OLEH: MUHAMMAD PLATO
Ketika orang menyebut bangunan
masjid sebagai tempat ibadah, maka ajaran reduksionisme telah menjadi sudut
pandang orang dalam beragama. Ketika bentuk ibadah hanya dikategorikan dengan
shalat maka reduksionisme telah digunakan kembali oleh orang beragama dalam
memahami kata ibadah.
Pandangan-pandangan
reduksionisme ini telah menyempitkan konsep-konsep dalam ajaran agama yang
hakikatnya bersifat menyeluruh karena ajaran agama datang dari Tuhan Yang Maha Luas
Pengetahuannya tidak sama dengan cara pandang manusia. Ketika manusia sudah
memosisikan diri menjadi pemiik-pemilik konsep maka agama menjadi ajaran kerdil
yang kadang tidak disukai sesama manusia.
Konsep ibadah dijelaskan
Allah dalam Al-Qur’an, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada Ku (liya’budun).” (Adz Dzaariyat, 51:56).
Konsep ibadah sangat general tidak terbatas pada satu kegiatan tertentu. Kata
ibadah menaungi seluruh perbuatan manusia yang dialamatkan sebagai bentuk
ketaatan, ketundukan manusia atau jin kepada Tuhan.
Setiap shalat kita selalu
membaca, “Katakanlah: "Sesungguhnya shalat, ibadah (wanusuki),
hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (Al An’aam, 6:162).
Beribadah menjadi tujuan Tuhan menciptakan jin dan manusia. Ibadah menjadi
ruang besar yang menaungi seluruh aktivitas manusia di muka bumi.
Shalat adalah bagian dari
ibadah. Jika ibadah diidentikkan dengan kegiatan ritual shalat maka seluruh
aktivitas manusia selain shalat menjadi bukan ibadah. Untuk itu mengkerucutkan
makna ibadah ke dalam ritual shalat sama dengan mengkerdilkan ajaran agama, dan
menghilangkan makna spiritual kehidupan. Mengkerdilkan makna ibadah hanya dalam
bentuk ritual shalat sama dengan menyempitkan bumi yang suci hanya sebatas
bangunan-bangunan masjid.
Pemahaman sempit dalam
memberi makna ibadah sebatas ritual shalat telah menghilangkan kesucian hidup
manusia dan menghilangkan sebagian besar bumi sebagai masjid untuk manusia. Pemahaman
ibadah sebagai ritual shalat atau ritual keagamaan telah mengiring manusia
menjadi setan-setan ketika berada di luar bangunan masjid. Laut, sungai,
gunung, lembah, bukit, pasar, kantor, mall, dan tempat rekreasi menjadi tempat
beredarnya suluh neraka. Laut menjadi tempat sampah, sungai tempat pembuangan
limbah, gunung jadi tempat ekpoitasi sumber energi, kantor tempat korupsi,
sekolah tempat jual beli, pasar tempat monopoli, dan mall tempat pemenuhan
hasrat konsumsi. Sedikit sekali orang-orang yang beribadah di dalam bangunan
masjid, dan banyak sekali orang-orang di pasar, mall dan tempat-tempat
rekreasi.
Ibadah adalah narasi
besar tujuan hidup manusia. Shalat hanya bagian kecil dari ibadah. Kita
kembalikan kesucian hidup manusia menjadi sebuah peribadatan kepada Tuhan dalam
segala aspek kehidupan. Dengan demikian bumi ini menjadi tempat ibadah. Pasar,
mall, gunung, laut, sungai, pabrik, kantor, sekolah, di manapun berada jika
kita mengingat Tuhan dan berbuat baik dengan jujur ketika di pasar, meindungi
gunung, laut, dan sungati, bekerja untuk melayani orang di kantor, belajar
mencari ilmu di sekoah, semua adalah ibadah.
Jika manusia berpendangan
bahwa seluruh hidup manusia adalah untuk beribadah, maka peribadatan tidak akan
hanya terbatas di dalam masjid-masjid, tetapi ketika berada di seluruh muka
bumi ini. Jika tujuan manusia diciptakan untuk beribadah maka seluruh bumi ini
adalah masjid. Di manapun berada kapan pun, kewajiban manusia adalah berbuat
baik. Dengan pemahaman ini, sikap manusia akan menjadi ramah terhadap
lingkungan alam dan manusia, karena kegiatan ibadah ada di mana-mana.
Untuk itulah pentingnya membedakan
makna ibadah dengan shalat. Ibadah
adalah tujuan seluruh hidup manusia, dan shalat adalah partikel dari unsur
ibadah. Jangan mengecilkan makna yang besar dan jangan membesarkan makna yang
kecil. Kerusakan di muka bumi ini diawali dari kegagalan manusia dalam memahami
hakikat kehidupan.
No comments:
Post a Comment