OLEH: MUHAMMAD PLATO
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)
Terjadi
Perbedaan pandangan dalam metode menafsir Al-Qur’an. Ibn Taimiyah mengatakan
tafsir menggunakan akal semata adalah termasuk tafsir yang harus dijauhi. Ibn
Katsir menyatakan tafsir bi al-ra’y (akal, pemikiran, pandangan, dan
perenungan) merupakan metode penafsiran yang musykil, tidak berlandas ilmu
pengetahuan dan argument kuat. (shihab, 2008, hlm. 260). Menafsir Al-Qur’an
dibutuhkan metode keilmuan agar hasilnya mendekati kebenaran dan bisa
dipertanggungjawabkan. Ada prasyarat yang ketat bagi siapa saja yang mau memahami
dan menafsir Al-Qur’an.
Meskipun
sebagian ulama menolak tafsir bi al-ra’y, mayoritas ulama tafsir kontemporer
menerimanya. Muhammad Abduh menyatakan
tafsir bi al-ra’y sebagai salah satu metode memahami Al-Qur’an yang
dapat ditolelir, karena akal dan wahyu tidak mungkin bertentangan. Penggunaan
akal secara bebas dalam menafsir ayat Al-Qur’an dimungkinkan sepanjang tidak
membawa kemadaratan dan sesuai dengan roh syari’at. Imam Al-Fakhr Al-Razi mendukung
tafsir bi-alra’y dibtuktikan dengan tafsir-tafsirnya banyak menggunakan
filsafat, teologi, dan ilmu kealaman. (Shihab, 2008, hlm. 260).
Baidan
(2005, hlm. 3-4) menjelaskan generasi penafsir Al-Qur’an pertama adalah Nabi
dan para sahabat nabi, metodenya dikategorikan sebagai metode global (ijmali).
Diterapan oleh al Suyuthi dalam kitabnya Al-Jalalain. Kemudian berkembang
metode analitis (tahlili) yang berkembang mengambil bentuk al-ra’y, mengkhususkan
kajian fiqh, tasawuf, dan bahasa. Selanjutnya
berkembang metode perbandingan (muqarin) dan tematik (maudhui). Perkembangan
metode tafsir dituntut oleh perkembangan masyarakat yang dinamis. Penafsir
zaman Nabi yang menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat berbeda dengan kita
sekarang. Pada zaman Nabi, jika sahabat tidak memahami bisa bertanya kepada
Nabi.
Metode
tafsir yang digunakan Nabi adalah menafsirkan ayat dengan ayat. Sebagai contoh ketika nabi menafsirkan surah
Al-An’am ayat 82, tentang orang beriman yang tidak mencampurdukkan iman mereka
dengan kedzaliman adalah orang yang diberi petunjuk. Sementara tidak ada seorang beriman kecuali
pernah berbuat zalim. Para sahabat gusar dengan ayat ini. Lalu Nabi menafsirkan
dengan ayat 13 surah Al-Luqman, “sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah
benar-benar kezaliman yang besar. (Baidan, 2005, hlm.5). Jadi kezaliman yang tidak ditolelir adalah
mereka yang mempersekutukan Allah. Selama
orang beriman berbuat zalim karena lupa, terpaksa, kondisi, masih dapat
diampuni, tetapi mempersekutukan Allah tidak terampuni. Penafsir zaman Nabi dan
para sahabat hanya dapat dipelajari melalui ingatan sejarah. Kelompok dikategorikan
pada kelompok tekstual.
Jadi
secara umum telah terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Al-Qur’an, yaitu
golongan tekstual dan konstekstual. Namun jika kita bertanya mana yang benar? Kelompok
yang melarang menggunakan akal dalam menafsir Al-Qur’an, sebenarnya mereka juga
mengeluarkan larangan dengan menggunakan akal. Jadi dua kelompok ini sama-sama
menggunakan akal hanya berbeda metode dalam manfasirkan Al-Qur’an. Maka tidak ada
yang bisa menjamin keduanya benar karena kebenaran hanyalah milik Allah. Selama
manusia menafsir Al-Qur’an sekalipun ingin mendekati kebenaran pasti ada peluang
melakukan kesalahan, karena sudah sifat manusia ditakdirkan sebagai pelaku kesalahan.
Untuk
itu kita harus kembali kepada berita Al-Qur’an, “Kami tidak menurunkan Al
Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah; (Thaahaa, 20:2). “… Al-Qur'an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). … Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah, 2:185).
Jika
Allah memberi penghargaan sebagai manusia-manusia terbaik kepada orang yang mau
memahami dan mengajarkan Al-Qur’an, maka peluang ini terbuka bagi semua manusia.
Al-Qur’an bukan milik sekelompok manusia, tetapi milik umat manusia, karena
dikatakan di Al-Qur’an sebagai hudalinnas (Al-Baqarah, 2:185), artinya petunjuk
bagi manusia.
Untuk
itu dalam memahami Al-Qur’an kita tidak bisa membenar metode satu dan menyalahkan
metode lain. Kitab suci adalah kitab Allah diturunkan dalam bahasa Allah
sekalipun diturunkan dalam bahasa Arab. Bahasa Allah bisa menjangkau seluruh
lapisan manusia dan masyakat tanpa diskriminasi. Dengan demikian semua punya
peluang memahami Al-Qur’an, karena pada hakikatnya semua orang sudah diberi
kemampuan untuk memahami ayat-ayat Allah yaitu melalui Qalam, yang oleh Imam
Al-Gazhali disebut dengan nur atau akal, oleh Prof. Fahmi Basya disebut logika.
Dan
inilah kemurahan Allah berikutnya untuk manusia, “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al Baqarah, 2:286). Pahami dan
tafsirlah Al-Qur’an sesuai kemampuan. Jika tidak memahami bahasa Arab, terjemah,
tafsir adalah kemurahan Allah agar
seluruh manusia bisa memahami ayat Allah. Belajar memahami Allah dari mana kita
mampu, setiap kata, pengetahuan, hukum, yang masuk ke dalam memori kita akan
jadi petunjuk hidup bagi kita. Allah tidak akan melarang siapa saja yang berusaha
memahami Al-Qur’an dalam berbagai cara. Allah menghargai bagi siapa saja dengan
cara apa saja yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya dengan mempelajari Al-Qur’an.
Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment