OLEH: MUHAMMAD PLATO
Silaturahmi adalah sunatullah
yang sampai kapanpun akan tetap berlaku dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad SAW
menjelaskan manusia-manusia yang tidak mau bersilaturahmi akan menghadapi
kesulitan hidup dengan tidak menemukan kesejahteraan di dunia maupun akhirat.
Namun demikian ketika silaturahmi apa yang
harus kita lakukan? Berbagi kebaikan adalah isi silaturahmi. Kualitas silaturahmi ditentukan dengan apa yang dilakukan berkomunikasi.
Zaman dulu gosip hanya terjadi antar keluarga dan tetangga. Zaman teknologi gosip berubah menjadi tingkat dunia. Pola pikir primitif semakin subur, gosip tingkat tetangga diubah menjadi gosip tingkat dunia untuk menghasilkan keuntungan material. Lelucon-lelucon murahan, prilaku menyimpang, dikemas oleh tim kreatif primitif agar menarik perhatian masyarakat hingga menghasilkan pundi pundi rupiah.
Pola pikir primitif adalah pola pikir materialistik. Orang-orang primitif melakukan transaksi dengan pola pikir barang ditukar menjadi barang. Barter yang dilakukan masyarakat terdahulu tidak termasuk primitif karena pola pikirnya adalah menegakkan keadilan. Namun orang yang berpola pikir benda harus selalu bertukar menjadi benda, itulah orang-orang primitif. Pola pikir primitif terpaku bahwa apa yang diakukannya harus berbalas dengan material dari orang per orang. Masyarakat primitif adalah mereka yang berpikir cenderung materialistik dan positivistik. Kata Nietzche dalam kehidupan masyarakat materialistik Tuhan dimatikan karena dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah kehidupan dunia. Inilah gambaran masyarakat primitif yang terjebak kebenaran-kebenaran materialistik.
Siklus kehidupan masyarakat yang diprediksi oleh Auguste Comte, ternyata masyarakat menuju modern
bukan dari masyarakat teologis bergerak menjadi masyarakat positivistik, tetapi
dari masyarakat positivistik berubah menjadi masyarakat religius. Menurut Wiliam F. Ogburn
ada dua dasar budaya yaitu material dan non material. Jika perubahan berjalan siklus
maka sekarang sedang terjadi perubahan dari masyarakat material ke masyarakat
non material. Arnold Toynbee berpendapat masyarakat akan mengalami perubahan
dari keseimbangan, transisi, kemudian terwujud keseimbangan baru.
Pemikiran yang tidak bersumber dari Allah, berputar-putar tidak ada akhirnya. Semua pendapat dianggap
benar dan semua pendapat ada salahnya. Seperti orang sakit jiwa, pulang pergi tiap hari tanpa ada tujuan yang ingin dicapai.
Berpikir bulak-balik, terbawa arus terombang-ambing mengikuti kemana arah angin bertiup. Masyarakat primitif tidak punya paradigma berpikir ajeg, tidak
punya nilai-nilai baku, dan tidak punya prinsip-prinsip tegas. Masyrakat
primitif hidup dalam polemik dan sangat tergantung pada kondisi sosial dan alam.
Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membawa
masyarakat pada peradaban, dari masyarakat bodoh ke masyarakat cerdas,
dari masyarakat primitif ke masyarakat modern. Masyarakat modern adalah
masyarakat yang tergantung pada non material. Gerak usaha dan kerja kerasnya
semuanya berdasarkan pada yang non material yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Material
sifat dasarnya adalah kaku dan terbatas, Tuhan yang non material sifatnya bebas
dan tanpa batas. Sifat individualistis, tidak mau kalah, dan serakah adalah
prilaku masyarakat primitif yang pola pikirnya material. Manusia-manusia
modern bertransaksi dengan Tuhan non material, jiwanya hidup menjadi pekerja
keras, tekun, tidak pernah putus asa, selalu optimis dan sabar menjalani hidup
sesuai garis edarnya. Ruhnya kreatif dan penyejahtera.
Kegagalan umat Islam dalam mewujudkan kehidupan masyarakat ideal merupakan kegagalan umat Islam itu sendiri dalam memahami Al-Qur’an. Bukan substansi ajaran yang harus diubah, tetapi metode pengajarannya. Dulu para penyebar agama di Nusantara abad 7-13 tidak memaksa raja-raja masuk Islam, maka kuncinya ada di metode mengajar. Filsafat, sains, tradisi, budaya, ideologi, politik, ekonomi, mistik, semua bisa diperankan untuk mengajarkan substansi dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan kondisi zaman, dan masyarakat yang dihadapinya.
Zaman sekarang, jika agama masih diajarkan dengan pendekatan tekstual, kaku, berguru hanya pada satu guru, fanatik pada aliran, sementara informasi pemahaman agama seperti banjir bandang telah masuk ke ruang-ruang pribadi, maka akan terjadi benturan-benturan ketika mendapat perbedaan pemahaman. Untuk itu, sekolah-sekolah di dunia sudah mulai mengubah tujuan pembelajaran menjadi melatih kemampuan bernalar mulai dari analisis, interpretasi, integrasi, dan menyimpulkan informasi. Kemampuan ini diprediksi dapat membantu masyarakat menyikapi banjirnya informasi dan masyarakat tidak tenggelam terbawa arus. Pendekatan pemahaman agama tekstual harus sedikit ditingkatkan dengan kemampuan pemahaman rasional tanpa meninggalkan teks. Berpikir bebas tidak berarti meninggalkan teks, tetapi mengelaborasi kebenaran-kebenaran teks Al-Qur’an melalui bantuan berbagai ilmu dan sudut pandang. Dengan cara-cara ini semoga kita bisa keluar dengan damai dari pola-pola pikir primitif yang sudah cenderung material, sombong, dan lancang berani membunuh Tuhan. Walahu’alam.
No comments:
Post a Comment