OLEH:
MUHAMMAD PLATO
Seumur baru sekali
mendengar khutbah shalat Jumat, yang menjelaskan tentang larangan mengunakan
fasilitas umum untuk kepentingan pribadi. Sehingga menurut pendapat khotib saat
itu, berjualan di trotoar adalah perbuatan dilarang agama, karena sama dengan
mengambil hak orang lain untuk kepentingan pribadi.
Setelah itu, nyaris tak
terdengar khotib-khotib membahas tata cara hidup bermasyarakat sesuai ajaran
agama dengan mengangkat kasus-kasus di masyarakat. Padahal khutbah jumat adalah
kesempatan emas untuk mendidik umat dengan biaya gratis.
Bayangkan untuk
mengumpulkan 100 orang peserta seminar kita harus promosi, sewa gedung, pesan
konsumi, dan catering. Untuk seminar butuh biaya besar, sedangkan untuk mendengarkan
khutbah dan shalat jumat orang datang sendiri. Khutbah jumat seharusnya dikemas
sebaik mungkin agar setelah pulang jumatan masyarakat muslim menjadi cerdas,
dan punya bekal untuk menyelesaikan masalah hidup.
Selain masalah pedagang
kaki lima, di masyarakat telah terjadi kebiasaan melakukan penyerobotan lahan pemerintah,
jalan umum, dan ruang terbuka, untuk kepentingan pribadi. Daerah resapan air
kota Bandung di bagian utara, kini habis jadi pemukiman dan tempat kuliner yang
dikelola oleh masyarakat. Di wilayah Cianjur selatan, banyak tanah-tanah milik
negara berubah menjadi milik pribadi dan ditempati menjadi pemukiman.
Gejala ini terjadi,
akibat semakin padatnya jumlah penduduk dan tidak merata penyebarannya. Di
wilayah kota, dalam lingkungan perumahan ruang kegiatan terbuka yang disediakan
pengembang, bukan lagi tempat bermain anak-anak, tapi jadi tempat parkir mobil
pribadi. Jalan perumahan yang sempit juga digunakan parkir motor warga dan tempat
jemur pakaian. Inilah gejala kehidupan sosial yang tidak sehat di kota-kota
besar.
Pemerintah DKI Jakarta yang
akan memberlakukan syarat punya lahan parkir bagi pemilik kendaraan adalah
upaya pendidikan masyarakat agar tidak menyerobot hak umum. Parkir mobil di
jalan umum, gang, trotoar, adalah pelanggaran yang sangat merugikan orang
banyak.
Masyarakat juga kerap
menggunakan jalan untuk kepentingan pribadi, dengan mengelar hajatan menutupi
jalan umum. Pemasangan tenda pengantin, panggung hiburan, memakan setengah
badan jalan bahkan menutup total.
Demi hajatan pribadi, jalan
ditutup sampai berhari-hari dan setelah selesai tidak cepat-cepat dibongkar.
Kebiasan ini terjadi hampir di setiap daerah, dan tidak ada upaya edukasi dari
pemerintah atau tokoh masyarakat, ulama, petugas, yang melarang fasilitas umum
digunakan untuk kepentingan pribadi.
Sebenarnya kita tidak bisa membenarkan sesuatu atas dasar karena keadaan mendesak. Kehidupan masyarakat harus tetap mengacu kepada aturan hukum yang berlaku dalam kondisi apapun, terutama mengacu pada aturan kehidupan yang didasari nilai-nilai ajaran agama.
Perintah Allah bagi orang-orang beragama, “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,”
(QS. An Nisaa’: 29). Ajaran ini seharusnya diimplementasikan dalam kehidupan
masyarakat.
Menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi sama dengan
mengambil hak orang lain dengan dzalim. Rasulullah saw, dalam hadis menjelaskan.
“Barangsiapa
mengambil sejengkal tanah secara zhalim, maka pada hari kiamat ia akan dihimpit
dengan tujuh lapis bumi”. [HR.
Muslim No.3023]. Dahsyatnya ancaman bagi para pengambil hak orang lain, memberi
sinyal bahwa prilaku ini sangat dilarang keras dilakukan oleh orang-orang
beriman.
KH.Ovied.R yang berkedudukan sebagai dewan fatwa dari Malasyia,
bersepakat apabila terjadi adanya bertentangan kepentingan (kemaslahatan umat),
maka didahulukanlah kepentingan yang lebih mendasar (kepentingan yang lebih
besar).”
Demikian juga dengan Dr. H. Ahmad Zuhri, Lc. MA. Ketua Komisi Fatwa MUI
dari Kota Medan menyimpulkan jika jalan umum atau tempat milik umum sengaja
digunakan untuk acara tertentu baik bersifat pribadi atau untuk kepentingan
tertentu yang menyebabkan terjadinya keresahan atau mengganggu kepentingan
umum, maka hukumnya Haram bagi panitia yang membuat acara tersebut. Fatwa ini
memiliki dasar kuat karena sejalan dengan keterangan dalam kitab suci Al-Qur’an
dan hadis.
Fatwa ini sangat mengikat, karena pada prinsipnya agama mengatur manusia
agar tidak berbuat merugikan orang lain. Semua ajaran agama menuntut manusia
menjadi makhluk yang membawa kesejahteraan bagi alam. Sesungguhnya Tuhan
menciptakan alam semesta dengan prinsip saling memberi manfaat, sehingga dengan
prinsip ini akan terjadi kesimbangan hidup, kedamaian, dan kesejahteraan bagi
alam.
Sejam, sehari, sejengkal, dua jengkal, jika dengan sadar merugikan orang
lain, sesungguhnya kita telah gagal menjadi masyarakat beragama. Bagaimana bisa
dikatakan masyarakat beragama, jika berhari-hari, berbulan-bulan,
bertahun-tahun, dan menjadi kebiasaan, masyarakat hidup merugikan orang lain.
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di
muka bumi dengan membuat kerusakan”; (Asy Syu’araa, 26:183)
Jika alam diciptakan oleh Tuhan dengan prinsip memberi, maka
manusia-manusia pengambil hak orang lain adalah manusia keterlaluan, dan melampaui
batas ketentuan Tuhan. Mereka adalah produk gagal dalam memahami ajaran agama. Wallahu
‘alam.
No comments:
Post a Comment