumber pada kitab suci, dan hadits,
dikombinasikan dengan pengetahuan-pengetahuan rasional empiris. Kebenaran kitab
suci jangan dibatasi dengan kebenaran rasional akhirat belaka, tetapi kitab
suci membawa kebenaran-kebenaran rasional empiris. Kebenaran-kebenaran sains
yang bersumber pada kebenaran rasional empiris dibutuhkan untuk meningkatkan
keimanan. Kebenaran-kebenaran rasional akhirat adalah kabar baik yang tetap
akan membangun harapan manusia tidak akan pernah pudar dan selalu optimis.
Dua kebenaran yaitu kebenaran rasional empiris dan rasional akhirat
harus berpijak pada pengetahuan yang kita yakini sumbernya dari Tuhan. Kitab
suci, hadits harus kita elaborasi untuk memadukan rasional empiris dan rasionl
akhirat dapat memandu cara pandang pikiran dan perasaan kita dalam menyelesaikan
berbagai permasalahan yang timbul dalam kehidupan di dunia.
Akal dan hati itu berhala yang bisa membawa kehidupan manusia
pada kesesatan. Akal dan hati yang melekat pada tubuh adalah pengendali seluruh
kehidupan kita. Jadi sesat dan tidaknya manusia bukan bersumber pada luar diri
manusia, tetapi bersumber pada manusia itu sendiri. Tugas manusia agar selalu
berada di dalam lingkaran kebaikan maka menciptakan lingkungan yang baik untuk
dirinya dengan memperbanyak bacaan-bacaan yang baik, kitab suci, hadits, ilmu
pengetahuan, dan membuat kelompok-kelompok yang cinta pada kebaikan, yaitu ulama,
kiyai, filsuf, guru, budayawan, relawan, dll. Kelompok ini dibentuk bukan untuk
membuat kekuatan politik atau persaingan, tetapi membangun hubungan baik dengan
orang-orang yang punya keberanian untuk mengingatkan diri kita jika kita melakukan
kesalahan.
Akal dan hati adalah berhala yang kita waspadai, bukan
berarti harus kita benci dan hindari, tetapi harus kita rawat keduanya agar
bisa jadi kendaraan kita menuju kehidupan terbaik dikehidupan akhirat. Merawat akal dan hati adalah dengan memberi
input pengetahuan-pengetahuan yang baik tentang kebajikan yang pondasinya
bersumber pada kitab suci, hadits, dan kebenaran-kebenaran rasional empiris,
agar seluruh tindakan yang kita dilakukan selalu berada di jalan Tuhan. Namun
selama kita hidup tidak akan pernah ada kata akhir dalam pencarian, kecuali setelah
kematian. Jadi selama kita hidup tidak akan ada kemutlakkan 100 persen, harus
dibukakan peluang untuk melakukan perubahan mungkin 5 persen, 10 persen, bahkan
mungkin sampai 30 persen. Dengan demikian akal dan hati kita akan selalu terjaga
dari sifat-siat setan yang memberhalakan dirinya seperti Tuhan. wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment