OLEH: TOTO
SUHARYA
Dalam perkuliahan guru saya bercerita, “saya kaget mendengar
pernyataan seorang mahasiswa. Awalnya dia bertanya bahwa beragama Islam tidak
harus berbudaya Islam, karena ada budaya budaya lokal yang tidak kalah baik
dari budaya Islam”. Ketika dijelaskan, mahasiswa it terus melakukan interupsi, hingga
tidak mengerti bagaimana etika berdiskusi. Ketika ditanya, “agama anda apa?”
Jawabannya, “saya tidak beragama”. Guru saya tertegun mengapa tidak beragama
bisa hidup di Indonesia, karena Indonesia adalah negara ketuhanan.
Melihat tayangan diskusi Zakir Naik di Youtube, saya menyaksikan
seorang mahasiswa dari Indonesia beragama Islam mengaku Atheis. Dia merasa ada
atau tidak ada Tuhan tidak ada bedanya.
Asumsi guru saya, kasus mahasiswa tidak beragama adalah fenomena
gunung es. Di permukaan terlihat sedikit, dan yang tidak terlihat jumlanya sangat besar.
Kajian penulis, orang-orang bisa menjadi Atheis
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Faktor pertama adalah lingkungan
keluarga. Penulis menemukan beberapa fakta bahwa anak-anak tidak disiplin
shalat datang dari keluarga yang orang tuanya tidak begitu disiplin
melaksanakan shalat. Kedua, lingkungan pendidikan. Pendidikan umum yang tidak
berbasis keagamaan, tidak fokus mengajarkan ketauhidan, tetapi cenderung pada
pelajaran ilmu alam dan sosial. Ketiga, kualitas guru yang kurang memberi
teladan. Program-program keagamaan yang dirancang di sekolah secara masal,
tidak antusias didukung guru, terutama guru yang berkaitan dengan bidang studi
agama.
Ketika penulis melakukan pendataan tentang kedisiplinan
shalat bagi anak-anak muslim, angkanya hanya 40% siswa siswi yang melaksanakan
disiplin shalat lima waktu. Di sekolah-sekolah umum jarang sekali ada program
pendidikan yang mengontrol dan mengondisikan anak-anak untuk disiplin shalat lima
waktu.
"Kesejahteraan dunia adalah penyebab manusia abai kepada Tuhan" (MUHAMMAD PLATO) |
Keempat, faktor meningkatknya kesejahteraan hidup manusia, tetapi
pendidikan agama kurang, sehingga mendukung eksistensi pola pikir materialis. Hasil
survey Norris dan Inglehart, negara-negara sekuler yang tingkat
kesejahteraannya tinggi, rata-rata penduduknya tidak percaya Tuhan. Ibnu
Khaldun menemukan bahwa kekayaan menjadi faktor penyebab otak tumpul.
Orang-orang yang hidup dipinggiran dengan kesederhanaan, lebih cerdas dibanding
dengan kelompok masyarakat yang bergelimang kekayaan.
Kelima, teknologi informasi yang mengungkap berbagai macam
pengetahuan dari berbagai latar belakang budaya telah melunturkan keyakinan anak-anak
tentang ketuhanan, karena pondasi pengetahuan agamanya hanya dua jam per
minggu. Selain itu, dengan kondisi masyarakat minat baca rendah, informasi yang
diakses cenderung untuk mencari kesenangan, antara lain game, seks, dan
hiburan. Pengetahuan agama semakin sedikit tersimpan dalam memorinya.
Kelima faktor di atas menurut penulis bisa jadi penyebab munculnya pola pikir Atheis
di kalangan pelajar dan mahasiswa. Solusi penulis adalah perlu memperkenalkan pendekatan
keagamaan yang mengolah pola pikir. Nabi Ibrahim sebagai bapaknya para nabi,
mengajarkan agama kepada umatnya dengan mengajak berlogika. Pola berlogika seperti
Nabi Ibrahim, jika kita perhatikan hadis Nabi Muhammad saw, ternyata Nabi Muhammad
pun menggunakan logika seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim.
Logika yang diajarkan para Nabi adalah logika Tuhan, logika
yang tetap menghadirkan Tuhan sebagai satu-satunya Rabb sebagai sebab yang
harus disembah, dan inilah yang disebut jalan lurus. Pola pikir para nabi bisa di
pelajari dan diajarkan bersumber pada kitab suci Al-Qur’an.
Penulis berencana, menawarkan mata kuliah logika yang isinya
memperkenalkan logika Tuhan di sekolah atau kampus-kampus, untuk membentengi anak-anak
dari sikap Atheis, dan meladeni para penganut Atheis untuk berdiskusi berargumentasi
masalah ketuhanan. Upaya kecil ini telah dilakukan di sekolah-sekolah dengan
mengadakan seminar-seminar tentang logika Tuhan. Semoga Allah mencatat sebagai
amal baik di akhirat. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment