OLEH: MUHAMMAD PLATO
Sejak meninggalanya Nabi Muhammad
SAW, peradaban Islam terus berkembang mencapai puncaknya pada abad ke 8-9
Masehi. Ulama, pemikir, dan ilmuwan kelas dunia lahir mewarnai khasanah
berpikir. Ilmu dan sains berkembang pesat. Pada saat itu Barat sedang berada
dalam abad kegelapan akibat terlalu kuatnya kekuasaan dan doktrin Gereja. Kebebasan
berpikir dibatasi dengan ancaman penjara. Cara pemahaman agama yang terlalu
dominan pada pemuka-pemuka agama telah melahirkan tuhan-tuhan selain Allah yang
harus ditaati manusia. Agama tidak murni lagi diajarkan untuk menyucikan diri
dari perbuatan dosa, melainkan untuk mempertahankan kekuasaan, kehormatan,
kelembagaan, dan kekayaan. Ayat-ayat Tuhan bisa dipesan dan dikondisikan agar
bisa terlihat masuk akal dan membenarkan ajaran yang sebenarnya bukan dari
Tuhan.
Waktu berputar, peradaban Islam
mulai memudar mengalami kemunduran akibat perebutan kekuasaan. Kasusnya sama
seperti peradaban Barat berada di masa kegelapan. Perebutan kekuasaan telah
membawa agama pada kotak-kotak dukung
mendukung kekuasaan. Saling hujat dan saling menjatuhkan didasari fatwa-fatwa agama
semakin menambah kuat hasrat permusuhan. Bunuh membunuh antar pendukung menjadi
perang suci antar agama yang terlihat tidak suci.
Hasrat bermusuhan itu diturunkan
dari generasi ke generasi dengan doktrin-doktrin agama dari penafsir tunggal nenek
moyang yang semakin perkasa. Tidak ada yang berani membantahnya karena
penjaga-penjaganya sangat bengis dan akan menghukum bagi siapa saja yang berani
menentangnya. Jumlah umat bertambah tetapi tidak bisa melahirkan
pemikir-pemikir besar, semua harus takluk di hadapan panfasir tunggal warisan
nenek moyang yang perkasa yang sudah dipertuhankan.
Memahami agama berbeda dengan memahami ilmu-ilmu alam. Dalam ilmu alam ketika mengemukakan pendapat harus didukung oleh teori-teori terdahulu. Teori-teori itu ada penemunya dan dianggap pemiliknya. Tanpa dukungan teori pendapat yang dikemukakan tidak memiliki kekuatan. Demikian juga teori yang dikembangkan tanpa dukungan teori-teori sebelumnya juga diragukan.
Ajaran agama Islam harus dipahami
dari sumbernya, yaitu kitab suci Al-Qur’an dan hadis yang tidak bertentangan
dengan kitab suci Al-Qur’an. Para penfasir, penerjemah, ahli pikir, guru,
ustad, kiai, ulama (saintis) adalah para penemu makna, nilai, dan hukum dalam
beragama, tetapi tidak menjadi pemilik
makna, nilai, hukum yang ditemukan. Perbedaan makna, nilai, dan hukum dalam
beragama adalah kekayaan yang harus dimiiki bersama bukan untuk saling klaim
mengadu kebenaran. Tapi sebagai khasanah pembuka jalan menuju kebenaran bagi
siapa yang dapat menerimanya sesuai dengan kemampuan akalnya.
Umat beragama ibarat konsumen di
pasar, mereka punya kebutuhan dan keinginan sesuai dengan kebutuhan dan
kesenangannya masing masing. Di pasar ada kesepakatan bersama yang mengatur
agar para penjual dan pembeli saling jujur. Penjual harus jujur menjelaskan
barang yang dijualnya sesuai kondisi barang. Para pembeli harus jujur membeli
barang dengan uang legal senilai dengan harga barang yang dibelinya. Para
penjual dan pembeli tidak saling memaksa, tidak saling menghujat, transaksi
dilakukan dengan kejujuran dan keikhlasan. Demikian juga antar penjual tidak
saling hujat dan menjelek-jelekkan barang dagangannya, malah saling
mempromosikan jika barang jualannya berbeda. Inilah khasanah kehidupan para
pedagang yang diberkahi Allah.
Penganut agama Islam dengan
jumlah satu miliar lebih harus diberi kebebasan untuk menemukan atau memilih
mana kahasanah agama Islam yang diminatinya sesuai kemampuan. Dengan misi suci
agama Islam menjamin kesejahteraan dan perdamaian dunia adalah kode kuat dari
Al-Qur’an untuk umat manusia. Apa pun yang diciptakan hendaknya tidak keluar
dari misi utama Al-Qur’an diturunkan. Setiap 100 tahun akan ada perbaikan
terhadap kualitas umat manusia, dan hendaknya umat beragama (Islam) mulai
membuka ruang berpikir dan menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar rujukan utama
dalam melahirkan pemikir-pemikir kelas dunia. Tidak ada satu orang ahli
berpikir pun dihadapan Allah swt, karena Allah swt tidak melihat keahlian
berpikir seseorang tetapi melihat kesucian hati dan kebermanfaatannya dari
hasil sekecil apapun hasil berpikir.
“karena telah datang seorang
buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari
dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi
manfaat kepadanya?” (Abasa, 80, 2-4)
Sikap curiga, iri, dengki, saling
hujat, saling salahkan, dan menebar kebencian akan hilang jika ajaran agama
benar-benar dihayati. Jika beragama masih memelihara sifat-sifat buruk dan tidak
sadar mengatasnamakan agama, maka bisa jadi kita sesungguhnya tidak beragama.
Hati kadang-kadang tidak bisa membedakan
mana kebaikan dan keburukan. Jika hati sudah benci maka tertutuplah semua
kebaikan. Akal juga bisa membawa malapetaka karena bisa menghilangkan rasa.
Saatnya hati dan akal bersinergi agar sama-sama bekerja menyelesaikan urusan
dunia dan akhirat.
Tidakkah kita sadar bahwa setiap hari gunakan teknologi, mendapat kemudahan hidup dari karya-karya akal? Tidakkah kita melihat orang-orang kaya hasil dari akalnya, membiarkan orang-orang kelaparan karena tidak memiliki hati? Sebaliknya tidakkah kita melihat orang-orang yang memiliki hati mencurigai dan membenci orang-orang diluar kelompoknya? Allah menciptakan alam ini dengan sistem dan saling ketergantungan. Untuk itu hati dan akal tidak bisa dipisah-pisahkan. Jadi kegiatan berpikir bukan murni kegiatan akal tetapi sebuah kolaborasi akal dan hati. Pemikir-pemikir sejati, setiap pemikirannya akan menyucikan hati dan menjadi inspirasi bagi siapa saja yang membacanya. Pemikir sejati tidak pernah mengklaim pemilik kebenaran dari setiap hasil pemikirannya. Pemikir sejati merasa cukup Allah jadi saksi bahwa dirinya pernah berpikir dan mengajarkannya.
Abad informasi telah menuntut hati dan akal untuk bekerja lebih cerdas. Di abad informasi dibutuhkan lebih banyak pemikir yang mengkolaborasikan akal dengan hati, dan menjadikan kitab suci AL-Qur’an sebagai sumber pengetahuan (deduktif) bersanding dengan pengetahuan hasil pengamatan (induktif). Pengetahuan-pengetahuan dari kitab suci Al-Qur’an seyogyanya menjadi sebuah pedoman hidup yang bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari di mana saja bagi siapa saja. Lembaga-lembaga pendidikan harus melatih kemampuan berpikir, dan perguruan tinggi harus melahirkan pemikir-pemikir cerdas sesuai dengan zamannya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment