OLEH: MUHAMMAD PLATO
Manusia adalah makhluk doollin
(pelupa). Demikian Prof. Fahmi Basya menjelaskan makna Doollin dalam
surah Al-Fatihah dengan arti kata lupa. Memang benar pada kenyataannya manusia
sering lupa. Pada saat berdoa, shalat sekalipun kesadaran kita kepada Allah
sering lupa dari pada ingatnya. Di hutan kita bisa tersesat karena lupa jalan
pulang. Lupa adalah penyebab manusia tersesat.
Dalam surah Al-Fatihah, sudah
dijelaskan bahwa kita adalah orang yang telah berada di jalan lurus, namun
sering lupa. Oleh karena itu kita diajarkan berulang-ulang minta tolong agar
tidak dijadikan orang-orang lupa kepada Allah.
Saya, mungkin juga Anda, pada saat menghadapi
masalah besar sering lupa bahwa Allah pemberi pertolongan. Pikiran refleks kita
dalam situasi panik selalu mencari pertolongan pada makhluk, dan merasa khawatir,
putus asa, jika tidak ada sosok makhluk yang bisa dijadikan penolong. Kebiasaan
ini terbangun karena pola pikir yang tidak mengarusutamakan Allah sebagai Dzat
Maha Kuasa atas segala kejadian.
Daniel (dalam Hendarman, 2019,
hlm. 7) menjelaskan bahwa langkah revolusi mental terdiri tiga tahap yaitu; satu,
menemukan permasalahan hidup dan memunculkan harapan hidup lebih baik. Dua, menghilangkan segala perbuatan jelek dari
alam pikiran. Terakhir berserah diri dan memohon pertolongan dari Tuhan.
Penjelasan ini membuktikan bahwa Tuhan sebagai Dzat Maha Kuasa, disimpan pada
posisi terakhir dalam menyelesaikan masalah. Seharusnya disimpan pada awal akan
dilakukan penyelesaian salah, sebab Tuhanlah yang akan memberi petujuk kepada
kita dalam menyelesaikan masalah apapun di muka bumi ini.
Pola pikir menyimpan Tuhan di
posisi terakhir, yang menjadi kebiasaan awam ini lama kelamaan akan menggeser eksistensi
Tuhan menjadi tidak bermakna dalam kehidupan. Tuhan hanya berfungsi sebagai
pembangun harapan semata, bukan sebagai penyelesai masalah. Tuhan seharusnya
ditempatkan pada posisi pertama, agar Tuhan bisa kita rasakan dalam setiap
langkah sebagai penyelesai solusi plus pembangun harapan tanpa batas.
Pola pikir yang terbangun dalam
setiap masyarakat religius, seharusnya menjadikan Tuhan sebagai penolong utama,
pemberi ide, penyemangat, pemberi harapan, dan penggerak dalam seluruh
aktivitas kehidupan manusia. Pola pikir ini harus dipelihara dalam setiap
pikiran manusia, sampai menjadi bagian reflek alam bawah sadar masyarakat.
Ketika saya berbicara, membaca
kisah orang-orang sukses dari berbagai lapisan masyarakat, tidak sedikit yang
menjelaskan bagaimana pengalaman pribadi-pribadi mereka mendapat sukses
kehidupan dunia dengan intervensi ghaib (Tuhan) menjadi sebab kelancaran dan
kesuksesan hidupnya. Sayang kejadian-kejadian ini hanya dianggap sebagai
kejadian kasuistis orang per orang. Belum ada kesadaran untuk meneliti bahwa
fakta-fakta ini bisa dijelaskan dalam bentuk generalisasi menjadi sebuah teori
atau hukum. Selanjutnya dikembangkan mejadi pola pikir baku bagaimana manusia-manusia
berkualitas bisa tetap hidup di muka bumi dalam kehendak Tuhan.
Mayoritas filsuf di seluruh dunia
tidak pernah menyangkal dan berdebat jika dikatakan bahwa Tuhan sebagai causa
prima. Pola pikir ini harus ditanam, dipupuk, mengakar kuat, dan terus
tumbuh sampai berbunga dan berbuah menjadi karakter berpikir sehat setiap
manusia.
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (Ulil Albab).” (Ali Imran, 3:190).
Ulil Albab yang diterjemahkan
sebagai orang-orang berpikir atau berakal sehat, adalah mereka yang bisa
memahami tanda-tanda (sebab-sebab), di setiap kejadian atau fenomena bahwa di
dalamnya terdapat kekuasaan dan berlakunya hukum-hukum Tuhan. Bagi mereka yang
berhasil menjadi Ulil Albab (berpikir sehat), mereka akan berubah menjadi karakter-karakter
unggul.
Bagi mereka yang telah berhasil membiasakan
berpikir sehat, masalah sebesar apapun yang dihadapi manusia di muka bumi ini, akan
selalu dihadapi dan selalu optimis ada jalan keluarnya. Logika ini bisa terjadi
jika Allah dijadikan sebagai causa prima dalam setiap kejadian. Jika
Allah menjadi causa prima dalam setiap kejadian, maka Allah juga harus menjadi causa
prima dari segala solusi kehidupan manusia.
Jika Allah sudah menjadi causa
prima, maka siapa lagi yang bisa melebihi kekuasaan Allah. Maka siapa
orang-orang berpengaruh di dunia ini dan harus kita waspadai? Bukan mereka yang
memiliki keuasaan, kekayaan, dan teknologi, tetapi mereka yang menjadikan Tuhan
sebagai penolong utama dan selalu bergerak menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi.
Siapa manusia ini, siapa bangsa ini? Kemungkinan bisa hadir dari seluruh
penjuru dunia, termasuk dari Indonesia.
Bagi manusia-manusia unggul,
manusia berakal sehat, jika masalah sudah diadukan kepada Tuhan untuk diselesaikan,
maka siapa lagi yang bisa melebihi Tuhan? Pola pikir sombong manusia telah
meremehkan intervensi Tuhan di alam semesta, dengan menjadikan ilmu dan
teknologi sebagai Tuhan.
Jika Allah sudah menjadi causa prima, maka siapa lagi yang bisa melebihi kekuasaan Allah? (Muhammad Plato) |
Inilah pola berpikir seluruh
manusia di muka bumi, harus terus disosialisasikan
agar manusia belajar terus mencari dan mengembangkan pemikirannya atas nama Tuhan,
dan Tuhan adalah Yang Maha Berkehendak baik atas segala kejadian di muka bumi
ini. Wallahu’alam
No comments:
Post a Comment