Oleh: Muhammad Plato
Pada saat kuliah umum sejarah
di Sekolah Pasca Sarjana UPI tempo hari, saya bertanya kepada dua orang narasumber
doktor dan profesor yang berlatar belakang ilmu sejarah murni, “bagaimana Al-Qur’an
diperlakukan oleh sejawaran?” Jawaban yang terlontar pada saat itu adalah mentifact
dan sociofact. Jawabannya
singkat, namun mendasar. Inilah menurut penulis sudut pandang sejawaran
terhadap Al-Qur’an.
Bagi penulis jawaban pakar
sejarah dari universitas ternama di Indonesia ini bisa jadi dalil bagi para
sarjana pendidikan sejarah dalam memperlakukan Al-Qur’an. Dari sudut pandang
sejarawan, Al-Qur’an adalah fakta mental dan kejadian-kejadian hidup manusia di
masa lalu. Para sejarawan harus mencari fakta-fakta mental apa yang terdapat
dalam Al-Qur’an, sehingga bisa diajarkan dalam pelajaran sejarah. Selain itu
fakta-fakta sosial apa yang bisa dikemas dalam pembelajaran sejarah sebagai
bukti penguat berlakunya fakta mental dari Al-Qur’an.
Sahabat saya membagikan sebuah
video ceramah di masjid yang menurut Beliau menyejukkan. Isi videonya adalah
seorang berlatar belakang ilmu kedokteran menjelaskan tentang prilaku Virus
Corona yang mewabah. Penjelasan diawali dengan mengutif ayat Qur’an kemudian
diikuti penejalasan Virus Corona sebagai makhluk Tuhan menyebar dan menjadi
pandemi. Alhasil dari penjelasan dokter tersebut, banyak orang terinspirasi dan
merasa tenang serta mengetahui hal-hal apa yang harus dilakukan tanpa mengalami
kepanikan. Dia mewakili seorang dokter yang memahami ilmu kedokteran dan mampu
mengaitkan ilmu kedokterannya dengan informasi Al-Qur’an. Menurut penulis ulama-ulama
seperti inilah yang harus banyak diciptakan di masa sekarang.
Fakta sekarang, Al-Qur’an masih
direduksi menjadi milik seseorang yang bergelar ilmu tertentu. Al-Qur’an daikui
oleh kurang lebih satu miliar penganut agama Islam sebagai wahyu Tuhan. Wahyu
dari Tuhan bukan hanya untuk umat Islam, tapi untuk mengatur tujuh miliar
manusia yang diciptakan Tuhan.
Al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab, karena Nabi Muhammad saw. orang Arab. Ketika Al-Qur’an diperkenalkan
kepada orang Indonesia, Inggris, Perancis, Italia, maka Al-Qur’an harus
disampaikan dengan bahasa kaumnya. Harus mengerti bahasa Arab, pasti iya. Tapi
tidak akan semua manusia menonjol kecerdasan bahasanya. Maka tugas
manusia-manusia yang diberi kecerdasan bahasalah menterjemahkan dan
menfasirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa kaumnya. Tapi itu tidak berarti mereka
yang menguasai bahasa Arab sebagai satu-satunya pemilik pengetahuan tentang
kebenaran Al-Qur’an.
Setelah Al-Qur’an disampaikan kepada
manusia sesuai dengan bahasa kaum di mana tinggal, maka akan muncul
bahasa-bahasa yang menterjemahkan Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang. Para
ilmuwan akan menerjemahkan Al-Qur’an berdasar sudut pandang keilmuannya.
Seperti contoh seorang dokter menerjemahkan Al-Qur’an dengan membuktikan
kebenaran Al-Qur’an dalam ilmu kedokteran yang dikuasainya. Demikian juga
dengan sejawaran akan menerjemahkan Al-Qur’an sesuai dengan sudut pandang sebagai sejawaran atau ahli pendidikan sejarah.
Jika Nabi Muhammad bersabda,
Allah memberi pahala sebagai manusia terbaik kepada mereka yang belajar
Al-Qur’an dan mengajarkannya. Apakah ini berarti tidak diberi kesempatan kepada
orang-orang yang belajar Al-Qur’an dari sudut pandang sejarah? Jika tetap harus
memahami bahasa Arab, lalu untuk apa Al-Qur’an diterjemahkan?
Al-Qur’an tidak mungkin
dipersepsi oleh satu jurusan ilmu Bahasa. Tugas para ahli Bahasa adalah
menenrjemahkan, menafsirkan, lalu hasil kerjanya dapat digunakan oleh berbagai
cabang ilmu untuk mendapat pemaknaan berdasar sudut padang ilmu masing-masing. Tidak
cukup Al-Qur’an dapat dipahami satu rumpun para ahli bahasa saja. Sarjana Pendidikan
Sejarah bisa memberi makna terhadap Al-Qur’an sebagai mentifact atau sociofact
menjadi ajaran tentang berlakunya hukum-hukum Tuhan dalam kehidupan. Kita harus bergotong royong menyebarluaskan ayat ayat Qur'an dengan berbagai bahasa, gaya dan latar belakang budaya.
Selama ini ada orang yang memberhalakan
ahli bahasa tertentu sebagai satu-satunya ilmu yang bisa memahami Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an turun dari Tuhan, maka tidak
boleh ada satu orang pun yang memberhalakan seseorang sebagai ahli Qur’an, karena
Al-Qur’an bukan kitab karangan manusia. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
tapi hakikatnya dalam bahasa Tuhan. Maka bahasa Tuhan tidak mungkin hanya bisa
dipahami oleh yang namanya ahli satu orang.
Maka semua orang harus menjadi
penyampai kebenaran. Ahli-ahli bahasa adalah penyampai kebenaran, tapi bukan
pemilik kebenaran. Bahasa Tuhan harus bisa dipahami dengan mudah oleh semua
orang dan semua kalangan. Untuk itu butuh bantuan semua ilmu untuk menjelaskan
kebenaran Al-Qur’an. Penerjemah Al-Qur’an seperti seorang Nabi yang mencoba
menjelaskan kitab suci kepada manusia sesuai dengan bahasa yang dipahami. Para
ahli bahasa Arab adalah penyampai kebenaran yang tidak boleh diberhalakan, dan tidak
boleh mengklaim sebagai pemilik kebenaran apalagi melarang dan merendahkan orang
yang hendak memahami Al-Qur’an dalam bahasa kaum yang dipahaminya. Tugas para ahli bahasa seperti tugas Nabi Muhammad saw, menyampaikan kebenaran bukan mengklaim kebenaran.
Al-Qur’an diterjemahkan untuk
memudahkan semua orang memahami isinya. Untuk itu Al-Qur’an dapat dipahami oleh
seluruh umat manusia berdasarkan bahasa yang dipahaminya. Itulah kemurahan
Tuhan kepada manusia karena Tuhan maha adil dan menguasai semua bahasa. Seharusnya para ahli bahasa justru
menganjurkan kepada semua orang untuk memahami isi Al-Qur’an dari hasil alih
bahasa yang dilakukannya untuk diapresiasi dari berbagai sudut pandang
keilmuan dan budaya, sehingga akan memperkaya pengetahuan para ahli bahasa untuk kembali
memperdalam ilmu Al-Qur’an.
Di lapangan orang-orang masih
ada yang melarang, merendahkan atau menyalahkan mereka yang berusaha memahami
Al-Qur’an dari terjemah. Mirisnya, orang-orang yang melarang dan merendahkan
itu, mereka juga tidak paham Al-Qur’an dan bukan ahli bahasa Arab. Mereka itu tidak
sadar telah menghalang-halangi banyak orang untuk bergaul dengan Al-Qur’an.
Mereka seperti berusaha mempertahankan manusia tetap bodoh karena tidak banyak
bergaul dengan isi Al-Qur’an.
Fakta ini jadi sebab tidak
lahirnya ulama-ulama tafsir Al-Qur’an dari berbagai sudut pandang keilmuan. Padahal
seharusnya di dalam dunia muslim, semua orang yang berlatar ilmu baik alam maupun
sosial harus memiliki kemampuan sebagai seorang ulama yang memahami Al-Qur’an
dari sudut pandang keilmuannya. Al-Qur’an harus dipahami dalam bahasa apa saja
agar banyak melahirkan ilmuwan berkualitas ulama.
Inilah sekat-sekat yang masih
menghambat berkembangnya ilmu dari sudut pandang keislaman. Akses untuk
memahami Al-Qur’an dibatasi karena ada berhala-berhala tidak berilmu yang
menghalang-halangi ilmuwan bersentuhan dengan Al-Qur’an. Berhala-berhala ini
menjelma dari yang bergelar dan sekedar belajar berdasar talaran tanpa gelar. Ilmu-ilmu
keislaman yang seharusnya bersumber dari Al-Qur’an mengalami stagnasi berabad abad
lamanya, dan ilmu, teknologi, berkembang liar karena tidak mengenal Tuhannya.
Untuk mengawalinya, sudah
saatnya hadir ulama-ulama sejarah, untuk membebaskan sejarah dari ikatan berhala-berhala
yang terus menghalang-halangi para sejarawan, guru sejarah, bersentuhan dengan
Al-Qur’an. Sejarah sebagai mentifact atau sosiofact itulah dasar pijakan
bagi para sejarawan, guru sejarah, untuk menggali, mengembangkan fakta, konsep,
generaliasi, teori, hukum, etika, dan filosofi sejarah yang diilhami oleh
Al-Qur’an. Inilah ulama-ulama yang akan mengimbangi zaman dan mempertahankan
manusia tetap percaya kepada Tuhan. Urusan salah dan benar, masuk surga atau
neraka, kurang dan lebih, bukan pengetahuan manusia untuk menentukannya saat
ini di dunia. Allah menilai kebaikan seseorang dari niat-niatnya yang ada dalam
hati manusia. Al-Qur’an diturunkan tidak
untuk menyulitkan manusia. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment