OLEH: MUHAMMAD PLATO
Salah satu kegagalan kita
dalam beragama adalah tidak pernah berani bertanya tentang hal-hal sederhana,
apakah arti shalat, apakah arti hidayah, apakah arti safaat, apakah arti
makrifat, dan lain sebagainya. Pertanyaan pertanyaan sederhana di atas sebenarnya
pertanyaan mendalam dan untuk menjawabnya butuh pengetahuan dan pemikiran
mendalam agar si penanya memahami pengertiannya sampai pada tataran
operasional.
Pemahaman agama yang tekstual
dibutuhkan untuk mengembalikan pemahaman kepada arti teks aslinya. Namun untuk
kehidupan sosial kita butuh pemahaman-pemahaman rasional dan empiris agar ajaran
agama yang kita yakini benar-benar membumi dan benar-benar bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat.
Dilihat dari kajian filsafat,
masyarakat kita sebagian besar pemahaman agamanya bersifat mistik. Dunia mistik
sifatnya acak untuk itu jarang menjelaskan konsep-konsep yang kita kenal dalam
agama didefinisikan secara teknis. Hidayah dari sudut padang misitik memang
sulit didefinisikan karena penyebabnya tidak dapat diketahui secara pasti, sehingga
hidayah sering dipahami sebagai kejadian ghaib sebagai kehendak Allah kepada
orang yang dikehendaki.
Pemahaman ini menjadi kesulitan bagi orang-orang yang ingin menemukan hidayah dari Allah. Jujur saja, penulis juga tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika orang ingin mendapatkan hidayah. Untuk itu kita harus kembali melihat petunjuk-Nya, sebagaimana dikabarkan Allah di dalam Al-Qur’an.
Dari sudut pandang sejarah, Nabi
Muhammad saw menerima wahyu, setelah melakukan bertahun-tahun perenungan dengan
mengambil tempat di Gua Hira. “Mendekati usia 40 tahun Nabi Muhammad saw mulai
pergi berkhilwat dan beritikaf di Gua Hira, yaitu sutau bukit yang jauhnya
kira-kira tiga mil dari kota Mekah. Muhammad berkhilwat pada setiap tahun
sebulan lamanya. Enam bulan sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad selalu
bermimpi maka apa yang diimpikannya tepat terjadi sebagaimana dilihat dalam
mimpinya.” (Ash Shiddieqy, 1996, hlm. 19).
Puncaknya Nabi Muhammad saw
menerima wahyu dengan kata kunci “Iqra=bacalah”. Bisa kita renungkan
dari jumlah ayat Al-Qur’an 6236, wahyu dari Allah itu turun diawali dengan kata
bacalah! Sebagai sebuah kata perintah!!! Penulis merenungi perintah membaca
bukan sebagai kata-kata sederhana tetapi sebuah perintah besar, mendasar, dan
wajib bagi setiap umat manusia. Perintah membaca adalah fassword (kunci)
bagi siapa saja yang ingin mendapat einligten. Arti einlighten dari
kamus Oxford, “give (someone)
greater knowledge and understanding about a subject or situation”. Arti lainnya adalah “give (someone)
spiritual knowledge or insight”.
Kata
iqra adalah greater knowledge atau spiritual knowledge
dari Tuhan. jadi Iqra adalah sebuah pengetahuan besar atau pengetahuan
spritiual sebagai perintah kepada manusia untuk berpengetahuan agar manusia
dapat menemukan greater atau spiritual knowledge.
Dari pemahaman ini hidayah
adalah “pengetahuan besar” yang membuat seseorang mendapat einlighten (pencerahan).
Untuk itu mereka-mereka yang telah mendapat hidayah adalah mereka yang diberi
pengetahuan besar oleh Allah, dan pengetahuan itu menjadi kunci pengubah
seluruh pola pikirnya. Maka untuk mendapatkan hidayah, perintah-Nya adalah bacalah,
galilah pengetahuan dengan membaca seluruh makhluk dan kejadian yang terjadi di
muka bumi ini sebagai ciptaan Tuhan YME.
Sejarah membuktikan, sangat
tidak mungkin sebuah bangsa akan menjadi bangsa berperadaban tinggi jika
membaca tidak menjadi budaya atau karakter dasar dari masyarakatnya. Bangsa-bangsa
besar didirikan oleh orang-orang besar yang tercerahkan karena kebiasaannya
membaca.
No comments:
Post a Comment