OLEH: MUHAMMAD
PLATO
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung
selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya
rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Al Ankabut,
29:41).
Untuk memahami perumpamaan dalam ayat di atas, simak penjelasan Prof. Ika Rochdjatun Sastrahidayat (IRS). Menurut Beliau, perumpamaan
ini terletak pada kelakuan laba-laba. Pertama, laba-laba itu kelakuannya
soliter (menyendiri), maka sulit menternakkan laba-laba, berbeda dengan tawon
karena sifatnya komunal. Laba-laba jika bisa diternakkan kita bisa menghasilkan
benang. Jika manusia sifatnya soliter (menyendiri), itu tidak sesuai dengan
fitrah manusia.
Manusia laba-laba adalah manusia yang bertuhan pada hawa nafsunya, dan tidak mau diatur oleh Tuhannya. Manusia laba-laba ialah mereka yang mencari pembenaran bukan pada aturan dari Allah tetapi berdasar pada kesenangan, kebanggaan, dan pendapatnya, untuk eksistensi dirinya sendiri. Manusia laba-laba bertuhan pada selain Tuhan, mereka umpama berpegang pada tali yang rapuh seperti rapuhnya rumah laba-laba.
Manusia laba-laba adalah manusia yang bertuhan pada hawa nafsunya, dan tidak mau diatur oleh Tuhannya. Manusia laba-laba ialah mereka yang mencari pembenaran bukan pada aturan dari Allah tetapi berdasar pada kesenangan, kebanggaan, dan pendapatnya, untuk eksistensi dirinya sendiri. Manusia laba-laba bertuhan pada selain Tuhan, mereka umpama berpegang pada tali yang rapuh seperti rapuhnya rumah laba-laba.
Kedua, laba-laba itu kanibal. Laba-laba betina setelah
melakukan perkawinan dengan laba-laba jantannya yang lebih kecil, maka laba-laba
betina akan mengikat jantannya dengan benangnya untuk makanan anaknya. Prilaku ini
tidak mungkin terjadi pada manusia, yang harus membangun rumah tangganya untuk
melahirkan pemimpin yang kuat, dengan menghormati laki-laki sebagai kepala
rumah keluarga.
Ketiga, laba-laba itu beranak puluhan bahkan ratusan dalam
sarang yang sempit. Akibatnya saling injak antara satu dengan yang lainnya dan
saling memangsa karena mereka predator. Prilaku serangga menggambarkan kehidupan
yang tidak islami karena tidak mengikuti kaidah-kaidah sistem sosial. Jika kita
hidup dalam rumah dengan sistem sosial seperti itu, maka kita sedang hidup dalam
rumah-rumah yang rapuh.
ANAK-ANAK HARUS HIDUP DENGAN FITRAHNYA YAITU MENERIMA PERBEDAAN DAN HIDUP DALAM KEBERSAMAAN MEMBANGUN NEGARA YANG KUAT (MUHAMMAD PLATO) |
Indonesia adalah tempat tinggal kita, keluarga besar kita. Syiria,
Irak, Libya, Mesir, dan Yaman, mereka porak poranda. Mereka adalah contoh
negara-negara yang hidup dalam rumah-rumah yang rapuh seperti rumah laba-laba.
Indonesia adalah negara teraman di dunia. Indonesia harus diselamatkan dari manusia-manusia
yang berkarakter laba-laba.
Belajar dari perumpamaan laba-laba, tujuan pendidikan adalah menciptakan karakter-karakter anak sebagai anggota masyarakat yang sesuai dengan fitrah manusia yaitu sebagai manusia sosial. Manusia sesuai fitrah yaitu yang saling tolong menolong, bekerjasama, bahu-membahu untuk menjaga kedamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan-tujuan pendidikan di sekolah tidak akan berhasil
melahirkan manusia-manusia berjiwa sosial, jika masih ada manusia-manusia berkarakter
laba-laba yang anti sosial. Kita harus bersatu padu, untuk membangun rumah yang
kuat, yang dibangun dengan menegakkan ajaran-ajaran ilahiah, yang lebih
mengutamakan persatuan, kebersamaan, perdamaian, saling membantu, bahu-membahu,
untuk mewujudkan keluarga dan negara sejahtera.
Dalam masyarakat sejahtera tidak menutup adanya perbedaan,
tetapi punya komitmen bersama untuk tetap bersatu padu dan kompak, menjaga rumah tempat hidup kita agar tidak rapuh. Hakikatnya nilai-nilai ilahiah dari ajaran
Islam lahir untuk mempersatukan manusia dalam kehidupan yang majemuk. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment