OLEH: MUHAMMAD PLATO
Rezeki itu ghaib. Pendapat
ini sering dikemukakan dalam ceramah-ceramah keagamaan. Pendapat ini tidak
sederhana, karena di tafsir dari Al-Qur’an.
“…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (At Thalaq, 65:2-3).
Informasi
di atas, menjadi dasar penfasiran bahwa rezeki ghaib. Tepatnya tafsir rezeki
ghaib terletak pada kata “memberi rezeki dari arah tiada di
sangka-sangka”. Dalam pemahaman kita, rezeki tidak disangka-sangka adalah
tidak bisa ditentukan dari mana arah dan sumbernya, atau ghaib.
Bukti
bahwa rezeki ghaib, kita tidak pernah melakukan akuntansi keuangan di dalam
kehidupan rumah tangga, tetapi berapa banyak keluarga dengan penghasilan biasa-biasa,
pas-pasan, bisa membiayai anak-anaknya sekolah sarjana, bahkan lulus dari
universitas di luar negeri. Keluarga dengan penghasilan 2 juta per bulan hidup,
10 juta per bulan hidup, 68 juta perbulan hidup. Keluarga dengan penghasilan 2
juta kurang, 10 juta kurang, dan 68 juta ternyata masih kurang. Semua kurang,
tetapi semua hidup, itulah fakta rezeki ghaib.
Rezeki
adalah hak prerogatif Allah. Bisa dilihat dalam kalimat selanjutnya dalam ayat
di atas. “sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Kalimat ini memperkuat tafsir bahwa rezeki itu ghaib karena urusan Allah. Jika
urusan Allah yang Allah yang tahu, kita hanya menerka-nerka.
Para
ulama juga mengatakan, “rezeki seperti kematian selalu mengincar kita”. Artinya
jangan takut tidak dapat rezeki, dan jangan terlalu serius mencari-cari rezeki.
Sebagaimana kematian, jangan takut mati, dan jangan serius mencari-cari mati. Hidup
harus diatas kewajaran, bermain di dalam aturan. Bekerjalah di jam kerja, waktu
liburan manfaatkan untuk kepentingan keluarga dan bercengkrama dengan sesama warga.
Waktu shalat, tinggalkan pekerjaan, shalat dulu, jangan takut rezeki hilang,
karena Allah yang atur urusan rezeki.
Semua
manusia pasti mencari rezeki, tetapi apakah semua tawakal (optimis, berharap)
pada Allah? Semua pasti mencari rezeki, pergi pagi pulang sore atau malam,
belum tentu semua pencari rezeki harapannya selalu bergantung pada Allah.
Mungkin ada yang harapannya digantung pada hasil pekerjaan, penilaian atasan, follower, subscriber, atau perniagannya. Orang yang tidak tawakal, pasti
dijajah oleh pekerjaan, atasan, follower,
subscriber, dan perniagaannya.
Apa bedanya tawakal dan tidak tawakal? Dalam hidup pasti
ada dua siklus bergantian, sempit kemudian lapang, sempit kemudian lapang,
begitu seterusnya. Orang-orang tawakal dalam kondisi sempit tetap optimis,
dalam kondisi lapang semakin optimis. Jadi orang-orang tawakal optimisnya tanpa
batas berharap rezeki dari yang ghaib.
Tawakal itu obat anti putus asa! Pola pikir bertawakal
harus diajarkan didunia pendidikan, agar bangsa kita dari zaman ke zaman melahirkan
generasi-generasi tangguh pantang mengeluh tanpa batas!. Wallahu allam.
No comments:
Post a Comment