Oleh: Muhammad Plato
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)
Bagi
sejawaran kitab suci Al-Qur’an adalah mentifak. Kitab mental bersifat abstrak berisi
pengetahuan tentang Tuhan, Nabi, etika, moral, fakta, dunia, akhirat, kepercayaan
dan keyakinan. Isi Al-Qur’an berisi kumpulan ide-ide tentang kejadian alam semesta
dan Tuhan. Semua yang ada adalah yang kita pikirkan, yang kita pikirkan adalah
ide-ide dari Tuhan. Al-Qur’an mengabarkan, Tuhan adalah pemilik segala ide atau
pengetahuan. “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian…”. (surat An-Nisaa,
4:59). Bagi penulis, ayat ini memberi
penjelasan yang mengaskan Tuhan adalah pemilik segala ide dan Rasul adalah utusan
yang menyampaikan gagasan-gagasan Tuhan.
Pemikiran
Plato tentang alam ide sebagai sumber ilmu pengetahuan (Russel, 2016, hlm.
170), dan Aristoteles tentang alam materi sebagai sumber ide yang diperoleh
melalui proses panjang pengalaman empirik (Siraj, 2012, hlm. 24), merupakan dua sisi yang mencerminkan
keterbatasan manusia dalam memahami sebuah realitas. Imanuel Kant menjelaskan
realitas bukan yang dilihat tetapi apa yang dipikirkan, dia mengakui etika
rasional tanpa mengabaikan prinsip agama. (Abdullah, 2002, hlm. 52). Ibn Ruysd menganjurkan anak-anak sekolah diajarkan
logika, sehingga dua argumen ini memberi kebebasan kepada setiap orang untuk
berpikir. Al-Ghazali mengemukakan bahwa manusia tidak bisa berpikir bebas
karena dia harus mendapat bimbingan dari guru. (Abdullah, 2002, hlm. 41). Dua pendapat
guru-guru besar ini tidak pernah menjadi kata final dalam berpikir karena
manusia terus berubah karena perubahan.
Al-Qur’an
dan Hadis sebagai kitab ide jika dilihat dari tekstual keberadaannya sangat
terbatas dan tidak bertambah lagi, sementara permasalahan senantiasa muncul dan
berkembang, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena
itu melalui metode atau penalaran ijtihad, berbagai permasalahan yang muncul
dan berkembang, seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi, oleh karena itu
melalui metode dan pelaran ijtihad berbagai permasalahan yang muncul akan dapat
diantisipasi dengan prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam nas. Ijtihad,
kata tafsir tidak ditemukan secara tegas dalam Al-Qur’an tentang dasar
hukumnya. (Shihab, 2008, hlm. 258). Untuk itulah manusia diberi akal oleh Allah
dan Al-Qur’an sebagai alam ide.
Menurut
Shihab (2008, hlm. 258), dasar-dasar gagasan manusia untuk berpikir (ijtihad
dan tafsir) merujuk pada kitab suci Al-Qur’an, antara lain; “Ini adalah
sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. (Shad, 38;29). “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al
Qur'an ataukah hati mereka terkunci?” (An Nisaa, 4:83). “Dan Dialah yang
menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan
siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (Al Mukminuun, 23:80).
Para
ulama berbeda pendapat tentang tafsir ada yang bersifat tekstual dan nalar. Ibn
Taimiyah salah satu ulama yang melarang penggunaan akal bebas dalam memahami
Al-Qur’an. Untuk itu, Al-Ghazali menysaratkan wajibnya ada seorang guru jika
ingin menafsir Al-Qur’an. Muhammad Abduh dan Al-Fakhr Al-razi menyatakan bahwa
tafsir berdasar nalar sebagai metode memahami Al-Qur’an dapat ditolelir, sebab
antara akal dan wahyu tidak bertentangan. Jadi penggunaan akal secara bebas
dalam menafsir ayat Al-Qur’an dimungkinkan sepanjang tidak membawa kemadharatan
dan sesuai dengan roh syariat. (Shihab, 2008, hlm. 260).
Perbedaan
pendapat ini adalah dua realitas ibarat menuju suatu tempat kita mengambil
jalan berbeda. Tempat tujuannya sama dan perintahnya adalah mulalilah bergerak
agar semua sampai tujuan. Perbedaan tata cara menafsir bukanlah permasalahan
jika tujuannya menuju tempat yang sama yaitu kesejahteraan manusia di dunia dan
akhirat. Maka untuk menghindari polemik, harus kembali kepada perintah awalnya
yaitu Allah menurunkan Al-Qur’an untuk memberi peringatan kepada seluruh
manusia berlaku untuk semua individu, kelompok, negara, dan bangsa. Semua manusia
diberi akal, maka semua yang diberi akal memiliki kewajiban untuk taat kepada
Allah sesuai kemampuan termasuk memahami, menafsir Al-Qur’an untuk keselamatan
dirinya.
Larangan menafsir Al-Qur’an dengan akal yang sering dikaitkan dengan hadis, “barang
siapa yang berkata terhadap Al-Qur’an berdasarkan pendapatnya, maka hendaklah
dia menyiapkan tempatnya di neraka. (HR. Turmuzi, dan Ibnu Abbas). Beberapa
ulama berpendapat larang menggunakan nalar berlaku jika pendapatnya mengada-ada
mengikuti hawa nafsu demi kepentingan pribadi, mendukung kelompok, madzab
tertentu dan keras kepala tanpa mengakui adanya pendapat yang lebih tepat.
(Shihab, 262, hlm.262).
Perbedaan
pendapat meruncing dan menjadi konflik membuktikan bahwa mereka menafsir Al-Qur’an
berdasarkan nalar yang hatinya mengikuti hawa nafsu yang berisi kepentingan pribadi,
madzab, aliran, kelompok, kekuasaan, kedudukan, popularitas, penghasilan, dan mengunci
kebenaran miliknya. Jika menafsir Al-Qur’an diberikan syarat-syarat keilmuan tertentu
dan dibakukan hingga memberat sebagian manusia yang lain, Tuhan tidak pernah
memberatkan, bahkan menurunkan Al-Qur’an karena menghendaki kemudahan. Hal yang
dilarang dalam menafsir Al-Qur’an adalah menggunakan nalar akal untuk keuntungan
pribadi, membela individu, kelompok, aliran, madzab, dusta, dengan menutup kebenaran dari pendapat orang
lain. Tujuan memahami, menafsir Al-Qur’an adalah mengikuti perintah Allah untuk
menemukan jalan hidup damai, sejahtera di dunia dan akhirat bukan hanya untuk kepentingan
pribadi tetapi untuk kepentingan umat manusia di muka bumi. Prasyarat ini lebih
egaliter dan bisa merangkum semua manusia untuk mempelajari, menafsir Al-Qur’an
menggunakan akal sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan menurut kadar
pengetahuan nalar masing-masing. Seharusnya semua manusia menafsir Al-Qur’an
dengan nalarnya.
Al-Qur’an
adalah kitab gagasan atau alam ide dari Tuhan, pengetahuan bawaan yang ada
dalam akal manusia. Isi Al-Qur’an sebagai perangkat lunak dan alam materi
adalah cangkangnya. Pola pikir Al-Qur’an
(logika Tuhan) adalah perangkat lunak dan akal adalah perangkat kerasnya. Sudah
seharusnya ide-ide yang ada dalam akal manusia bersumber pada Al-Qur’an. Harus
ada pengajar-pengajar yang bisa memasukkan perangkat lunak (isi Al-Qur’an) mengungkap
isi ide bawaan dalam akal, agar nalar manusia bekerja untuk mengabdi kepada
Tuhannya. Wallahu’alam.
Daftar
Pusataka
Shihab, U. (2008) Kontektualitas Al-Qur’an, Kajian Tematik Atas
Ayat-Ayat Hukum dalam AL-Qur’an. Jakarta: Permadani
Abadulah, A. (2002) Antara Al Gazhali dan Kant; Filsafat Etika
Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Russell, B. (2016) Sejarah Filsafat Barat; Kaitan dengan Kondisi
Sosial Politik Zaman Kuno higga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siraj,
F.M. (2012) Al-Gazhali Pembela Sejati Kemurnian Islam. Jakarta: Dian
Rakyat.
No comments:
Post a Comment