Oleh: Muhammad Plato
Scott
mengatakan, “fact are sacred, opinion
free”. (Carr, 1961, hlm. 10). Beliau ingin mengatakan segala kejadian yang
ada di muka bumi adalah suci (bebas dari kepentingan), namun setiap orang
boleh memberikan pendapat atau pemikirannya. Manusia sebagai makhluk berpikir pasti
akan selalu mengeluarkan opini (pendapat) terhadap segala kejadian oleh karena berpikir mengeluarkan pendapat adalah sifat dasar manusia.
Sekalipun mengeluarkan pendapat bebas dilakukan oleh setiap
orang, apa jadinya bangsa ini, jika pikiran, opini, pendapat, atau omongan
masyarakat hanya memuaskan keinginan hawa nafsu? Seperti yang terjadi di
negara kita, semua orang berpendapat, mengikuti standar kebenaran
berdasarkan latar belakang pengetahuan masing-masing tanpa merujuk pada dasar
petunjuk berpikir.
Apa
bedanya orang beragama dan tidak beragama dalam berpikir? Orang-orang beragama
berpikir mengikuti pola rujukan dari sumber yang dianggap sumber kebenaran dari
Tuhan yang diyakininya. Apakah selama ini kita telah menjadikan kitab suci sebagai rujukan dalam berpikir? Pada saat orang beragama mengeluarkan
pendapat, dengan merujuk pada sumber dasar agama, sesungguhnya dialah
orang beragama, karena dia menggunakan sumber kebenaran agamanya sebagai panduan
mengeluarkan pendapat.
Apapun
pendapatnya, sekalipun terjadi perbedaan pendapat, jika pendapat bersumber
pada kebenaran agama yang dianutnya, pendapat itu patut dihargai. Namun harus dipahami, pendapat atau opini sekalipun menggunakan sumber rujukan yang dianggap benar dari kitab suci, namanya tetap pemikiran atau
pendapat manusia, maka tidak berhak merasa atau memaksa sebagai satu-satunya pendapat yang benar, harus
tetap mengakui sebagai salah satu pendapat yang mungkin bisa salah karena
situasi atau ada pendapat lain yang lebih tepat.
Namun
demikian jika merujuk pada kitab suci Al-Qur’an, panduan beropini atau berpendapat tidak boleh menyalahkan atau merendahkan pendapat orang lain. Kita
hanya bisa menyampaikan opini, pendapat, kapasitasnya sebagai pemikiran pribadi.
Menyalahkan atau menyepelekan orang lain sama dengan berprasangka buruk
terhadap pendapat orang lain yang kita tidak tahu apa motivasi atau niat seseorang mengeluarkan opini atau pendapat tersebut. Sangkaan buruk, menyalahkan
orang lain adalah termasuk pola pikir jahiliyah atau dzonnal jahiliyyah, (Ali Imran, 3:154). Perintah berpendapat baik, dan larangan
mencari-cari kesalahan serta menyalah-nyalahkan pendapat orang lain ada dalam
Al-Qur’an;
ALLAH BERSAMA ORANG YANG BERPENDAPAT BAIK DAN MEMBAWA KEDAMAIAN |
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. (Al Hujurat, 49:12).
Penafsiran
dari ayat di atas dijelaskan dalam hadis Qudsi, “Aku
bersama dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia BERPRASANGKA dengan apa yang DIINGINKAN, bukan yang ia risaukan dan
khawatirkan”. (Hadis Qudsi).
Inilah
dalil MENGELUARKAN PENDAPAT. Dalam berprasangka (berpendapat) dalam hadis Qudsi dijelaskan
harus bersama Aku (Allah), artinya setiap prasangka harus sesuai dengan sifat Allah
Yang Maha Baik serta Mutlak Pemilik Kebaikan. Jika pendapat sudah dibarengi Allah mana mungkin ada pendapat buruk, sementara Allah Mutlak Baik. Pendapat
buruk, menyalahkan orang lain adalah pendapat yang tidak dibarengi Allah. Maka
dari itu berpendapat dengan apa yang diinginkan bukan berarti bebas sesuai keinginan (nafs) kita, tetapi keinginan yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang punya pendapat baik, yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat. Jadi berpendapat
dengan apa yang diinginkan bukan keinginan yang dibawa oleh keinginan (nafsu) destruktif,
tetapi keinginan (nafsu) mutm’ainnah (Al
Fajr, 89:27), yaitu nafsu atau keinginan yang membawa manusia pada kedamaiaan
dan kesejahteraan.
Pendapat-pendapat
buruk, dikendalikan oleh nafsu-nafsu destruktif yang tujuannya ingin
menyalahkan, mengalahkan, merendahkan, dan mempermalukan orang lain. Maka panduan berpikir
bagi setiap muslim adalah tidak berpendapat buruk tentang segala kejadian,
karena setiap pendapat harus dibarengi Allah, yang artinya segala pendapat
harus baik dalam arti tidak membawa perpecahan, tetapi menenangkan dan
mendamaikan umat manusia.
Pendapat yang akan membawa ketenangan yaitu pendapat yang tidak ditujukan untuk memaksakan sebagai satu pendapat yang paling benar atau pendapat yang tidak dibarengi rasa sebagai pemilik kebenaran. Jika rasa jadi pemilik kebenaran dimiliki, maka apa yang terjadi di masyarakat sekarang adalah bukti bahwa sebelum beperndapat kita harus belajar memahami etika dan tuntunan dalam berpendapat.
Tidak
ada perbedaan pendapat dan pasti semua sepakat, setiap pendapat harus membawa kesejahteraan dan
kedamaian bagi manusia. Nafsu-nafsu manusia yang
tidak dibarengi Allah akan membuat pendapat-pendapat merendahkan serta
memecah belah umat. Jika tidak memahami etika dan petunjuk berpikir dari Tuhan Yang Maha Esa, sekalipun beragama sebenarnya manusia tidak beragama. Seandainya berpendapat perlu etika dan petunjuk dari agama lalu kita sepakati bersama, sebagai bangsa demokrasi berpenduduk muslim terbesar
di dunia, tidak menutup kemungkinan kita akan jadi bangsa religius rujukan dunia dalam
berdemokrasi.
Sekalipun
kita telah memahami panduan berpikir, manusia pada hakikatnya pembuat salah,
maka kita akan selalu terjebak dalam kesalahan berpikir karena lupa. Berpikir gerakannya melebihi kecepatan cahaya, maka tidak menutup
kemungkinan manusia selalu melalukan kesalahan berpikir dalam kecepatan cahaya. Untuk itu, Allah mengakhiri ayat berprasangka dengan kata, “sesunggunya
Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang (innalloha tawwaburrohim). Wallahu
‘alam.
(Penulis Master Trainer Logika Tuhan)
No comments:
Post a Comment