OLEH: MUHAMMAD PLATO
Konsep
ilmu sudah dikenal di dalam Al-Qur’an. “Musa
berkata kepada Khidhr: ‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan
kepadaku ILMU yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’" (Al Kahfi, 18:66). Bahkan
secara khusus Al-Qur’an mengatakan ada konsep ilmu al kitab. “Berkatalah orang-orang kafir: "Kamu
bukan seorang yang dijadikan Rasul". Katakanlah: "Cukuplah Allah
menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ILMU AL KITAB ". (Ar ra’ad,
13;43).
Dalam
pandangan sekuler, ilmu memiliki definisi tersendiri. Dalam tulisan ini, saya tidak
merendahkan pemikiran sekuler, tetapi hanya ingin membandingkan sebuah
perbedaan berpikir antara sekuler dan integralis. Pandangan integralis diwakili
oleh Kuntowijoyo (2006) dalam bukunya Islam
sebagai Ilmu.
Salah
satu perbedaan konsep dalam pendekatan sekuler dan integralis terjadi pada
pengertian ilmu. Menurut pandangan sekuler, ilmu adalah pengetahuan yang telah
digali melalui metode penelitian. Pengetahuan yang belum diverifikasi melalui
metode penelitian, tidak layak dikatakan ilmu. Jika konsep ilmu semacam ini
diterapkan pada kitab suci maka isi pengetahuan yang ada dalam kitab suci harus
diverifikasi untuk layak dikatakan ilmu.
Dapat
dipahami, tindakan memverifikasi kitab suci seolah-olah meragukan kebenaran
kitab suci, maka memverifikasi pengetahuan yang ada dalam kitab suci dapat dianggap
sebagai salah satu tindakan merendahkan kitab suci.
Di
dalam penelitian ada dua kemungkinan terjadi yaitu hipotesis diterima atau
hipotesis ditolak. Jika hipotesis dari kitab suci di tolak, maka kitab suci
salah. Jika kitab suci salah, maka sangat tidak mungkin kitab suci salah. Jika kasus ini terjadi, maka status kitab suci
menjadi rendah dan tidak suci.
Inilah dasar pemikiran yang mengatakan bahwa kitab suci adalah kitab suci tidak perlu masuk pada ranah ilmu. Jika dipaksakan masuk pada ranah ilmu, khawatir kitab suci akan jadi bahan lecehan dan direndahkan karena ada kemungkinan apa yang dikatakan dalam kitab suci tidak sesuai kenyataan atau salah.
Namun
demikian, pengertian ilmu dari kitab suci sangat berbeda dengan padangan sekuler.
Jika kita telusuri, di dalam Al-Qur’an kita bisa temui beberapa definisi. “Dia mengetahui apa yang ada di hadapan
mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat
meliputi ilmu-Nya (‘ilman).”
(Thaahaa, 20:110). Berdasarkan keterangan ini, ilmu adalah pengetahuan masa
lalu dan masa yang akan datang.
“Dan orang-orang yang diberi (uutul’ilma)
ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa
wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar dan menunjuki
(manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”. (Saba, 34:6). Ilmu adalah pengetahuan yang
diturunkan Allah kepada manusia sebagai petunjuk jalan menuju kembali kepada
Tuhan. Jadi seluruh pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci adalah ilmu.
Prof.
Fahmi Basya mengatakan ilmu adalah segala ketentuan yang berlaku pasti dan
tidak mengalami perubahan. Di dalam Al-Qur’an kita bisa menemukan
ketentuan-ketentuan yang berlaku pasti. Maka dari itu, kitab suci Al-Qur’an
adalah kitab ilmu pengetahuan.
Jika
seluruh isi Al-Qur’an adalah ilmu, maka tugas para ilmuwan adalah melakukan
penelitian bagaimana aplikasi seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-Qur’an dalam
kehidupan. Penelitian dilakukan bukan untuk memverifikasi kebenaran seperti
konsep penelitian positivistik pada penelitian ilmu sekuler, tetapi untuk
menemukan penerapan yang tepat dalam kehidupan. Pola berpikir penelitian deduktif.
Atau
sebaliknya penelitian dilakukan untuk memverifikasi temuan-temuan ilmiah
sekuler di lapangan untuk diketahui kesesuain atau keterkaitannya dengan ketentuan
yang ada dalam Al-Qur’an. Pola berpikir penelitian induktif.
"Seluruh pengetahuan yang terdapat dalam kitab suci adalah ilmu" (Muhammad Plato) |
Paradigma
ini sesuai dengan fungsi kitab suci, yaitu “Kitab
(Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,
(Al-Baqarah, 2:2). Lalu bagaimana dengan pengakuan dunia luar tentang paradigma
ini? Hal terpenting dalam ilmu pengetahuan bukan pengakuan, tetapi bagaimana
dampak bagi kesejahteraan masyarakat. Lain ladang lain belalang. Hidup orang
Amerika, China, Jepang, berbeda, tetapi semua manusia diciptakan Tuhan dengan
ketentuan yang sama. Meminjam istilah Imanuel Kant, perbedaan hanya terjadi pada fenomena, sementara noumenanya
pasti sama.
Sepengetahuan penulis kita sudah memiliki para ahli ilmu kitab. Prof. Fahmi Basya menemukan Matematika Islam, Dr. Nataatmadja menemukan Intelegensi Spiritual, Ary Ginanjar dengan ESQ, dan Aa Gym dengan konsep Manajemen Qolbu, logika
tuhan adalah pola berpikir sebab akibat yang dikembangkan merujuk pada Al-Qur’an.
Dikembangkan melalui metode hubungan konsep, dan dikembangkan untuk tujuan menjadi
panduan dalam berpikir sehari-hari, untuk selalu menghasilkan cara pandang
berbeda dari biasanya dan selalu membawa ke arah optimis tanpa batas. Logika
tuhan adalah ilmu kitab, dikembangkan untuk memandu kita menjadi manusia dengan
intelegensi spiritual, punya kemampuan fleksibel intelegent, bisa hidup damai, sejahtera
dunia dan akhirat.
Sebagai
ilmu kitab, logika tuhan harus diajarkan kepada anak-anak, dewasa, dan tua.
Baik di lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment