Oleh: Muhammad Plato
“Fiqih
itu bukan agama tapi budaya, maka dari itu harus ada yang diperbaiki di
sesuaikan dengan tuntutan zaman”. (Buya Syakur). Al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab. Mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab? Bahasa Arab termasuk
bahasa yang memiliki makna sangat kaya. Wadribuhunna yang selama ini dimaknai
sebagai memukul, ini hanya satu makna. Wadribuhunna (dalam An-Nisaa,
4;34), bisa dimaknai mogok, mendirikan, dan Buya Syakur memberi makna sebagai
memberi contoh teladan. (https://www.youtube.com/watch?v=5KVq8m092rc, 27/12/2018,
diakses 13/04/2020).
Perubahan
makna bukan berarti mengubah agama, tetapi mengubah budaya masyarakat. Jika dulu
suami diberi kewenangan untuk memukul istri, itu berdasar makna pada arti wadribuhunna
dengan makna memukul. Jika sekarang ada undang-undang melarang melakukan
pemukulan, maka makna wadribuhunna memiliki arti memberi contoh, atau
memberi hukuman dalam bentuk pengurangan hak yang tidak melukai secara fisik.
Hukum
potong tangan adalah batas maksimal hukuman bagi pencuri. Ketika di Indonesia
tidak diberlakukan tidak berarti menentang ajaran agama, tetapi mengganti
hukuman dengan dasar kemanusiaan yaitu dengan hukuman penjara. Terjadi kesalahan
jika pencuri tidak diberi hukuman. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan harus
diberi hukuman dan hukuman itu tidak boleh melampaui batas keadilan. Hak yang
memberi fatwa adalah Allah, para ulama hanya pemberi informasi dalam arti
menyuruh dan melarang. Demikian sedikit penjelasan tengan fiqih dari Buya Syakur.
Buya
Syakur juga menyinggung bahwa tafsir terhadap Al-Qur’an yang mengatakan bahwa
laki-laki adalah pemimpin perempuan dinilai telah berakibat dominasi dari kaum laki-laki
terhadap kaum perempuan. Sehingga tafsir terhadap ayat Qur’an yang mengatakan laki-laki
sebagai pemimpin perempuan harus dievaluasi agar penfasirannya lebih setara. Pada
kali ini penulis berbeda pendapat dengan Buya Syakur. Penulis tetap
mempertahankan bahwa dalam kondisi ideal seorang pemimpian adalah laki-laki.
Ketika terjadi penyimpangan bahwa terjadi penidasan kaum perempuan oleh
laki-laki, bukan ketentuan laki-lakinya sebagai pemimpin yang salah, tetapi
prilaku kepemimpinan laki-laki yang telah melampau batas-batas keadilan sebagai seorang pemimpin. Jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan dalam kepemimpinan
laki-laki maka dengan sendirinya justru kedudukan perempuan memiliki kemuliaan.
Untuk itu permasalahannya bukan di kepemimpinan laki-laki dari perempuan tapi
dari kualitas kepemimpinan laki-laki yang mengalami penurunan karenan kurang pengetahuan.
Sepakat
dengan Buya Syakur, bahwa ruh butuh makanan dengan shalat, zakat, puasa, haji,
sedekah, dan kegiatan ruhani yang diajarkan dalam agama. Otak perlu makanan dengan belajar, belajar, latihan,
seminar, sekolah, sampai liang lahat. Belajar bukan hanya mengaji baca huruf arab dengan tajwij. Menanam
terong, belajar menyetir, belajar dagang, belajar berbagai macam ilmu
pengetahuan adalah mengaji. Jika punya uang beli buku, langganan koran, langganan internet dan
membeli berbagai macam yang mengantarkan
kita pada manusia berilmu pengetahuan, itulah makanan otak.
Intinya
keluasaan atau keterbukaan umat beragama terhadap berbagai tafsiran terhadap
ayat Al-Qur’an harus semakin melek. Zaman informasi telah menuntut semua orang
untuk tidak memonopoli kebenaran konsep pada satu sudut pandang. Beragama di
abad informasi, wawasan harus diperluas karena pengetahuan tersebar luas
dimana-mana, dan hati harus mulai membuka diri bahwa ada makna-makna lain yang
dpihamai orang dalam mendekati Tuhannya. Kita tidak bisa lagi menghakimi
pikiran A, B, sesat tetapi kita hanya bisa berpendapat tanpa menyudutkan tetapi
memberikan penjelasan dan argumen yang bisa dipahami orang.
Saatnya
sudah berubah dari agama doktrin dengan agama dialog, saling mengisi, saling
melengkapi, untuk menuju tujuan yang sama yaitu hidup damai di dunia dan kembali
kepada Tuhan YME. Sebagaimana dimaknai
oleh Quraish Shihab (https://www.youtube.com/watch?v=KHeW3yhzxZA,
10/05/2019, diakses 13/04/2020) bahwa siratalmustakim adalah jalan yang lebar
yang menampung seluruh jalan-jalan kecil menuju kepada tujuan yang sama yaitu hidup
damai menuju kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Jalan-jalan kecil yang mengajak kepada
kedamaian maka akan ketemu dengan siratalmustakim.
Penulis
yang memahami Al-Qur’an dengan pendekatan ilmu sejarah, memiliki kesimpulan
bahwa pola pikir Al-Qur’an sangat-sangat
lembut dan tidak sedikitpun cenderung pada kekerasan. Al-Qur’an mengajarkan
pada hidup damai sebagai wujud kesejahteraan di dunia dan akhirat. Saatnya kita
membuka hati dan pikiran memperdalam keilmuan dalam beragama. Perbedaan menjadi kekayaan bagi kita yang tidak akan pernah ada kata akhir untuk berpikir. Wallhu’alam.
No comments:
Post a Comment