OLEH: MUHAMMAD PLATO
Salah satu bangsa Jangkrik adalah merasa bahwa penjajahan
adalah akibat ulah manusia yang menjajah manusia lain. Bangsa jangkrik selalu
merasa bahwa dirinya adalah korban dari bangsa lain. Mental inferior menjadi
penyebab sebuah bangsa menjadi bangsa jangkrik selama-lamanya.
Jangkrik adalah binatang kecil yang nasibnya selalu menjadi
mangsa dan hiburan makhluk lain. Jangkrik diternak dikembangbiakkan, kemudian
dijual untuk jadi pakan atau umpan untuk makhluk lain. Jangkrik juga dipelihara,
diberi makan, untuk kemudian diadukan dengan jangkrik lain untuk sekedar hiburan.
Jangkrik malang selalu jadi objek untuk kepentingan makhluk lain.
Jangkrik bunyinya nyaring, berbunyi ketika malam hari.
Bunyinya membuat senang dan mengundang makhluk lain untuk memangsa. Sekalipun
nyaring bunyinya, Jangkrik tidak jadi pengendali makhluk lain. Kemampuan
jangkrik hanya berbunyi dan berbunyi. Jangkrik terus berbunyi nyaring tanpa
disadari bahwa dirinya sedang diincar mangsa. Semakin nyaring berbunyi semakin
menarik para pemangsa untuk memilikinya. Jangkrik selalu berisik dan berhenti
ketika ada yang menggertak.
Sekalipun bunyinya nyaring dan sering berbunyi jangkrik tidak membuat dihormati dan ditakuti dihadapan bangsa lain. Jangkrik tidak pernah menyadari bahwa karena sering berbunyi menyebabkan dirinya selalu diketahui posisi dan keberadaannya. Jangkrik tidak menyadari karena bunyinyalah dirinya selalu berhasil ditangkap.
Jangkrik tampil menjadi kesatria tetapi lupa dirinya sedang
dalam arena gladiator. Jangkrik bertempur mati-matian tetapi tidak sadar dia
sedang dalam adu taruhan makhluk lain. Jangkrik tidak sadar bahwa dia sedang
betempur melawan bangsanya sendiri. Jangkrik teriakannya lantang merasa sedang
membela kebenaran, tetapi tidak sadar sedang menyebar kengerian dan kesedihan di
tengah malam. Teriakan jangkrik tidak membuat dirinya terhormat tetapi hanya
mengundang decak kagum makhluk lain, bahwa Jangkrik miliknya mengalahkan suara
jangkrik lainnya.
Jangkrik selalu berada di atas kendali pemiliknya. Setelah
sengit bertempur dengan tujuan tidak jelas, Jangkrik kembali masuk kandang
kecil atau jadi pakan ternak. Jangkrik hanya berusaha tampil memesona dihadapan
makhluk lain dengan mengembang-ngembangkan sayapnya. Jangkrik tidak mengenal
kondisi dan situasi, setiap ada keleluasaan dan kebebasan, Jangkrik gunakan
kesempatan untuk berbunyi nyaring memecah sunyi. Sekalipun suaranya jelas tapi
tidak mengubah dirinya, dia tetap saja Jangkrik.
Teriak-teriak di tengah kedamaian malam sunyi adalah tingkah
laku Jangkrik. Bangsa Jangkrik hanya bisa teriak dari dekat sarang dan kelompoknya.
Jangkrik hanya bisa meloncat ketika ada bahaya mengancam, dan loncatannya tidak
membuat dirinya maju tapi mundur. Jangkrik meloncat mundur, dan selalu berpikir
mundur ketika ada serangan dan tantangan.
Senyaring-nyaringnya Jangkrik berteriak, tetap saja hidup
Jangkrik di bawah kendali makhluk lain. Teriakan Jangkrik hanya retorika yang
tidak pernah berbuat dan menjadikan dirinya ksatria. Jangkrik adalah makhluk
yang nasibnya selalu tragis karena adu jangkrik. Jangkrik selalu sibuk bertempur
dengan sesama. Bangsa Jangkrik adalah bangsa inferior yang selalu termakan
isu-isu rencana besar makhluk lain. Bangsa Jangkrik selalu larut di atas
rencana besar bangsa lain, dan tidak pernah punya rencana besar untuk
bangsanya.
Jangkrik yang baik adalah Jangkrik yang menyadari sekalipun
dirinya kecil dia harus punya rencana besar untuk umat manusia bukan hanya
untuk diri dan bangsanya. Logika jangkrik yang baik dipandu oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
“Dan merekapun merencanakan makar dengan
sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka
tidak menyadari”. (An Naml, 27:50).
No comments:
Post a Comment