OLEH: MUHAMMAD PLATO
Nasehat
dalam tulisan ini, saya dapatkan dari Motivator Terbaik di bumi ini, Beliau
adalah Khattab ‘Aliyy Suharya. Dia adalah anak saya sendiri, yang meninggal
karena penyakit meningitis. Dalam menjelang sekarat beliau mengajari bapaknya (Sang
Jenderal di rumah tangga) bagaimana menjadi seorang pemimpin.
Hari
Kamis dan Jum’at, saya masih mengantar beliau sekolah. Selama diperjalanan dia
bercerita bahwa di sekolah dia dengan seorang temannya setiap hari melaksanakan
shalat dhuha. Dia juga melihat ada satu orang guru yang sering shalat dhuha di
pagi hari sebelum Istirahat pertama. Saya katakan, itu prilaku yang baik sekali,
membanggakan, dan seorang calon pewirausaha harus rajin shalat dhuha. Kemudian
permintaan terakhirnya, dia hendak membaca buku Jack Ma, untuk belajar
bagaimana menjadi pengusaha. Pada saat akhir khayatnya, buku Jack Ma masih
terselip di tas sekolahnya.
Beliau
juga cerita, bahwa dirinya di sekolah kerap mendapat ejekan karena badannya
gemuk. Namun khawatir saya hilang, karena dia sendiri mengatakan aku tidak
peduli dengan ejekan, karena ejekan telah memotivasi dirinya untuk menjadi
pengusaha sukses. Dia tahu bahwa kisah-kisah pengusaha sukses lahir karena
ejekan-ejekan yang kerap diterimanya. Kedua kalinya bangga saya mendengar ceita
anak tersebut. Harapan saya semakin kuat bahwa kelak anak saya akan jadi pengusaha sukses. Cita-citanya ingin jadi pengusaha bis, seperti Pak Haryanto idolanya, pemilik perusahaan bis PO Haryanto.
Menjelang
ajal, Beliau menderita sakit panas. Dimulailah pelajaran pertama dari sang
Inspirator. Saya menganggap sakit panas adalah sakit biasa yang diderita
anak-anak yang dalam waktu satu atau dua hari bisa kembali normal. Saya
nasehatkan dia untuk banyak minum dan makan, makan obat maag, dan minum madu,
lalu istirahat yang cukup.
MOTIVATOR: KHATTAB 'ALIYY SUHARYA, CITA-CITA PENGUSAHA. SEMOGA HIDUP DAMAI DI SYURGANYA ALLAH swt. |
Panasnya
menurun, tapi nafsu makan dan minum hilang. Saya nasehatin supaya mau makan dan
minum agar kesehatan cepat pulih. Lalu anak makan nasi lontong beberapa suap
dan minum. Inilah awal yang sangat mengenasnya terjadi. Dalam kondisi ini, anak
masih disepelekan, kurang diperhatikan, dengan candaan yang tidak pantas bagi seorang Jenderal
di rumah tangga.
Saya
tidak mengetahui jika gejala tidak mau makan dan minum adalah tanda bahwa tentara
pencabut nyawa sudah bergelombang-gelombang melakukan serangan mematikan ke
organ-organ vital. Rupanya saya sebagai jenderal masih belum menyadari
kehadiran para pencabut nyawa yang sudah mengincar seluruh organ vital.
Pagi
itu saya masih tetap beraktivitas dengan tenang, mengantar istri berdagang di
tempat terbuka yang banyak orang berolahraga setiap hari minggu. Setelah
memasang tenda, saya lanjutkan berolah raga seperti biasa. Tanpa diketahui,
anak saya sedang berjuang melawan berpuluh-puluh ribu pasukan pencabut nyawa. Dia
bertempur sendiri, tanpa komando, bantuan, petunjuk dan instruksi dari
Jenderal.
Setelah
berolah raga saya pulang ke rumah, dan langsung membuka laptop lalu belajar
toefl dari youtube. Sementara anak saya masih belum masuk makanan dan minuman.
Saya masih belum sadar bahwa gelombang pasukan pencabut nyawa telah berhasil
membuat badan anak saya kaku duduk sulit bergerak.
Saya
beranjak dari laptop dan mulai membujuk anak saya untuk makan dan minum. Tanpa
sadar anak sudah mulai tidak berdaya terhadap pasukan pencabut nyawa, saya
mencoba memberi minum satu gelas air madu dengan bantuan sendok. Setengah gelas
air madu masuk ke perutnya dengan susah payah.
Setelah
itu saya papah anak saya ke meja makan. Begitu sulit badan anak saya
digerakkan. Untuk bangun saja perlu perjuangan dengan bantuan tiga orang. Saya
belum sadar pasukan pencabut nyawa sudah menyerang bagian perut. Ketika masuk
ruang makan, anak saya sudah sulit sekali bergerak. Memorinya masih
memerintahkan untuk pergi ke wc dan membuka celana. Tetapi pasukan pencabut nyawa
sudah mengeluarkan seluruh kotoran sebelum masuk wc. Kotoran tersebar di
mana-mana memenuhi ruang makan dan dapur.
Disinilah
kegagalan saya sebagai Jenderal, dalam situasi darurat, dengan hati kasar
melemparkan omelan kepada anak saya dan dua kali sentuhan tidak bersahabat.
Masih terlihat lirikan anak saya saat itu penuh dengan arti. Seolah-olah dia ingin mengatakan, “Ade lagi sekarat papi! Tolong Ade!
Bodohnya
sang Jenderal masih dengan hati kasar membawa anak ke kamar mandi. Membersihkan
kotoran dengan air hangat dengan hati tidak bersahabat. Anak masih mengeluarkan
sisa-sisa kotoran sambil berdiri. Saya perintahkan untuk duduk di kloset supaya
nyaman buang air besarnya, dengan tidak bersahabat pula. Untuk kesekian kalinya
sang Jenderal tidak sadar bahwa pasukan pencabut nyawa sudah semakin massif menyerang
organ-organ vitalnya. Anak saya sudah terlihat limbung dan kehilangan daya
ingat.
Sekalipun
terlambat, sang Jenderal baru sadar bahwa anaknya (pelabuhannya) sudah mendapat
serangan-serangan mematikan dibagian vital yaitu otak. Anak saya sudah terkena
serangan kaku duduk, kehilangan daya ingat, sulit komunikasi, dan seluruh
kontrol kesadaran hampir lumpuh. Perutnya sudah dikuasai penuh oleh pasukan
pencabut nyawa. Sang Jenderal memeluknya dan mulai khawatir. Romannya berubah
seperti pecundang.
Evakuasi
dilakukan segera ke rumah sakit
terdekat, hitungan nyawanya ternyata hanya tinggal hitungan jam. Sesampainya di
klinik, pasukan pencabut nyawa sudah menyerang paru-paru dan hampir ke Jantung.
Napasnya sudah tersengal-sengal. Mulutnya kejang dan giginya beradu menimbulkan
bunyi menyakitkan. Tiba-tiba semburan darah kotor menyebur keluar dari mulut
dan hidungnya. Sang Jenderal belum sadar bahwa itu adalah pertanda pelabuhannya
akan musnah dari permukaan bumi.
Evakuasi
dilanjutkan ke rumah sakit besar yang terbaik dekat kota. Di tengah jalan
rencana berubah tanpa sepengetahuan. Anak dievakuasi ke rumah sakit terbesar
tetapi dengan kualitas layanan buruk. Jenderal menyerah karena kondisi
daraurat.
Di
rumah sakit tersebut, anak sudah masuk ruangan darurat dengan penanganan sesuai
prosedur tanpa menjamin bisa sembuh atau tidak. Para penjaga ruang gawat
darurat bekerja benar-benar sesuai prosedur tanpa memperhatikan faktor lain.
Prosedur sudah dilaksanakan, pekerjaan selesai dan mereka kembali beraktivitas
seperti tidak sedang menghadapi situasi darurat.
Napas
buatan, selang udara, selang penarik cairan dari lambung masuk melalui mulut dan
hidung. Anak saya bernafas dengan tersengal-sengal. Sang Jenderal masih
berinisiatif, membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk memotivati dan memberi
energi. Terlihat tenang dan detak jantungnya masih bisa dipertahankan. Kondisi
detak jantungnya mulai menurun setelah dipindahkan ke ruang rawat sementara.
Sang Jenderal tidak bisa mendampingi dalam jarak dekat karena ruangan sumpek
dan sempit sehingga tidak punya keleluasaan untuk mendekati telinganya untuk
membisikan energi-energi ilahi. Itulah kegagalan Jenderal yang terus menerus
diperlihatkan oleh Tuhan. Hingga, kondisi kesadaran anak terus menurun dan
berakhirlah sudah harapan hidupnya di dunia fana, jiwanya bangkit hidup di alam
baka dengan tenang dan bahagia.
Sang
Jenderal baru sadar bahwa pelabuhannya telah mendapat serangan mendadak.
Serangan pasukan pencabut nyawa seperti serangan pasukan Jepang menyerang
pelabuhan Pearl Harbour di Hawai pada hari minggu pagi 7 Desember 1941. Jenderal
Franklin D. Roosevelt baru sadar setelah pelabuhannya bumi hangus oleh pasukan
berani mati Jepang.
Peristiwa
serangan pasukan pencabut nyawa juga terjadi hari minggu, 9 September 2018.
Dalam hitungan jam, serangan-serangan dari kurang lebih 30.000 (data lekosit
dari lab) pasukan pencabut nyawa, mematikan organ-organ vital di pelabuhan. Semua
sirna, 12 tahun pelabuhan dikembangkan dan dipelihara, punah seketika karena
kelalaian sang Jenderal dalam mendeteksi dan memahami adanya serangan pasukan
pencabut nyawa.
Maka
bukan hancurnya kapal induk yang membuat hati Jenderal terluka, tetapi
kegagalannya sebagai seorang Jenderal dalam melaksanakan tugasnya memelihara
dan menjaga pelabuhan. Kegagalan ini menjadi motivator sang Jenderal untuk
hidup lebih cerdas, waspada, bijaksana, dan selalu siaga. Kegagalan ini menjadi
motivator untuk menjadi seorang Jenderal yang selalu penuh perhatian, penuh
kasih dan pemelihara tanpa melihat situasi dan kondisi. Kegagalan ini menjadi
motivator untuk menjadi seorang jenderal
yang pandai merasa dan selalu terbuka terhadap segala nasihat dari manapun dan dimanapun
berada.
Terimakasih
Khattab ‘Aliyy Suharya, terimakah Allah swt, saya bangga diajari oleh
orang-orang hebat dan dikirim langsung oleh sang Pencipta. Sang Jenderal belajar
dan memahami, keluarga dan anggotanya adalah pelabuhan yang harus selalu
dijaga, karena keluarga adalah pelabuhan sebagai suplai energi untuk kita bisa
bekerja dengan semangat mengabdi untuk negara, dengan gagah perkasa. Itulah
energi dari Allah yang disimpan di keluarga. Wallahu ‘alam.
(Master Trainer Logika Tuhan)
No comments:
Post a Comment