OLEH: MUHAMMAD PLATO
Membaca sebuah buku berjudul “tuhannya Para Filsuf dan Ilmuwan”
saya tersadar bahwa selama ini, keimanan para filsuf dan ilmuwan bukan kepada
Tuhan tapi kepada manusia-manusia terdahulu yang sudah lebih dahulu
mengemukakan pemikiran. Naskah-naskah buku filsafat dan keilmuan dikatakan
shahih jika memiliki sandaran pada pemikiran manusia terdahulu. Para
pemikir-pemikir terhadahulu seperti tuhan-tuhan yang menentukan pola berpikir
dan tindakan yang harus dilakukan para filsuf dan ilmuwan.
Tuhan adalah pemilik kekuasaan yang mendominasi hati, pikiran
dan prilaku manusia. Tuhan pemilik segala tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
manusia. Tuhan adalah pemilik takdir-takdir yang tidak mengalami perubahan.
Tuhan menentukan dan menetapkan ukuran terjadinya dan terciptanya sesuatu.
Pengakuan manusia kepada Tuhan ditentukan bukan pada
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan belaka, tetapi dibuktikan pada seluruh
tindakan hidupnya merupakan tindakan-tindakan yang telah dikehendaki Tuhan.
Tindakan manusia dimulai dari pola pikir dan paradigma yang dibangun. Dalam ajaran
agama, pola pikir yang melandasi tindakan adalah niat-niat yang mendahului
setiap tindakan.
Allah kelak di akhirat membangkitkan manusia berdasarkan pada
niat-niat yang ada dalam pola pikirnya ketika melaksanakan tindakan. Filsuf dan
ilmuwan mengawali segala tindakannya berdasarkan pendapat, teori dari filsuf
dan ilmuwan terdahulu. Dapat diprediksi bahwa seluruh tindakan para filsuf
dan ilmuwan adalah teori-teori manusia terdahulu. Pemikir-pemikir terdahulu
menjadi tuhan-tuhannya para filsuf dan ilmuwan.
Celakanya, pola pikir seperti filsuf dan ilmuwan digunakan
dalam mengembangkan ilmu keagamaan. Para pendakwah kelak mengemukakan
pendapatnya berdasarkan pendapat-pendapat imam terdahulu. Bahkan kebenaran
pendapat dalam beragama harus sama dengan pendapat imam terdahulu. Ukuran
kebenaran menjadi bukan pada sumber kebenaran ajaran agama tetapi pendapat para imam terdahulu.
Imam-imam terdahulu telah menjadi tuhan-tuhan para penganut agama.
Selain itu, ada pendakwah yang merujukkan kebenaran
pendapatnya berdasarkan aliran yang dianutnya. Pendapat-pendapat dari aliran di
luar alirannya dianggap salah dan sesat. Semua pendapatnya di dalam beragama
harus diseleksi berdasarkan pendapat-pendapat yang memang dikemukakan oleh imam
dalam satu garis aliran. Aliran-aliran dalam agama telah menjadi tuhan-tuhan
para penganut agama yang fanatik pada alirannya.
Nabi Muhammad saw hanya meninggalkan kitabullah dan
sunnahnya. Sumber kebenaran yang harus menjadi rujukan dalam setiap tindakan
adalah ajaran agama di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnahnya. Manusia hanya
bisa berkomunikasi dengan Allah melalui kitab suci Al-Qur’an. Segala informasi
yang disampaikan di dalam Al-Qur’an adalah dialog antara makhluk dan Pencipta.
Al-Qur’an mengandung pola pikir dan niat-niat sang Pencipta dalam menciptakan
segala tindakan dan kejadian di muka bumi.
“Hanya kepada Allah-lah sujud segala apa yang di langit dan
di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa bayang-bayangnya di
waktu pagi dan petang hari.” (Ar’rad, 13:15)
Manusia diciptakan berdasarkan rupa Tuhan, menjadi bayangan Tuhan
yang segala tindakannya mengikuti apa-apa yang dilakukan oleh Pemilik Bayangan.
Segala niat, pola pikir, kecnderungan hati, manusia mengikuti Pemilik Bayangan.
Manusia-manusia yang hati dan pikirannya mengikuti Pemilik Bayangan adalah
mereka yang berTuhan kepada Tuhan penciptanya.
“Apakah kamu tidak memperhatikan Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayang-bayang;
dan kalau dia menghendaki niscaya Dia menjadikan tetap bayang-bayang itu,
kemudian Kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu,” (Al Furqaan, 25:45).
No comments:
Post a Comment