OLEH
MUHAMMAD PLATO
Kasihan Profesor,
sampai meringis-ringis mencoba menjelaskan tentang makna fiksi yang maknanya
sudah beredar dipahami semua orang adalah fiktif. Bagi yang sudah belajar ilmu
logika dari kitab suci Al-Qur’an, memahami makna fiski mudah saja.
Saya setuju dengan
pendapat Ustad yang memberi panduan dalam memahami makna fiksi. Memahami persepsi
seseorang tentang sesuatu, kita harus melihat siapa yang mengemukakannya. Arti
kata fiksi bagi pemikir ilmu alam murni, tentu beda makna dengan pemikir yang
dipengaruhi ilmu pengetahuan dari kitab suci.
Bagi profesor ahli
filsafat materialis, mereka memberi makna fiksi bukan sebagai kata fiktif
tetapi sesuatu yang belum terjadi dan masih tersimpan di alam ide. Saya setuju
dengan pendapat Ustad, bahwa memahami sebuah pendapat harus dilandasi oleh
pengetahuan kita tentang pengetahuan-pengetahuan mana yang dimiliki oleh si
pemberi pendapat. Karena setiap pendapat orang dilatarbelakangi oleh asupan
pengetahuan yang dimilikinya.
SEGALA SESUATU YANG TIDAK BISA KITA LIHAT ADALAH GAIB SEKALIPUN ADA DALAM PIKIRAN |
Jika mencermati
pernyataan Profesor, kata fiksi yang dia lontarkan bukan seperti fiksi yang punya
makna seperti di kamus KBBI. Kata fiksi yang dikemukakan profesor diartikan khusus
dari kamus filsafat materialis.
Saya punya
pendapat, kata fiksi yang dikemukakan oleh profesor lebih amannya menggunakan
kata gaib. Karena kata fiksi sudah terpahami oleh semua orang sebagai khayalan
yang tidak nyata. Tapi bisa tidak tepat juga karena kata gaib, bukan bahasa
filsuf materialis. Tapi setidaknya saya menemukan sedikit titik temu antara
kata fiksi dari kaum filsafat materialis dengan kata gaib dari para filosof
muslim.
Gaib artinya
sesuatu yang tersembunyi di balik tabir, yaitu sesuatu yang tidak bisa
ditangkap dengan indera, dan berada di luar jangkauan nalar yang empiris. Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, (Al An’aam, 6:59). Dia
mengetahui yang gaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. (Al An’aam, 6:73). Para filosof Muslim mengambil pelajaran dari
ungkapan-ungkapan Al-Qur’an ini, dengan menamakan alam materi dengan alam
syahadah, sedangkan alam malakut mereka beri istilah alam gaib. (Muthahari, 2001).
Bagi para penganut
agama, menyebutkan kitab suci sebagai produk gaib lebih aman dibanding
menyebutkan sebagai karya fiksi. Perbedaan kontras terlihat, karya gaib
didasari oleh keimanan kepada Tuhan sebagai pencipta. Kata fiksi di dasari oleh
kepercayaan bahwa segala sesuatu harus berumber dari karya makhluk (materi).
Untuk itu menyebutkan
kitab suci sebagai fiksi, bisa punya makna menyerang keyakinan orang-orang yang
percaya pada Tuhan. Pasalnya para filosof materialis tidak menjadikan kitab
suci sebagai sumber atau dasar pemikiran mereka. Dengan demikian Profesor telah
merendahkan keyakinan para penganut agama yang percaya bahwa kitab suci sebagai
karya Sang Gaib. Pernyataan profesor yang punya sudut pandang materialis, telah
menganggap kitab suci sebagai karya kreasi, sebuah fiksi dalam arti positif yang
bersumber dari makhluk.
Amannya, kata fiksi tidak bisa digunakan untuk menjelaskan kitab suci, lebih baik digunakan
untuk menjelaskan karya-karya makhluk ciptaan Tuhan. Sesuatu yang belum terjadi yang
berada dalam kitab suci, adalah gaib, karena bagi para penganutnya kitab suci
adalah karya suci dari Sang Gaib. Wallahu ‘alam.
Ini tulisan yang bagus untuk dibaca para netizen yang sedang berdebat tentang "kitab suci itu fiksi".
ReplyDelete