OLEH: MUHAMMAD PLATO
“jika anda mengatakan bahwa tak
ada manusia sempurna, maka dipastikan belum membaca kitab suci Al-Qur’an”. (Muhammad
Plato). Perkataan ini pasti berdasarkan pada penglihatan, pengalaman, bukan keterangan
dari Al-Qur’an dengan melihat proses penciptaan Adam. “Maka apabila Aku
telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)
Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr, 15:29). Penjelasan
tentang ayat ini berkaitan dengan Hadis, “sesungguhnya, Allah menciptakan Adam sesuai
dengan citra-Nya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Keterangan di dalam Al-Qur’an,
setiap manusia (Adam) diciptakan dengan ruh Tuhan. Berarti di dalam diri
manusia sesungguhnya ada ruh Tuhan, untuk itu potensi-potensi ketuhanan ada
dalam diri manusia. Berdasar keterangan ini, Sulaiman al-Kumayi Direktur Studi
Islam dan Perdamaian, menggagas ide 99Q (kecerdasan 99) yang diilhami dari 99
nama Allah yang mulia. Jika di dalam Al-Qur’an Allah telah mengajarkan nama-nama
maka hal ini menjelaskan bahwa manusia sudah memiliki bekal pengetahuan sebelum
mereka lahir ke dunia. (Amin, 2008, hlm. 24).
Manusia adalah makhluk dengan multitalenta.
Jika ahli-ahli pendidikan mengatakan tidak ada manusia bodoh, pernyataan ini
bisa dikatakan 1000 persen benar. Perkataan ini berdalil, atau didukung oleh keterangan
dari Al-Qur’an. Dijelaskan dalam proses penciptaan manusia, sudah ditiupkan ruh
Allah (segala potensi) ke dalam diri manusia. Menurut Sulaiman dengan potensi
ilahiah yang diberikan Tuhan, sebenarnya manusia memiliki segala kemampuan. (Amin,
2008, hlm 24).
INVESTASI CERDAS ADALAH INVESTASI UNTUK DUNIA DAN AKHIRAT (MUHAMMAD PLATO) |
Adapun hal-hal yang membuat manusia
tidak bisa memunculkan segala potensi yang ada pada dirinya dikarenakan oleh
faktor lingkungan. Lingkungan yang memengaruhinya dimulai sejak dalam proses di
dalam kandungan. Apa yang dimakan, dilakukan, dilihat, didengar, dipikirkan,
dan dirasakan, oleh ibunya itulah pengaruh lingkungan. Setelah dilhahirkan pola
asuh orang tua, dan apa yang dilakukan oleh anak itu sendiri adalah bagian dari
lingkungan yang memengaruhinya.
Lingkungan akan memberi
pengaruh kepada manusia sejak di dalam kandungan sampai dia hidup setelah
dilahirkan. “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya”, (Asy Syams, 91:8). Kefasikan (pengaruh buruk) dibentuk oleh
lingkungan-lingkungan buruk, dan ketakwaan (kebaikan) dibentuk oleh lingkungan
yang baik. Manusia beruntung adalah mereka yang bisa menjaga dirinya dari
pengaruh buruk, dan menjaganya dengan memelihara lingkungannya tetap baik. “sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”. (Asy Syams, 91:9-10).
Manusia diciptakan dengan
sempurna, namun setelah penciptaannya yang sempurna, Allah memberi kemampuan akal
kepada manusia yang bisa menerima, memilih, menemukan, dan memberi kemampuan untuk
memutuskan apakah menerima hal-hal yang buruk yang mengotorinya atau menyucikannya.
“Barang siapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan.” (Huud, 11:15). Manusia akan diberi kehidupan dunia dengan sempurna jika
dia mengerjakan keinginannya dengan sempurna. Demikian juga pada hari akhir, manusia akan
mendapat pekerjaannya dengan sempurna tanpa dirugikan. “Bagaimanakah nanti
apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang
adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya
sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)”. (Ali Imran, 3:25).
Kehidupan dunia adalah
lingkungan yang berpotensi memengaruhi kehidupan manusia. Hendaknya manusia
menyempurnakan usahanya dalam menjaga akhlaknya tetap baik sebagaimana Allah
berikan petunjukkanya kepada Nabi-Nabi yang membimbing setiap umat. Wahyu Allah
yang disampaikan kepada Rasulullah adalah petunjuk bagi manusia agar bisa
menjaga lingkungannya (pikiran, perasaan, prilaku) tetap baik. Nabi Muhammad
saw memerintah untuk meniru akhlak Allah. “takhallaqu bi Akhlak Allah. (Amin,
2008, hlm. 23).
Berdasarkan keterangan
ayat-ayat di atas, kita tidak menapikan usaha-usaha para pemikir pendidikan terdahulu
bahwa untuk menjaga dan memelihara potensi-potensi yang ada dalam diri manusia
diperlukan sebuah proses pendidikan. Namun, dada dasarnya usaha sadar
pendidikan adalah menjaga atau memengaruhi ruh-ruh manusia yang sempurna dari
lingkungan-lingkungan yang dapat mengilhaminya keburukan.
Usaha pendidikan ini tidak
dapat lepas dari bantuan petunjuk dari Allah dengan diturunkannya para Nabi dan
Rasul yang diberi wahyu. Ketika para Nabi dan Rasul sudah meninggalkan dunia,
maka manusia membutuhkan ajaran-ajaran Tuhan dari wahyu-wahyu yang masih ada
sekarang yang pernah diturunkan kepada Rasul Allah.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan
oleh manusia dari hasil pemikiran dan pengamatan alam berfungsi menjelaskan
petunjuk-petunjuk dari Allah secara rasional dengan mengacu kepada wahyu Allah.
Melepaskan keterkaitan pengetahuan wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
adalah ketidaksempurnaan para filsuf,
atau ilmuwan dalam menjaga lingkungan hidup manusia agar tetap baik.
Memasuki awal abad 21 ini,
dibutuhkan paradigma ilmu baru, yaitu paradigma yang mengembalikan kajian ilmu kepada
keterpaduan (integrasi). Menurut teori strukturalisme bahwa setiap unsur hanya
bisa dipahami melalui keterkaitan antar unsur. (Kuntowidjoyo, 2006, hlm. 32). Unsur
keterkaitan ini sangat ditekankan di dalam Islam. Konsep keterkaitan ini
dijelaskan di dalam surat Al Ma’un, disebutkan termasuk mendustakan agama jika
orang-orang shalat tidak memiliki kepedulian kepada anak-anak yatim dan fakir
miskin. (Kuntowidjoyo, 2006, hlm. 32-33).
Konsep-konsep pendidikan perlu
ditinjau ulang. Teori-teori pendidikan yang dikembangkan oleh para pemikir
sekuler perlu ditinjau ulang, dengan melihat keterkaitannya dengan
konsep-konsep pendidikan yang dikehendaki dalam kitab suci. Al-Qur’an bisa
menjadi salah satu rujukan untuk mengkritisi kembali konsep-konsep pendidikan
melalui pendekatan integrasi.
Pendidikan yang integralistik
tidak merendahkan teori-teori yang telah dikembangkan oleh pemikir sekuler.
Ilmu pendidikan integralistik mengembalikan kembali paradigma ilmu kepada wahyu
sebagai sumber pengembangan konsep, dan mencari keterpaduan dengan konsep-konsep
pendidikan yang telah dikembangkan oleh ahli-ahli pendidikan sekuler. Dalam
pandangan pendidikan integralistik, tidak menafikan atau merendahkan ilmu-ilmu
yang telah dikembangkan hanya memverifikasi kebenaran ilmu menurut pandangan
integralistik.
Sekularisme tidak lagi sesuai
dengan jiwa zaman. Dediferensiasi (rujuk kembali) adalah kehendak zaman yang mengalami
perubahan akibat perkembangan teknologi informasi. Dunia barat dan timur tidak
lagi terpisah oleh batas-batas negara. Teknologi informasi telah menyatukan
dunia dalam satu kawasan yaitu bumi manusia. Pergaulan manusia tidak lagi
dibatasi oleh suku, ras, agama, dan bangsa. Setiap manusia bisa berkomunikasi,
saling bertukar pikiran, jual beli dengan manusia di belahan bumi manapun dengan
bantuan teknologi informasi. Manusia ditakdirkan untuk saling tolong menolong
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa melihat latar belakangnya.
Musuh bersama saat ini adalah
manusia-manusia yang tidak mau hidup damai dalam satu bumi, yaitu
manusia-manusia yang membawa pengaruh-pengaruh negatif pada ruh manusia yang
sempurna. Perang pada pengaruh-pengeruah negatif pada ruh manusia yang sempurna
bukan hanya tanggung jawab kelompok-kelompok tertentu, tetapi menjadi tanggung
jawab manusia yang mengingikan kehidupan terbaik di dunia dan kehidupan terbaik
di akhirat. Semua manusia yang mengakui adanya Tuhan atau tidak, menginginkan kehidupan
terbaik di dunia.
Tujuan-tujuan pendidikan menurut
pandangan integralistik tidak lagi bersifat parsial tetapi untuk kesejahteraan
umat manusia. Manusia-manusia integralistik adalah manusia yang berkeyakinan
kepada Tuhan dan punya komitmen tinggi pada kemanusiaan. Sekalipun dia beragama
menurut keyakinan masing-masing, tetapi misinya adalah membawa kesejahteraan
untuk seluruh penghuni alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (manusia),
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Al Anbiya, 21:107). Inilah gambaran manusia
integralistik, yaitu manusia sempurna yang ruhnya selalu terjaga dari pengaruh-pengaruh
lingkungan (pemikiran, perasaan) negatif yang selalu mementingkan diri dan
kelompoknya. Agama tidak akan menjadi sekat-sekat yang menghalangi manusia
untuk berbuat baik pada sesama, jika benar-benar memahami petunjuk dari Tuhannya.
Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment