OLEH: MUHAMMAD PLATO
Tidak ada satu orang manusia pun
tidak berpikir. Ketika lingkungan memengaruhi, guru menasehati, pedagang merayu,
setan membisiki, seseorang menghembuskan permusuhan, maka setiap orang akan
mengambil keputusan berdasar keputusannya sendiri, baik dalam keterpaksaan
maupun sukarela.
Madzab lahir karena dalam Islam
memperbolehkan ijtijhad, sebagaimana Allah memerintahkan berpikir kepada setiap
orang. Ijtihad perseorangan tidak berlaku untuk umum kecuali untuk dirinya
sendiri. Namun karena beraneka ragam kemampuan, ada orang yang mengikuti
pemikiran seseorang yang dianggap mampu memahami Al-Qur’an sampai timbul
keterikatan dan timbullah madzab.
Islam mengakui bahwa hak untuk
berijtihad dimiliki oleh semua pribadi yang dapat berpikir lurus dan mampu menyelidiki,
baik pria maupun wanita, raja atau kaula, pegawai negeri yang terkemuka ataupun
seorang warga-warga biasa. (Shaltout, 1961, hlm. 130). Dalam berijtihad, Islam
tidak mengenal seorang pun yang kebal membuat kekeliruan, kecuali Nabi Muhammad
SAW dalam soal wahyu. Para ulama yang besar atau kerabat Nabi SAW yang
terdekat, akan mudah berbuat kekeliruan. (Shaltout, 1961, hlm. 131).
Penggunaan ijtihad perseorangan
sangat luas setelah masa kedua khalifah yang pertama, lebih-lebih setelah
adanya fitnah yang dahsyat yang timbul sesudah pembunuhan Usman r.a., khalifah
yang ketiga. Dalam bentuknya yang ekstrim, ijtihad perseorangan telah mengubah
umat Islam menjadi sekta-sekta yang saling bertentangan, dan masing-masing
hanya mengikuti kecenderungan-kecenderungan perseorangan saja dalam menetapkan
madzabnya dan dalam menyampaikan kata-kata Nabi Muhammad SAW. (Shaltout, 1961,
hlm. 131).
Hendaklah dipahami benar bahwa
Islam tidak mengesampingkan orang-orang tertentu untuk yang berhak menafsirkan
Al-Qur’an atau sunnah, dan tidak pula kewajiban bagi orang-orang untuk
berpegang pada pendapat perseorangan tententu mengenai masalah-masalah yang
boleh ditafsirkan oleh perorangan. Islam tidak mengikat pengikut untuk menganut
orang-orang teretentu, karena tidak ada kewajiban yang harus diakukan selain
kewajiban yang telah diperintahkan oleh Allah swt dan Nabi SAW. Juga Allah dan Rasulnya tidak memerintahkan seseorang mengikuti madzab tertentu. (Shaltout, 1961,
hlm. 131).
Kutipan-kutipan dari pendapat Mahmoud Shaltout di atas merupakan rangkaian pemikiran yang berdasar pada Al-Qur’an. Dasar dari ajaran agama Islam adalah beriman pada Allah, Nabi Muhammad SAW, malaikat, kitab suci AL-Qur’an, takdir, dan hari akhirat. Selain itu tidak ada kewajiban umat Islam untuk beriman. Allah tidak melihat manusia dari aksesoris kasat mata, Allah melihat kutamaan manusia dari ketaatannya dalam melakukan dan mengajarkan kebeneran-kebenaran-Nya.
“…Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujuraat,
49:13).
Maka dari itu, kelebihan Islam
menurut Ust. Dondy Tan seorang yang baru kembali Islam, ketika manusia mau
berhubungan, berkomunikasi dengan Allah “tanpa perantara”. Al-Qur’an adalah
sarana umat manusia untuk berkomunikasi dengan Allah. Jika Al-Qur’an dibaca
maka informasi yang diterima, dimaknai secara langsung oleh seseorang bahwa dia
sedang berkomunikasi dengan Allah. Sekalipun seseorang bisa memahami Al-Qur’an
dari hasil terjemah atau tafsir seseorang, tetap saja setiap orang akan
menerima atau tidak menerima makna terjemah atau tafsir tersebut berdasar
keputusannya pribadi. Untuk itu, di pengadilan akhirat setiap orang akan
mempertangungjawabkan setiap keputusan yang pernah dilakukannya.
Etika dalam agama Islam dalam memahami
dan menemukan kebenaran tidak diperkenankan mengklaim dirinya sebagai pemilik
kebenaran, karena kebenaran mutlak milik Allah. Sifat manusia adalah tempatnya
salah, maka siapapun manusia berpotensi salah. Siapa mengaku benar dia salah,
dan barang siapa mengaku salah dia benar. Untuk itu ulama, ilmuwan, ustad,
guru, siapapun jika dia seorang muslim maka sifat keredahan hati sudah pasti melekat
pada dirinya.
“(Lukman berkata): "Hai
anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada
dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.” (Lukman, 31:16)
Ayat ini ditafsir oleh Syaiful
Karim sebagai keterangan yang menjadi sebab pemahaman adanya hukum tarik
menarik (the law of attraction). Maka dari itu, bagi seorang muslim yang
taat, tidak ada rumus menyalahkan orang lain, segala kejadian yang menimpa
selalu diawali dengan kerendahan hati dengan mengakui kelemahan dan kealpaan
yang ada pada diri sendiri.
Nabi Adam a.s dan Hawa mengajarkan
sekalipun tergelincir karena tipu daya setan, namun dalam permohonan ampunnya
kepada Allah, beliau tidak menyalahkan setan tetapi mengakui dirinya sendiri
yang telah melakukan perbuatan salah.
Keduanya berkata: "Ya
Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk
orang-orang yang merugi". (Al A’raaf, 7:23).
Maka dari itu, menerima dan tidak
menerima kebenaran dari penjelasan dalam artikel ini, kembali pada keputusan
pribadi. Untuk itu Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk selalu memohon ampunan
kepada Allah sebanyak banyaknya setiap hari. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment