OLEH: MUHAMMAD PLATO
Jika
Al-Ghazali sering digunakan oleh orang-orang untuk menyerang logika (akal), mari
kita buktikan apakah Al-Ghazali begitu membenci logika? Dalam bukunya, “Kimiya As-Sa’adah” (Kimia Kebahagiaan), Al-Ghazali
berbicara tentang siapa manusia?
Ketahuilah
bahwa kunci mengenal Allah adalah mengenal diri sendiri sebagaimana firman
Allah: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an
itu adalah benar”. (QS. Fushilat:53). Nabi Muhammad SAW,
bersabda: “Barangsiapa mengenal diri sendiri makai a sungguh telah mengenal
Tuhannya”. Ruh adalah diri
kita.
Ruh adalah esensi yang
harus kita kenal agar kita bisa mengenal siapa diri kita. “dan mereka bertanya kepada mu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk
urusan Tuhanku,” (QS. Al-Isra’:85). Karena ruh adalah urusan Allah, maka
mari kita lihat apa saja urusan Allah? “Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah
hak Allah,” (QS. Al-A’raf: 54).
Jika
diri kita adalah Ruh, dan ruh adalah urusan Allah, kita bisa memahami bahwa
urusan Allah adalah menciptakan dan memerintah. Ruh juga ada kaitan dengan tentara
Allah, “dan tidak ada yang mengetahui tantara
Tuhan mu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir, 31).
Menurut al-Ghazali ruh adalah hati yaitu
sebuah wadah yang berasal dari substansi malaikat. Di dalam diri manusia ada dua pasukan: pertama
pasukkan lahir berupa syahwat (nafsu, emosi) dan ghadhab (amarah, ambisi).
Tempat pasukan itu adalah tangan, kaki, mata, telinga, dan anggota tubuh
lainnya. Kedua, pasukan batin. Mereka bertempat di otak yang memiliki kemampuan
imajinasi, merenung, menghafal, mengingat, dan menduga. Kedua pasukan tersebut di
bawah kekuasaan hati. Semua anggota tubuh patuh kepada hati, sebagaimana
malaikat patuh kepada Tuhannya. (al-Ghazali, 2004, hlm. 24).
Jiwa
(Nafs) ibarat sebuah kota, tangan dan kaki adalah rakyat, nafsu sebagai
penguasa, amarah sebagai polisi, hati sebagai raja, sementara akal sebagai menterinya.
Hati sebagai raja akan mengedalikan pemerintahan hingga kerajaan dan wilayah
sekitarnya menjadi aman. Sang raja butuh bertukar pendapat dengan para menteri dan menjadikan penguasa lokal (nafsu) berada di
bawah kewenangan menteri. Seandainya akal (menteri) berada di bawah kekuasaan
nafsu (polisi) niscaya jiwa akan binasa dan hati akan merugi dikehidupan
akhirat. (al-Gazhali, 2004, hlm. 27-28).
Hati
adalah pengontrol akal, akal pengontrol indera, indera pengontrol jiwa.
Sebaliknya jiwa pelayan indera, indera pelayan akal, akal pelayan hati. Al-Ghazali
tidak menafikan akal (logika) dalam mengelola jiwa. Menurut al-Ghazali sekalipun
akal tunduk kepada hati, dalam posisinya sebagai raja, hati perlu sering
bertukar pendapat dengan akal, dan raja memberikan wewenang kepada akal untuk
mengendalikan indera.
Al-Ghazali
melarang berlogika murni mengandalkan indera, sementara hati memiliki kehendak
dan punya logika. Laranga berlogiak dari Al-Ghazali tidak mematikan logika
tetapi lebih membela logika hati sebagai bentuk ketundukkan akal kepada hati
sebagai raja. Pernyataan al-Gazhali yang melarang berlogika indera, dalam
rangka menjaga kedudukan hati sebagai raja. Akal diberi wewenang untuk
mengontrol indera sebagai perintah hati, sementara indera melayani akal yang
bekerja di bawah kendali hati.
Hati
sebagai substansi malaikat mewakili malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu.
Hati adalah segala ketetapan yang terdapat dalam wahyu kitab suci Al-Qur’an.
Memahami logika hati sama dengan memahami seluk beluk karakteristik Al-Qur’an
dengan menggunakan akal (logika).
Akal
bekerja dengan ketentuan berfikir sebab akibat. Pola pikir sebab akibat
kemudian dikenal dengan ilmu logika. Sejak saat itu logika memahami hati (Al-Qur’an)
dan logika memahami alam menjadi dua hal berbeda kadang bersebarangan kadang
saling menguatkan. Al-Ghazali ingin menjaga keteraturan sebagaimana struktur
ruh dalam jiwa bahwa hati adalah raja, maka tidak mungkin raja tunduk kepada
logika indera, sudah seharusnya indera tunduk kepada logika hati dan indera
harus melayaninya.
Logika
tuhan adalah logika yang digali dari Al-Qur’an sebagai sumber logika hati. Bertujuan
seperti Al-Ghazali menjadikan hati sebagai raja dan indera harus taat kepada
raja dengan melayani akal (logika) untuk melayani raja. Logika tuhan memperkuat
pemikiran Al-Ghazali, yaitu menjadikan hati sebagai raja dengan memberikan
wewenang kepada akal untuk mengendalikan indera. Sebagai mana pemerintahan
dalam kota, raja tidak aktif mengatur penguasa lokal dan mengawasi polisi. Raja
cukup memberi wewenang kepada perdana menteri (akal) yang taat kepada logika
hati untuk mengendalikan penguasa-penguasa lokal dan polisi. Akal bekerja dengan
logika tuhan yang menyuarakan suara-suara hati sebagai raja. Sesungguhnya hati
sebagai raja, dan akal sebagai perdana menteri, keduanya pembawa kebenaran dari
Tuhan yang mengajarkan logika-logika Tuhan kepada manusia dalam kitab suci. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment