Penemuan kabel fiber optik telah
mengubah dunia material menjadi dunia maya. Kabel optik yang dalam setiap kabel
bisa membawa 8000 percakapan, telah menggantikan kabel tembaga yang hanya bisa menampung
42 percakapan. (Naisbitt, 1990). Inilah awal era globalisasi, dunia terhubung
dengan fiber optik. Lalu berkembang semakin luas dan personal dengan pemanfaatanan
internet. (internet of thing).
Pada masa ini, informasi menjadi
barang murah dan melimpah ruah. Semua orang menjadi cerdas dengan berbagai
pengetahuan yang diaksesnya dari internet. Kebenaran menjadi milik pribadi
karena setiap orang bisa berargumentasi dengan pengetahuan yang diyakininya.
Setiap orang sangat dipengaruhi oleh pengetahuan yang diaksesnya.
Abad informasi menjadi pisau
bermata dua. Di sisi lain bisa mencerdaskan setiap individu, di sisi lain bisa
menyesatkan. Kekerasan verbal dan fisik bisa jadi pribadi manusia, jika akses
pengetahuannya cenderung pada informasi yang mengaduk-ngaduk emosi. Kapitalis, hedonis,
konsumtif, bisa jadi pribadi manusia jika pengetahuan yang diaksesnya cenderung
materialis. Damai, sejahtera, jika pengetahuan yang diaksesnya dari agama yang
mengajarkan kedamaian hati dan pikiran.
Inilah ciri dari masa post truth (pasca kebenaran) di mana
kebenaran menjadi milik setiap pribadi. Kebenaran menjadi milik individu karena
mudahnya akses informasi. Pasca kebenaran (post truth) adalah masa di mana
kebenaran menjadi milik otoritas individu dan dijamin haknya untuk mengemukakan
dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Jaminan mengemukakan pendapat
difasilitasi oleh media sosial. Melalui media sosial pendapat individu bisa
menjadi pendapat publik. Pada akhirnya setiap orang memiliki kebenaran
berdasarkan ukuran pribadinya masing-masing. Inilah masa post truth masa kebenaran relative, karena setiap informasi kejadian
dipersepsi oleh banyak orang yang hak-haknya di lindungi undang-udang.
Di masa post truth, informasi tidak lagi dikendalikan oleh satu otoritas
baik individu maupun lembaga. Televisi, lembaga survey, ahli, ahlinya ahli,
tidak bisa lagi mengendalikan orang. Menurut John Naisbitt dan Aburdene. (1990,
hlm. 13) , zaman sekarang ditandai dengan “the
triumph of individual”. Semua orang bebas bicara tentang hal apa yang
diketahuinya dan membenarkan apa yang diketahuinya.
Televisi, lembaga survey, lembaga
fatwa, ustad kiyai, hanya sebatas sumber informasi. Keputusan akan sangat
tergantung pada kepemilikian pengetahuan yang dimiliki oleh seorang individu.
Pola-pola pikir ilmiah rasional-empiris yang telah memenuhi setiap relung
memori otaknya, akan sangat sulit menerima pengetahuan-pengetahuan ghaib dari
wahyu. Pola-pola pikir mistis, instan, tidak akan memandang semua informasi
sama asal ada orang yang menuturkannya. Pola pikir religius, cenderung hanya
menerima pengetahuan dari yang dijamin kebenarannya.
Memasuki masa post truth, pola pikir terpisah-pisah seperti
pendekatan masyarakat sekuler tidak akan bisa menjawab keadaan zaman. Setiap
kebenaran akan dipatahkan dan memiliki kelemahan. Hasil survey bisa kalah sama
doa, dan doa kadang terlihat kalah sama kekuatan teknologi. Seperti mencari penyebab
pertama, antara telur dan ayam. Tidak ada penyebab mutlak, akhirnya dunia
menjadi relatif. Orang mulai kehilangan pegangan dan cenderung apatis tidak
punya kepercayaan.
"Ajaran agama yang mendamaikan tidak memberi peluang kepada siapapun untuk menjadi tuhan selain Allah" (Muhammad Plato) |
Dalam kondisi seperti ini,
sebenarnya ajaran agama lebih dibutuhkan untuk membangkitkan optimisme. Namun para
pemeluk agama tidak bisa membedakan pola pikir agama dan hawa nafsu. Prilaku
beragama dan tidak beragama menjadi tidak terlihat perbedaannya. Kelompok mengatasnanamakan
agama menghujat keadaan sama dengan kelompok tidak beragama. Kelompok yang
mengatasnamakan agama mencela sesama, sama dengan kelompok tidak beragama. Akhirnya
muncul kesimpulan kelompok beragama sama berbahayanya dengan kelompok tidak
beragama.
Peran agama yang diharapkan di
zaman post truth adalah agama bisa mengajak damai dan mensejahterakan umat
manusia. Agama tersebut memiliki ajaran tidak saling mengejek, mencemooh, dan
saling menjatuhkan. Agama tersebut mampu membuat damai dalam perbedaan, dan
memberikan rasa optimisme dalam segala kondisi.
Ajaran agama yang mendamaikan
tidak memberi peluang kepada siapapun untuk menjadi tuhan. Pemegang ajaran
agama yang mendamaikan, hanya bertugas menyampaikan kebenaran, dan memberi
kabar gembira kepada orang-orang sabar dalam menjaga silaturahmi dengan rasa
damai. Kreativitasnya dalam menyampaikan
dan mengupayakan hidup damai menjadi ciri dari para pemeluk agama di masa post
truth. Kualitas beragama tidak dilihat dari mana asal kelompoknya tapi
diperlihatkan dalam akhlaknya secara individu. Wallahu a’alam.
(Head Master Trainer)
No comments:
Post a Comment