Oleh:
Muhammad Plato
Kasus
suap menyuap sebetulnya bukan masalah baru di Indonesia. Sejak dinobatkan
sebagai negara terkorup di dunia, sudah pasti bermacam-macam suap ada di
Indonesia. Seorang Profesor Dosen Kakak saya di sebuah Universitas
swasta ternama di Bandung berbicara, suap tidak bisa hilang dengan mudah di
bumi Indonesia. Bagaimana tidak, sejak dahulu nenek moyang kita selalu
mengajarkan dan mempraktekkan suap.
Setiap
malam selasa, malam jumat, nenek moyang kita melakukan ritual suap kepada para
leluhurnya dengan menyajikan sesajian. Mereka punya keyakinan jika tidak melakukan acara ritual
ini, akan kehilangan berkah dalam hidupnya. Saking percayanya, kebiasaan
ini bisa bertahan turun-temurun mungkin sampai sekarang.
Demi
mempertahankan ritual suap dan proses adaptasi dengan zaman, ritual suap antara
manusia dengan roh nenek moyang berubah menjadi suap diantara sesama manusia.
Suap dilakukan untuk memuluskan proyek yang dinilai bisa menghasilkan uang
banyak. Suap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Tiada hari tanpa suap,
itulah mungkin pepatah yang pas untuk menggambarkan kehidupan di Indonesia.
Alang
kepalang, masyarakat kita sudah biasa dengan suap, mau dibagaimanakan
lagi, kita tidak bisa hidup tanpa suap. Satu-satunya jalan kita harus
ikut-ikutan main suap. Kalau tidak ikut-ikutan suap jelaslah tidak akan
kebagian tender, alias
dapur tidak ngebul.
BERPIKIRLAH ADA SUAP YANG HALAL YAITU MENYUAP TUHAN |
Tapi
kita modifikasi
sedikit cara suapnya. Kalau masyarakat dahulu melakukan suap terhadap nenek
moyang sebagai perbuatan syirik, dan masyarakat sekarang main suap kepada
sesama manusia itu juga dosa besar karena berprilaku curang, yang halal main
suap kepada Allah yang
memiliki kekuasaan rezeki di dunia dan akhirat. Tentu saja menyuap Allah juga
harus sembunyi-sembunyi karena itulah hakikat suap. Semakin tersembunyi, suap
semakin baik.
Jika
selama ini orang-orang menginginkan kekayaan, jabatan, dengan cara suap, kita
juga lakukan hal yang sama. Jika orang-orang melakukan suap kepada pejabat,
atau atasan penentu kebijakan, kita juga harus lakukan suap kepada Penentu
Keputusan yaitu Allah SWT.
Jika
ingin jadi pegawai negeri (PNS), tentara, guru, dan polisi, berani keluarkan
dana 30 sampai 150 juta, kita juga harus
berani. Mengapa kita tidak sanggup keluarkan juga dana sebesar itu untuk Allah.
Kalau Anda orang
beriman suap saja Allah dengan dana sebesar itu. Caranya keluarkan dana sebesar itu untuk
fakir miskin, panti asuhan, dan kaum dhuafa.
Suap
kepada manusia hasilnya bisa
kita saksikan,
banyak yang tertipu
oleh oknum-oknum yang menjanjikan pekerjaan dan jabatan. Para penyuap kehilangan
uang dan akhirnya jatuh miskin. Sekarang anda pikirkan bahwa uang yang anda
berikan kepada fakir miskin untuk menyuap Allah, akan dikembalikan 10 sampai 700 kali
lipat. Ini adalah janji Allah dalam Al-Qur’an surat Al An’am ayat 160 dan Albaqarah ayat
261. Bayangkan jika Anda
menyuap Allah
30 juta saja, bukan hanya jabatan atau pekerjaan yang akan anda dapatkan,
justru anda akan mendapatkan kelimpahan harta dari Allah SWT.
Berpikirlah para penyuap! Jika
saja untuk memperoleh keinginan Anda berani berbuat jahat dengan melakukan suap terhadap sesama manusia,
mengapa juga Anda tidak berani berbuat baik, dengan cara menyuap Allah. Menyuap kepada manusia dan
kepada Allah modalnya sama, KE-BE-RA-NI-AN. Berani buruk atau baik? Kata Mario
Teguh, “pemberani itu ciri dari orang-orang beriman” Berpikirlah para
penyuap!!!
(Penulis Master Trainer @logika_Tuhan)
No comments:
Post a Comment