Salah satu bukti manusia berpikir adalah setiap
hari manusia menafsir, setiap apa yang diindera. Ketika panca indera berfungsi,
maka pengetahuan akan masuk ke memori dan diolah oleh otak untuk kemudian
menghasilkan pengetahuan baru sebagai hasil sintesa. Proses sintesa pengetahuan adalah kegiatan otak berpikir, mengolah pengetahuan yang masuk ke
memori.
Praktek pengolahan pengetahuan dalam otak, dilakukan
oleh setiap orang. Praktek pengolahan pengetahuan (berpikir) ini ada yang disadari ada yang tidak. Hasil
dari proses berpikir yang bisa diamati dari luar adalah penafsiran yang
dikemukakan dalam bentuk lisan atau tulisan. Jika demikian, pembicaraan yang kita
utarakan, setiap kali bicara adalah hasil berpikir berupa penafsiran. Tafsiran
dalam bentuk obrolan sehari-hari adalah hasil pemikiran reflek yang tidak dalam
kontrol kesadaran. Bisa ditarik kesimpulan bahwa obrolan sehari-hari manusia
adalah tafsir tingkat rendah yang tidak mengeluarkan seluruh energi kesadaran sebagai bukti nyata manusia berpikir.
Manusia adalah Makhluk Penafsir. Ilmu Dasar Manafsir adalah Berprasangka Baik. |
Tafsir tingkat tinggi adalah hasil pemikiran yang
direncanakan untuk mendapat pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan. Pembicaraan
berkualitas di bawah kontrol kesadaran dilandasi oleh ilmu pengetahuan didukung oleh data dan fakta yang benar. Plato menegaskan bahwa hasil pengamatan
inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya
berubah-ubah. Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercaya kebenarannya.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang memberikan kebenaran kokoh, ia mesti bersumber pada hasil pengamatan yang tepat dan tidak
berubah-ubah. Hasil pengamatan yang tidak berubah-ubah, hanya bisa
datang dari alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh
Aristoteles sebagai “alam ide” suatu alam di mana manusia sebelum lahir telah
mendapatkan ide bawaan. Bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan
alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya. (Siraj, 2012, hlm. 24).
Namun demikian tidak semua orang bisa jadi peneliti
dan senang meneliti. Sebagaimana statistik masyarakat kita menunjukkan tidak
suka membaca, dan minat terhadap ilmu pengetahuan rendah. Budaya
ngobrol yang lebih diminati, masyarakat sangat rentan terjebak pada
pembicaraan tidak produktif karena sumber pembicaraannya diambil dari data dan fakta yang rendah derajat kebenarannya.
Menghindari pembicaraan kurang produktif, berkaitan dengan memahami ilmu dasar menafsir. Sebagaimana dalam pembelajaran sejarah,
menafsir adalah proses pemberian makna pada data atau fakta sejarah. Etika
dalam menafsir sekalipun hasilnya bisa baik dan buruk tujuannya tetap harus
positif. Kebenaran tafsir salah satunya ditentukan oleh kebenaran data atau fakta yang ditafsir. Jika
tafsir dinilai kurang tepat tidak akan bermakna buruk karena kembali kepada
data. Tafsir yang baik selain diukur dari kebenaran data atau fakta, juga bias diukur dari tujuan atau niat menafsir.
Untuk menghindari hal-hal kontroversi dalam
penafsiran, dibutuhkan kesepaktan bersama bahwa sebaik-baiknya tafsiran harus
membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, bagaimanapun kondisi data dan fakta
yang kita miliki. Sebagaimana dalam etika agama, sebaik baik tafsir adalah
tafsiran baik terhadap segala kejadian. Setiap tafsir tidak memiliki derajat
mutlak sebagai kebenaran. Untuk itulah agar terhindar dari tafsir yang salah,
setiap tafsir harus bertujuan dan diupayakan bernilai baik. Maka dari itu, tidak pernah ada
tafsir yang salah, jika setiap tafsir selalu di jaga untuk kebaikan umat
manusia.
Jika manusia adalah makhluk tukang tafsir, maka ilmu menafsir yang paling dasar, yang harus dipahami semua manusia adalah menafsir untuk tujuan baik. Ilmu
dasar dalam menafsir adalah PRASANGKA BAIK, sebagai mana dijelaskan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. (Al Hujuraat, 49:12).
Jauhi
prasangka karena sebagian prasangka adalah dosa. Jika sebagian prasangka adalah
dosa, maka ada sebagian prasangka yang berpahala. Oleh karena itu, “Aku
bersama dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, maka hendaklah ia BERPRASANGKA
dengan apa yang DIINGINKAN, bukan yang ia risaukan dan khawatirkan”.
(Hadis Qudsi).
Allah absolut pemilik kebaikan, maka Allah bersama orang-orang yang berprasangka baik. Dari dasar inilah lahir dasar ilmu tafsir yang bisa digunakan semua manusia sebagai makhluk tukang tafsir. Maka untuk menghindari kebinasaan, menciptakan kedamaian, tafsirlah semua kejadian menjadi baik, dengan tujuan baik, dan niat baik. Oleh karena kebaikan milik Allah, tidak ada tafsir manusia yang mutlak baik, kecuali setelah diadili oleh Allah di hari pengadilan. Wallahu “alam.
#Master logika tuhan
No comments:
Post a Comment