OLEH: MUHAMMAD PLATO
Kisah
para mualaf masuk Islam sangat memilukan hati. Mualaf di zaman Nabi Muhammad
saw tentu berbeda dengan mualaf di zaman sekarang. Kisah terusir dan jatuh miskinnya
kaum mualaf adalah tanggung jawab kaum muslimin. Kasihan pula menengar para
mualaf terlunta-lunta tidak punya pekerjaan, di pecat gara-gara beda keyakinan,
ini tanda Allah menegur kaum muslimin bahwa para mualaf tanggung jawab kita
sebagai muslim. Kaget juga mendengar seseorang yang sudah 11 tahun menjadi
mualaf dan menjadi da’i, ibadah haji empat kali, tiba tiba kembali ke agama
lama, namun diklarifikasi sudah kembali lagi bersyahadat.
Kisah-kisah
para mualaf yang kini mencuat ke permukaan adalah tanda-tanda, teguran atau
peringatan dari Allah untuk kaum muslimin. Jikalau kaum muslimin adalah
orang-orang yang taat kepada Allah, di dalam Al-Qur’an ada perintah Allah untuk
memperhatikan para mualaf.
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, IBNU SABIL
dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
dan membangga-banggakan diri, (An Nisaa, 4:36).
Dalam
tafsir Ibu Katsir Ibnu Sabil dijelaskan sebagai tamu atau orang yang melakukan
perjalanan. Dalam tafsir Jalalain kata IbnuSabil dalam QS. Al Anfaal,
8:41 dijelaskan sebagai orang muslim yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Surat
An-Anfaal dibicarakan dalam kontek harta rampasan perang, dalam surah An Nisaa
berbicara lebih general. Jadi siapa Ibnu Sabil ini? Dalam terjemah kadang
dijelaskan langsung sebagai orang dalam perjalanan yang kehabisan bekal, dalam
tafsir surat lain disebutkan utuh dengan kata Ibnu Sabil. Menyimak dari dua tafsir di atas, kata Ibnu Sabil memiliki persamaan tafsir,
yaitu orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Dalam tafsir Al Bayan, Hasby
Ash Shiddiieqy memberi petunjuk, untuk mermahami Ibnu Sabil dengan melihat Q.S
Ali Imran, 3:195, “Maka segala mereka yang telah berhijrah, telah diusir
dari kampung halamannya dan telah disakiti pada Jalan Ku”.
Apapun
pndapatnya, kata Ibnu Sabil di dalam Al-Qur’an muncul secara leterlek. Kata
Ibnu Sabil muncul dalam hal bagaimana menyalurkan harta baik rampasan perang
maupun harta hasil usaha. Ibnu Sabil adalah orang-orang spesial yang
diamanatkan oleh Allah kepada orang beriman untuk diperhatikan dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya dhahir maupun batin.
Jika
kita tengok kasus-kasus perjalanan para mua’alaf, kisah-kisah mereka dalam
perjalanan hijrah menuju Islam sangatlah tidak mudah. Mereka ada yang terusir,
terasing, teraniaya, jatuh miskin, kadang terlunta-lunta. Disamping itu mereka
juga berhijrah melakukan perjalanan ruhani dari gelap menuju terang yang kadang
dalam perjalanannya tidak seindah yang mereka bayangkan. Para mualaf mereka
selalu akan menghadapi minimal dua guncangan dalam hidup barunya, pertama
guncangan ekonomi, kedua gucangan ruhani.
Mereka
seperti kaum muhazirin yang terusir dari kampungnya. Mereka memiliki kekuatan
iman tapi mereka kehabisan bekal karena situasi belum normal. Sebaliknya jika
mereka memiliki kemapanan, mereka harus harus berjuang mempertahankan keimanan.
Dalam kenyataannya para mualaf selalu mendapat tempat yang kurang kondusif
dalam kehidupannya karena mereka harus beradaftsi dengan kehidupannya yang
baru.
Ulama-ulama
terdahulu memberi amanat bahwa para mualaf adalah titipan dari Allah untuk
bersama-sama kita bantu. Amanat itu masih dipegang oleh orang tua kita turun
temurun. Dulu saya masih menyaksikan, seorang nenek sedang memberikan sebagian
hartanya kepada seseorang laki-laki yang terlihat lebih muda. Saya penasaran bertanya
kepada nenek itu, “siapa orang itu?’. Beliau menjawab, “dia memang masih muda,
tapi dia mualaf. Sudah menjadi tugas kita membantunya, dan ini sudah rutin
dilakukan”. Saya diam tidak bertanya
lagi.
Sekarang
setelah banyak media sosial memberitakan orang-orang masuk Islam dan
menceritakan bagaimana kisah pilunya menjadi seorang mualaf. Saya mengerti,
mengapa para ulama dulu memberi amanat untuk membantu para mualaf, karena untuk
mendapat hidayah dan mempertahankan keimanannya, para mualaf harus rela berkorban
meninggalkan harta dan keluarganya. Persis kasusnya seperti orang-orang yang berhijrah
meninggalkan harta dan keluarganya di zaman Nabi Muhammad saw. Bisa jadi para
mualaf adalah golongan Ibnu Sabil, yaitu golongan yang melakukan perjalan atau
hijrah dhahir dan batin berjuang mempertahankan keimanan. Untuk itu mereka
khusus dititipkan oleh Allah kepada kita semua.
Membantu
para mualaf bukan sekedar hitung-hitungan harta yang kita berikan. Tapi bagian
dari tanggung jawab seorang muslim yang menjaga ketaatan kepada Allah dan
Rasulnya. Membantu mualaf bukan sekedar bantuan untuk bertahan hidup belaka
tetapi menjaga dan saling menguatkan agar kita bisa bertahan hidup dan mati
dalam keadaan muslim. Sebaik-baiknya kita adalah mati dalam keadaan muslim, bukan
dalam keadaan kaya atau miskin.
Masjid-masjid,
majelis-majelis, lembaga-lembaga zakat, rumah-rumah tangga, dan kaum muslimin sudah
saatnya lebih fokus lagi membangun kesadaran dan mengalokasikan hartanya untuk
kegiatan kepentingan para mualaf. Semoga Allah menjaga harta dan jiwa tetap
dalam ketaatan kepada Allah swt. sampai akhir khayat. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment