OLEH: MUHAMMAD PLATO
Sebuah
kebodohan besar jika peristiwa yang membuat luka batin menganga, tidak
meninggalkan pesan bermakna untuk kehidupan. Hukumnya setiap kejadian akan
meninggikan dan merendahkan kedudukan seseorang. Tafsir bagi orang-orang
beriman setiap kejadian akan meninggikan kedudukan kita dihadapan Tuhan.
Kejadian
singkat Minggu, tanggal 9 September 2018, meninggalkan berbagai hermeneutik
(tafsir) dari dalam pikiran penulis yang bukan hanya akan terjadi pada penulis
saja. Untuk itu penulis sampaikan beberapa hermeneutik dari kejadian tersebut
untuk jadi pelajaran bagi penulis, umumnya bagi sahabat-sahabat tercinta dan para
pembaca yang dirahmati Allah swt.
Kejadian
yang menimpa anak kandung penulis, tanggal 9 September 2018 adalah teguran dari
Allah kepada pribadi penulis, terhadap rentetan kejadian yang terjadi selama 18
tahun. Teguran sangat singkat terjadi di sampaikan malaikat maut. Dua hari dan
menjelang ajalnya hanya kurang lebih delapan jam. Rentetan kejadian yang
dilakukan penulis selama bertugas 18 tahun menjadi pendidik, kemudian ditegur
Allah hanya 8 jam dan sangat mengesankan sampai menghasilkan multi tafsir dari
sudut pandang penulis. Inilah kekayaan dan kreativitas Allah dalam memberikan
pelajaran kepada makhluknya.
Tafsir pertama; Kejadian minggu 9 September 2018 mengingatkan penulis pada suatu prilaku meremehkan dan kurang perhatian terhadap anggota keluarga. Dunia kerja yang menyita waktu, telah mengabaikan hak-hak anggota keluarga. Jika diprosentasekan perhatian ke keluarga, anak, istri, orang tua, kerabat, dengan ke dunia kerja, hampir 30 persen perhatian ke keluarga, dan 70 persen untuk dunia kerja. Panggilan anggota keluarga, dianggap gangguan terhadap dunia kerja, padahal mereka adalah amanah, dan penyuplai energi untuk penulis bisa bekerja dengan tenang.
Tafsir pertama; Kejadian minggu 9 September 2018 mengingatkan penulis pada suatu prilaku meremehkan dan kurang perhatian terhadap anggota keluarga. Dunia kerja yang menyita waktu, telah mengabaikan hak-hak anggota keluarga. Jika diprosentasekan perhatian ke keluarga, anak, istri, orang tua, kerabat, dengan ke dunia kerja, hampir 30 persen perhatian ke keluarga, dan 70 persen untuk dunia kerja. Panggilan anggota keluarga, dianggap gangguan terhadap dunia kerja, padahal mereka adalah amanah, dan penyuplai energi untuk penulis bisa bekerja dengan tenang.
Prilaku
buruk bertahun-tahun ini, ternyata mengundang teguran keras dari Allah, dengan
mengutus malaikat maut. Prilaku ini mengabaikan perintah Allah kepada penulis
sebagai kepala rumah tangga yang senantiasa menjaga amanah anak (keluarga)
sebagai titipan Allah, dan selalu berbakti kepada orang tua sebagai ketetapan
Allah. Pelanggaran ini, sepertinya sepele tetapi masuk pada kategori
pelanggaran besar dihadapan Allah swt.
Tafsir
kedua; kejadian itu telah mengajarkan kepada penulis dalam hal ibadah. Selama
ini, kegiatan-kegiatan ritual ibadah cenderung tendensi untuk harapan dunia,
hingga menyepelekan masalah akhirat. Pikiran penulis tidak pernah seimbang
memperlakukan dunia dan akhirat. Jika melihat perbandingan harapan dunia dan
akhirat, prosentase itu seharusnya 38 persen harapan dunia dan 62 persen
harapan akhirat. Kerja keras kita di dunia, harapannya bukan tendensi untuk
dunia tetapi 62 persen harus untuk akhirat. Itulah kesimbangan hidup yang harus
kita ciptakan dalam pikiran.
Prosentase
pembagian kerja, bisa didapatkan mengacu kepada konstanta golden ratio yang
dijelaskan Prof. K. H. Fahmi Basya dalam Flying Booknya di youtube. Konstanta
Golden ratio 1,618 terdapat dalam seluruh struktur tubuh manusia dan alam. Perbandingannya
adalah b/a = 1,618. Tepatnya nilai b adalah 3,236 dan a adalah 2. Maka 3,236/2
= 1,618.
Jika
kita ubah dalam angka prosentase maka 3,236+2=5,236. Untuk itu kita dapat
prosentase hidup manusia yaitu 2/5,236=0,38x100=38%, dan 3,236/5,236 = 0,62x100=62%.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kehidupan akhirat lebih besar dari kehidupan
dunia. Prosentasenya adalah 62 persen kehidupan akhirat dan 38 persen kehidupan
dunia. Dengan prosentase ini, tujuan hidup manusia akan mengalami keseimbangan
dan itulah kehidupan sejahtera manusia di dunia dan akhirat.
Menurut
Prof. K. H. Fahmi Basya, pemisahan urusan dipisahkan oleh Allah dengan
bijaksana. Beliau merujuk kepada dalil dalam Al-Qur’an, “Padanya dipisahkan tiap urusan dengan bijaksana”. (Ad Dukkhan,
44:4).
Penulis
mendapat pemahaman bahwa dalam menjaga keseimbangan hidup antara dunia kerja
dan keluarga harus berada pada titik keseimbangan sesuai dengan konstanta,
1,618. Maka untuk menjaga keseimbangan antara dunia keluarga dan dunia kerja,
prosentasenya adalah 62 persen perhatian untuk keluarga dan 38 persen untuk
dunia kerja. Logikanya kita harus bekerja profesional menyelesaikan semua
pekerjaan dengan cepat dalam prosentase 38%, dan sebagian besar 62% untuk menyelesaikan tugas membangun
keluarga sejahtera. Untuk mewujudkan titik keseimbangan ini, dunia kerja harus
dibentuk menjadi sebuah sistem kerjasama, profesional dan kondusif. Sebab jika
kita tidak bekerja profesional maka yang malu adalah keluarga.
Dari
24 jam per hari, pemerintah hanya menuntut kerja delapan jam per hari selama
lima hari. Jika kita prosentasekan, dunia kerja hanya menuntut 33 persen kerja
per hari, dan sisanya sekitar 67 persen
bersama keluarga. Ditambah libur Sabtu dan Minggu, dunia kerja kita
sudah memberi peluang kepada kita untuk membangun keluarga sejahtera.
Tafsir
ketiga; ibadah rutin kita sebagai wujud
ketaatan kepada Tuhan tidak menjamin kita terbebas dari kesalahan, juga tidak
akan terbebas dari ketetapan Tuhan bahwa manusia akan ditimpa kesulitan dan
bencana. Ibadah rutin sebagai wujud ketaatan kepada Tuhan Yang Esa,
menghindarkan manusia dari derita dan bencana bukan dalam bentuk fisik tetapi
dalam bentuk ruhaniyah yaitu terbentuknya jiwa damai dan sejahtera. Inilah
derajat tertinggi keimanan manusia kepada Tuhan yaitu terbentuknya jiwa-jiwa
yang damai dan sejahtera, jiwa-jiwa yang selalu dirahmati Tuhan yang Esa,
jiwa-jiwa yang merasa selalu dekat dengan Tuhan Yang Esa, dalam menghadapi segala kejadian di muka
bumi.
Tafsir
ke empat; dosa batin lebih berbahaya dari dosa lahir. Dosa batin tidak terlihat
secara kasat mata. Dosa batin hanya diketahui oleh Tuhan dan diri kita, yang
bisa memperbaikinya adalah diri kita sendiri. Ada orang berzina, sekalipun
manusia tidak mengetahui karena ditutupi, namun secara batin dirinya mengakui Tuhan
mengetahui. Itulah contoh dosa batin.
Untuk
mengobati dosa batin hanya kesadaran diri kita yang merasa selalu diawasi oleh
Tuhan. Tanpa kesadaran ingat kepada Tuhan, dosa batin akan membawa kebinasaan
manusia di dunia dan akhirat. Dosa batin meliputi dosa-dosa yang ada dalam
pikiran dan hati manusia, sangat rahasia dan tersembunyi. Dosa batin bersarang
dalam niat-niat jahat dan prasangka-prangka buruk manusia kepada Tuhan dan
makhluknya. Dosa batin akan diperingati oleh Allah dengan luka batin yang lebih
dahsyat dari luka lahir.
Dosa
batin bisa menimpa siapa saja, tidak peduli orang berpangkat, berkedudukan, dan
pemegang jabatan. Dosa batin bisa menimpa siapa saja, sekalipun manusia itu
sudah mencapai derajat pemimpin atau ulama di hadapan manusia. Tidak ada
manusia yang bisa luput dari dosa batin. Tidak ada manusia yang luput dari dosa
dihadapan Tuhan. Maka dari itu tidak boleh merasa terbebas dari dosa karena
ibadah-ibadah kita, kita harus merasa tetap waspada, mengoreksi pikiran dan hati
kita dihadapan Allah swt.
Aktivitas
lahir kita tidak akan dinilai baik oleh Allah swt. tanpa didasari oleh
batin-batin yang taat kepada Allah swt.
Kelak Allah akan mengadili batin-batin manusia, dan yang lahir akan
menjadi saksi-saksi kita. Semoga Allah melindungi batin kita tetap taat
kepada-Nya. Itulah pesan Allah melalui malaikat maut di minggu pagi (Sunday Morning) untuk penulis, semoga
bermanfaat.
Kami
ucapkan terimakasih untuk para pimpinan, sahabat-sahabat, dan kerabat semua yang telah berusaha
menguatkan batin kami sekeluarga. Semoga kita semua berkumpul di syurganya
Allah swt. Amin. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment