OLEH: MUHAMMAD PLATO
Kawan-kawan ada cerita
menarik untuk disimak bagi siapa saya yang ingin dekat dengan Tuhan. Di media
sosial banyak orang-orang baik saling membantu antar sesama. Saya suka sekali
melihat mereka saling tolong menolong, dan hati ini terasa mengembang
menyaksikannya. Saya melihat mereka yang berbuat baik, tidak melihat latar
belakang agamanya, karena pakaiannya biasa-biasa saja tidak mencirikan seorang
penganut agama tertentu. Dan saya juga tidak tahu apakah mereka membantu sesama
manusia atas nama Tuhan, atau karena empati saja pada penderitaan orang lain
atas dasar kemanusiaan.
Mungkin kawan-kawan
berpikir, untuk berbuat baik, tidak perlu bawa-bawa Tuhan. Tapi Tuhan itu ada
dan menciptakan kita, mengapa kita tidak boleh bawa-bawa Tuhan dalam kehidupan
kita? Masalah ini dari masa ke masa, dari generasi ke generasi terus jadi
perbincangan tidak ada ujungnya. Sampai akhir nanti hal ini jadi perbincangan antar
sesama manusia.
Di media sosial saya tonton ada orang mati suri, menceritakan pengalamannya ditayangkan di stasiun televisi
nasional. Bagi saya, orang yang punya pengetahuan dari kitab suci, cerita
pengalaman orang mati suri itu sama dengan cerita isi kitab suci. Semua
ceritanya seperti apa yang diceritakan dalam kitab suci, bahwa setiap orang
akan diadili sesuai dengan perbuatannya di dunia. Teman setianya seseorang kelak
adalah perbuatan-perbuatan baik yang pernah dilakukannya di dunia.
Pengetahuan ini membuat
rasa takut di hati, apakah kelak amal-amal baik saya bisa menemani hidup saya
di alam akhirat, atau amal baik saya kalah sama amal buruk yang pernah saya
lakukan? Pengetahuan ini membuat saya sadar diri untuk mengimbangi setiap
perbuatan buruk dengan perbuatan baik. Tindakan yang saya lakukan berdasar pada
kesadaran bahwa setelah kematian akan ada kehidupan dan pengadilan berdasar
pengetahuan awal yang saya miliki dari kitab suci. Tanggapan tentang pengalaman
mati suri akan berbeda jika pengetahuan awal yang dimiliki bukan dari kitab
suci seperti mitos, tradisi, atau sains.
Pengetahuan awal yang kita miliki menentukan Tuhan itu ada atau tidak ada. Anak-anak yang dikeluarganya tidak diajarkan tentang keberadaan Tuhan, dia tidak akan mengenal Tuhan. Jadi, pada dasarnya Tuhan itu ada dalam pengetahuan, kemudian kesadaran dan menjadi tindakan. Untuk membangun kesadaran perlu kegiatan berulang-ulang. Maka dari itu tindakan ibadah ritual rutin setiap hari salah satu dampakanya adalah menghadirkan kesadaran adanya Tuhan setiap hari. Dalam agama Islam untuk membangun kesadaran dilakukan ritual shalat lima waktu dan dhuha 12 rakaat. Kegiatan ini bisa jadi program pendidikan bagi anak-anak yang muslim.
Fenomena kehidupan dunia
yang material memang terus menggiring kita jadi makhluk material murni. Di
Amerika sebagai contoh negara maju, sejak tahun 1960an nilai agama mulai
memudar. Tahun 1986, seorang Provesor di New York University, Paul Vitz,
meluncurkan buku mengungkap bahwa potret agama secara perlahan hilang dari
konteks sekolah. Dalam buku teks sekolah kata kata Tuhan diedit dan hilang.
Kata-kata syukur dengan ungkapan “thank God” diubah dengan “thank
Goodnes”. (Lickona, 2019, hlm. 66). Survey anak-anak di Amerika dengan
latar belakang agama berbeda mengatakan bahwa sesuatu yang buruk sudah jelas
tidak boleh dilakukan karena itu merugikan orang lain. Kesadaran tidak
melakukan hal buruk tidak mereka hubungkan dengan ajaran agama yang mereka anut,
tetapi lebih kepada alasan rasional kemanusiaan.
Selanjutnya, di Amerika ada upaya memasukkan
kembali agama pada pelajaran budaya Amerika dan Sejarah. Hukum-hukum dasar
moral yang universal dapat diajarkan di sekolah seperti berlaku adil dan peduli
sama sesama, dapat diajarkan secara religius kepada masyarakat beragama.
(Lickona, 2019, hlm. 69). Kita tidak mengikuti Amerika, tetapi kesadaran tentang
keberadaan Tuhan sudah kembali digalakan dan dirasakan kebutuhannya oleh
masyarakat di dunia.
Allah berwujud tapi tidak
dapat dilihat, Dia berbicara tetapi kita tidak mendengarnya. Tuhan ada dalam kesadaran
manusia. Jika kita berdo’a kepada Tuhan, maka hanya dengan kesadaran bahwa Tuhan
mengabulkan doa kita. Untuk membangun kesadaran adanya Tuhan dibutuhkan pengetahuan
(knowing), pembuktian (feeling), dan tindakan (action). Setelah mengetahui
tidak mungkin memiliki perasaan jika tidak pernah membuktikan.
Tuhan ada dan menetapkan hukumnya
bahwa setiap kebaikan akan berbalas kebaikan dan setiap perbuatan buruk akan
berbalas keburukan. “Jika kamu berbuat baik kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika
kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri,” (Al Israa, 17:7).
No comments:
Post a Comment