OLEH : MUHAMMAD PLATO
Boeree
(dalam Supardan, 2015, hlm. 212), menjelaskan
Sigmund Freud mempostulatkan kehendak terhadap kesenangan sebagai sumber
segala sumber segala dorongan dalam diri manusia, sementara Alfred Adler mempostulatkan
kehendak untuk berkuasa. Sedangkan Victor Emil Frankl (logoterapi)
mempostulatkan “kehendak untuk makna” sebagai sumber utama motivasi manusia.
Para
pemikir Barat, jika kita kaji dari Al-Qur’an mereka mengemukakan pemikiran-pemikiran
bersifat parsial. Ini sesuai sesuai dengan karakteristik alam yang nampak terpisah-pisah.
Pola pikir ini dikenal sebagai kelompok Newtonian.
Jika
kita menggunakan Al-Qur’an sebagai sudut pandang, maka sifatnya menjadi saling
keterkaitan. Pola pikir Al-Qur’an sama dengan kaum Fisika Quantum yang
memandang alam sebagai sistem saling keterkaitan (interconection). Hidup
manusia saling ketergantungan, dalam keseimbangan seperti gerak yin dan yang yang dijelaskan oleh Fritjop Capra.
Sigmund
Freud melalui pengamatannya, Beliau hanya bisa memahami bahwa manusia bertindak
atas dasar kehendak terhadap kesenangan. Melalui kemampuan akalnya Beliau
melakukan anlisis, dalam berbagai karakteristik tindakan manusia didasari oleh
kehendak terhadap kesenangan. Apa yang dikatakan Freud tidak salah, karena pada
dasarnya manusia memiliki kehendak pada kesenangan. Hal ini dijelaskan dalam
Al-Qur’an, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran, 3:14).
Alfred
Adler memfostulatkan kehendak berkuasa sebagai seluruh aktivitas manusia. Pendapatnya
memiliki kesamaan dengan Nietsche, bahwa seluruh aktivitas manusia bertujuan
mencari dan mempertahankan kekuasaan. Kedua pemikir ini sama-sama mengatakan
bahwa dalam diri manusia ada kehendak berkuasa. “Dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah, 2: 340). Perintah
sujudlah kamu kepada Adam, ditafsir oleh Muthahari sebagai tanda bahwa pada diri
manusia ada potensi atau naluri berkuasa. Potensi ini berhasil dibaca oleh Adler
dan Nietsche dan dikembangkan menjadi teoiri psikologi dan politik.
Jangan terlalu percaya kepada manusia-manusia yang berbicara ingin memelihara kesucian kitab suci Al-Qur’an, sementara ucapannya menghalang-halangi manusia dari hidayah Tuhan. (Muhammad Plato) |
Victor
Emil Frankl motivasi manusia dilandasi oleh kehendak untuk makna. Manusia
berhasil memberi nama-nama pada seluruh benda karena mampu menemukan makna
dibalik benda. Motivasi seseorang dilandasi oleh makna terhadap benda atau
kejadian. Tuhan tidak akan ditaati jika tidak memiliki makna bagi kehidupan manusia.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orang-orang yang benar!" (Al-Baqarah, 2:31). Jika makna Tuhan
bagi seseorang baik, maka dia akan taat kepada Tuhan. Sebalik jika Tuhan dimaknai sebagai sesuatu yang tidak berdaya ketika terjadi pembantaian,
maka Tuhan akan diabaikan. Manusia bertindak dan diam karena didorong oleh
kebermaknaan.
Penulis
tidak mau mengklaim bahwa seluruh ilmu pengetahuan milik orang Islam hanya karena
ada dalam Al-Qur’an. Tetapi ingin memberi kesadaran bahwa Tuhan Yang Maha Tahu menurunkan
kitab suci, memberi kabar tentang kejadian pada setiap makhluk. Al-Qur’an bukan
untuk orang Islam, tapi untuk dunia dan orang Islam diberi amanah untuk menyampaikannya.
Para
pemikir Barat adalah para penjaga ayat Allah, mereka meyakini secara parsial
dengan bahasa logika mereka sendiri. Mereka tidak mengabaikan Tuhan sebagai
pencipta dan merasa mereka sendiri penciptanya. Al-Qur’an sebagai sumber ilmu
pengetahuan belum kita uji keagungannya. Bukan manusia yang akan memelihara kesucian Al-Qur'an,
tapi Tuhan sendiri yang memeliharanya.
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya”. Inna nahnu najjalnadzdzikra,
wa innaalahu lahaapidiin. (Al Hijr, 15:9). Penulis tidak terlalu percaya
kepada manusia-manusia yang berbicara ingin memelihara kesucian kitab suci
Al-Qur’an, sementara upcapannya menghalang-halangi manusia dari hidayah Tuhan. Wallahu ‘alam.
(Penulis
Head Master Trainer)
No comments:
Post a Comment