OLEH: MUHAMMAD PLATO
Agnostik
adalah gejala psikologis yang harus diwaspadai di zaman milenial. Zaman milenial ditandai dengan kemapanan anak-anak pada usia muda. Perkembangan teknologi
informasi telah mendorong anak-anak sukses di usia muda, dimana tingkat
spiritual mereka belum matang. Dalam usia yang sangat muda anak-anak bisa
memiliki kapital ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Perkembangan spiritual mereka
yang masih labil ketika diberi kemapanan, ego (SENSE OF I) menjadi pengendali
hidupnya. Kemapanan telah mendorong mereka menjadi seperti Tuhan yang bisa
mewujudkan segala keinginannya dengan kapital yang mereka miliki.
Teknologi
informasi yang mereka kuasai memudahkan mereka mengumpulkan kapital dalam
jumlah besar. Dalam kondisi kapital besar dan kualitas spiritual yang masih
labil hidupnya cenderung mengikuti naluri kemanusiaan yang bebas dan merdeka.
Agnostik adalah kepercayaan hidup yang merasa kuasa dan merdeka akibat dukungan
kemapanan dalam bentuk kapital yang mereka miliki. Agnostik adalah penyakit
peradaban yang muncul akibat kemapanan dan menjadi gaya hidup.
Ditinjau
dari sisi spiritual agnostik adalah kepercayaan yang meyakini bahwa dirinya adalah
penentu kebaikan dan keburukan. Agnostik adalah penyakit peradaban yang
meyakini bahwa dirinya seperti Tuhan. Mereka merasa bahwa segala penentu hidup
adalah kemanusiaan. Mereka tidak mengakui peran Tuhan di luar dirinya karena
kemapanan yang dimilikinya. Dia merasa Tuhan tidak pernah ikut campur dalam
menentukan hidupnya. Agnostik adalah gaya hidup sombong akibat kemapanan.
Di
dalam Al-Qur’an manusia-manusia agnostik digambarkan sebagai manusia yang
dikendalikan oleh hawa nafsunya. Kesombongannya membuat dirinya sulit menerima petunjuk dari Tuhan.
“Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah
(membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al Jaatsiyah, 45:23).
Ukuran
baik dan buruk orang-orang agnostik (menuhankan dirinya) berdasarkan hawa
nafsunya. Mereka memandang baik dan buruk atas pertimbangan pikiran dan
pengetahuan alam serta pengalaman hidup yang dimilikinnya. Dia memandak
kebaikan bukan dari petunjuk Tuhan tetapi dari apa yang dia pikirkan dan
rasakan benar.
“Maka
apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama
dengan orang yang (syaitan) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang
buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya?” (Muhammad, 47:14).
Kaum
agnostik adalah golongan orang-orang kafir yang tertutup dari informasi tentang
keberadaan Tuhan. Mereka mengakui keberadaan Tuhan tetapi sedikit pun tidak
menaruh percaya dan yakin bahwa hidup ini dikendalikan oleh Tuhan. Mereka
berprasangka bahwa ada atau tidak ada Tuhan, manusia hidup dengan kekuatan akal
dan pikirannya. Kebaikan yang dilakukannya tidak didasarkan pada pengabadian pada
Tuhan, melainkan atas dasar rasa kemanusiaan dan kebebasan yang tidak saling
merugikan.
Kaum
agnostik ketika mendapat kekuasaan akan berubah menjadi Fir’aun yang merasa
mapan dan menjadi pemilik kekuasaan, kemudian akan berbuat seperti
Tuhan yang bisa mengendalikan kehidupan manusia. Kekuasaannya akan digunakan untuk memaksa
orang-orang untuk tunduk kepadanya dan menjadi kedzaliman di muka bumi ini
seperti kisah Fir’aun. Tidak ada batas-batas moral kebaikan kecuali berdasarkan
pada ukuran yang diciptakannya. Orang-orang agnostik akan sulit menerima
kekuasaan dan kehendak Tuhan karena kemapanan telah menutupi segala
keyakinannya bahwa Tuhan sebagai penyebab segala kejadian.
Generasi
agnostik menjadi ancaman serius bagi peradaban manusia, jika mereka berhasil menduduki kekuasaan dengan kapital yang dimilikinya. Dunia harus
diselamatkan dari penyakit agnostik dengan pendidikan agama yang bisa
mengelaborasi keberadaan Tuhan dengan bantuan sudut pandang rasional. Tuhan
harus dijelaskan dari penjelasan-penjelasan kebenaran nyata bahwa tidak ada
kekuasaan manusia sedikit pun bisa menentukan dan mengetahui ujung dari
kehidupan.
Ilmu-ilmu
yang dikembangkan dari sudut padang rasio dan empiris harus digabungkan dengan
kajian-kajian yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan wahyu dari Tuhan.
Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan yang bisa membawa manusia pada penemuan
jati diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan. “Bintang pengetuk” yang
ditemukan oleh astronot China, ternyata adalah nama dari salah satu ayat Al-Qur’an
bernama At Thariq. Ilmu pengetahuan menjelaskan kebenaran-kebenaran Al-Qur’an. Kajian
semacam ini harus lebih banyak dikembangkan untuk membantu manusia mengenal dan lebih mengenal Tuhannya. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment