OLEH: MUHAMMAD PLATO
Selain imam besar Al-Ghazali (w.
505 H.), salah satu tokoh terkenal berpengaruh dikalangan umat Islam adalah
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, lahir tahun 470 H/1077 dan wafat tahun 561
H/1166. Beliau dikenal sebagai tokoh
pendidikan ruhani dan akhlak. Salah satu karya bukunya adalah Jawahir al-Fath
al-rabbani. Ringkasan inti sari bukunya sudah dapat dinikmati, dalam karya
terjemahan, sehingga sedikit-demi sedikit banyak orang bisa menikmati
kecerdasan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam mengelola ruhani dan akhlak.
Kajian ini akan membuktikan bahwa siapapun orangnya, ketika megembangkan pola
pikir dari Al-Qur’an akan memiliki persamaan-persamaan pola pikir. Untuk itu
siapapun orangnya jika belajar dari pola pikir Al-Qur’an rasa persatuan dan
hidup damainya akan muncul. Al-Qur’an jika kita kaji dari sudut pandang pola
pikir, dapat dikatakan sebagai kitab pemersatu.
Orang-orang yang memahami pola
berpikir Al-Qur’an maka pemikiran-pemikirannya akan bersentuhan dengan
ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulan saya, seluruh isi pola pikir yang ada dalam Al-Qur’an
menjadikan manusia akan tetap menghambakan diri kepada satu Tuhan. Nasihat-nasihat Syeh Abdul Qadir Jailani tidak lepas dari pola pikir beliau yang bersumber pada Al-Qur’an
sebagai induk pengetahuan.
Syekh berkata, “dalam keramaian engkau muslim tapi dalam kesendirian kau bukan muslim”. Nasihat ini ingin mengingatkan bahwa manusia sering terjebak kepada pandangan selain Tuhan. Pada saat dilihat orang penampilannya selalu baik, selalu berusaha tampil baik, tetapi pada saat sendirian, hanya Tuhan yang melihat prilaku baik dilupakan. Oleh karena itu kemusliman seseorang tidak dapat dilihat dalam keramaian tetapi justru pada saat kesendirian yaitu saat hanya Tuhan yang menyaksikan. Pada saat kesendirian sebenarnya ujian besar bagi manusia untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar baik karena selalu ingin dilihat baik oleh Tuhan, dan pada saat keramaian kebaikannya akan tetap berfokus pada penglihatan Tuhan. Berikut sumber pemikiran Syekh;
Dan bila mereka berjumpa
dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah
beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka
mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah
berolok-olok". (Al Baqarah, 2:14)
Selanjutnya Syekh berkata, “manusia
paling pandai adalah yang taat pada Allah, sedangkan manusia paling bodoh
adalah manusia yang maksiat kepada-Nya”. Saya pernah mengatakan, “secerdas-cerdasya
orang Atheis dia bodoh, dan sebodoh-bodohnya orang beriman pada Tuhan Yang Esa,
dia cerdas”. Dua pernyataan ini memiliki konsep pola pikir yang sama, bahwa
manusia tanpa keyakinan pada Tuhan akan bertemu dengan Kesia-sian yang abadi,
dan manusia dengan keyakinan pada Tuhan setidaknya dia akan mendapat balasan
segala perbuahan baik yang pernah dilakukannya dari Tuhan. Orang-orang Atheis
memilih dunia sebagai kehidupan terakhir, dan orang-orang beriman setelah dunia
berakhir masih punya harapan hidup di dunia setelah kematian. Jadi orang-orang
Atheis harapannya terbatas, dan orang-orang beriman harapannya tanpa batas.
Orang Atheis memilih dunia yang fana, sementara orang beriman memilih dunia
yang kekal. Sepertinya orang-orang beriman itu terlihat bodoh, tapi kebodohan
sesungguhnya adalah mereka yang tidak percaya Tuhan. Berikut sumber pemikiran
dari Syekh;
“Apabila dikatakan kepada
mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman",
mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh
itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang
bodoh, tetapi mereka tidak tahu.” (Al Baqarah, 2:13)
Kemudian Syekh memberi nasihat, “Kurangi
kesenangan, perbanyak kesedihan, sebab, saat ini engkau benar-benar berada di
negeri kesedihan dan negeri penahanan”. Logika ini dapat dipahami jika
orang-orang punya keyakinan pada kehdiupan dunia dan akhirat. Dua dunia ini punya
karakter berbeda. Bagi orang-orang yang taat kepada Tuhan, karakter dunia saat ini
sifatnya banyak mengandung kesedihan, kesulitan, kepayahan, dan penderitaan.
Dunia seperti penjara karena orang-orang beriman kemanapun pergi merasa dilihat
oleh Tuhan. Orang orang beriman tidak memiliki kebebasan untuk berbuat jahat,
sekalipun dari kejahatan yang hanya diniatkan. Kejahatan yang yang dilakukan
orang-orang beriman akan jadi penyesalan seumur hidupnya. Maka orang-orang
beriman akan terbiasa dengan kesedihan, kesulitan, dan hanya sedikit mencicipi
kesenangan dunia. Namun demikian karena orang-orang beriman terbiasa dengan
kesedihan dan kesulitan, maka pribadi-pribadi orang beriman akan tampil sebagai
pribadi tangguh dan dapat diandalkan. Kesulitan dan kesedihan karena jadi
kebiasaan maka seluruh hidupnya menjadi kesenangan karena harapannya dibangun
bukan diatas kesenangan sesaat sekarang, tetapi ada kesenangan yang dijanjikan
pasti didapatkan yaitu setelah kematian. Logika berpikir seperti ini, bersumber
pada keterangan Al-Qur’an sebagai berikut;
“Maka hendaklah mereka tertawa
sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka
kerjakan.” (At Taubah, 9:82)
Nasehat Syekh selanjutnya, “Tidaklah
ada suatu nikmat kecuali di sampingnya ada siksaan. Tidakah ada suatu kemudahan
kecuali bersamanya ada kesulitan, tidak ada suatu kelapangan kecuali setelahnya
ada kesempitan”. Saya pernah mengatakan bahwa kesulitan itu sebab dan
kesuksesan itu akibat, maka tidak ada kesuksesan tanpa kesulitan. Kesimpulan
saya adalah orang-orang sukses itu pasti mengaami kesulitan, kegagalan, dna
penderitaan. Semakin besar kesulitan yang dihadapi seseorang maka akan semakin
besar pula keberhasilan yang akan diperolehnya. Sumber pemikiran ini saya
kembangkan dari ayat Al-Qur’an di bawah ini:
“Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
(Alam Nasyrah, 94:5-6)
No comments:
Post a Comment