OLEH:
MUHAMMAD PLATO
Sudah
lama saya ingin menulis tentang topik berkaitan dengan pentingnya para pemikir
memiliki kemampuan memilah objek perdebatan. Kemampuan ini penting dimiliki untuk
menghindari perdebatan sia-sia, yaitu perdebatan yang kebenarannya tidak bisa dibuktikan
dalam kenyataan, bersifat abstrak, multi tafsir, dan hanya pengadilan Tuhan
yang maha mengetahui keputusannya.
Keinginan
ini berkaitan dengan fenomena perdebatan dalam obrolan santai, perkuliahan,
televisi, dan media sosial, yang menurut hemat penulis hanya perdebatan
sia-sia. Dampak buruk dari perdebatan sia-sia adalah terjadinya perpecahan
karena saling klaim kebenaran berdasarkan persepsi masing-masing. Berujung pada
saling hujat, saling mengkafirkan, dan bisa terjadi tindak kekerasan memaksakan
satu kebenaran.
Perdebatan
sia-sia terjadi dalam objek debat pada hal-hal ghaib. Perdebatan tentang
sesuatu yang gaib telah terjadi di zaman Nabi Muhammad saw, diantaranya perdebatan
tentang jumlah pemuda dalam gua. Lalu Allah memberi peringatan kepada Nabi
Muhammad saw, dalam Al-Qur’an.
“Nanti (ada orang yang akan)
mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan
(yang lain) mengatakan: "(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam
adalah anjingnya", sebagai terkaan
terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(Jumlah
mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya". Katakanlah:
"Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui
(bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena
itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali
pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka
(pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka”. (Al Kahfi, 18:22)
BERDEBAT TENTANG KEBENARAN YANG GHAIB JANGAN HARAP MENEMUKAN KEDAMAIAN, KECUALI KITA SALING MENGHORMATI DAN SAMA-SAMA MENUNGGU PENGADILAN DARI TUHAN. |
Ayat di atas menginformasikan larangan berdebat tentang hal gaib. Berdebat tentang hal ghaib akan sia-sia. Seperti mempemasalahkan jumlah penghuni gua yang sudah terjadi di masa lalu, bukan masalah penting yang harus dibesar-besarkan karena kebenaran ghaib sulit dipastikan. Untuk itu Allah memerintahkan, berdebatlah tentang hal-hal yang lahir yang kebenarannya bisa dibuktikan dalam kenyataan sehingga umat akan terhindar dari pepecahan.
Berdebat
tentang hal gaib tidak dapat dipastikan siapa yang benar, karena semua perdebatan
didasarkan pada terkaan atau prasangka. Allah menjelaskan sebagian dari
prasangka adalah dosa, maka untuk itu perdebatan tentang hal yang ghaib harus
dihindari.
Allah
menegaskan bahwa hal-hal gaib hanya milik-Nya. “Katakanlah: "Tidak ada seorang pun di langit dan di
bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah", dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (An Naml, 25:65).
Ayat
di atas mendasari sebuah etika debat, jika terjebak pada perdebatan tentang hal
ghaib, untuk segera kembali pada kesadaran bahwa pengetahuan hal yang ghaib
milik Allah.Nabi Muhammad saw, menghindari perdebatan tentang hal ghaib dengan
menegaskan posisi dirinya sebagai manusia, “Katakanlah:
"Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan
tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu
bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang
melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan (nya)?” (Al An’aam, 6:50).
Nabi
Muhammad saw, menerangkan bahwa hal-hal gaib yang dikemukakannya tidak lain
hanyalah terbatas apa yang diwahyukan Allah kepadanya. Di luar itu, Beliau
mengumpamakan antara Allah dengan dirinya seperti orang buta dengan orang yang melihat. Allah maha melihat segala yang
lahir dan bathin, sementara orang buta (manusia) memiliki keterbatasan, yaitu
tidak bisa mengetahui yang tidak dilihanya (gaib).
Orang
buta yang tidak pernah melihat keindahan gunung, langit, dan luasnya bumi, tidak
akan bisa sempurna menggambarkan bagaimana indahnya gunung, langit, dan luasnya
bumi karena tidak punya pengetahuan tentang itu. Adapun apa yang orang buta
kemukakan pasti hanyalah menerka-nerka.
Maka
perdebatan tetang hal-hal gaib yang kita tidak memiliki pengetahuannya tentang
itu, seperti perdebatan antara orang buta dengan orang buta yang tidak pernah
melihat gajah, atau perdebatan antara orang bodoh dengan orang bodoh yang
sama-sama tidak memiliki pengetahuan tentang hal yang diperdebatkannya. Inilah
perdebatan sia-sia yang tidak dikehendaki Allah.
Perdebatan
tetang hal yang gaib hanya boleh sebatas apa yang kita ketahui dari kitab suci.
Jika dari kitab suci diluar jangkauan nalar, maka kita wajib mengembalikannya kepada
Allah, kita tunggu saja siapa yang paling benar dihadapan pengadilan Allah.
Sebagaimana diajarkan kepada kita dalam Al-Qur’an.
Manusia
hanya ditugaskan untuk berharap kepada Allah saja. Tidak ada jaminan siapapun
masuk surga karena syurga di akhirat itu ghaib dan itu milik Allah. Jika ada
orang yang mengklaim dengan yakin, dan berapi-api bahwa “saya pasti masuk surga
kalau mati”, maka dia hanya menerka-nerka. Untuk itulah seorang muslim tidak
bisa memastikan dirinya masuk surga atau tidak, kecuali hanya berharap dalam doa kepada Allah,
supaya dimasukkan ke dalam surga-Nya.
Maka katakanlah: "
Sesungguhnya yang gaib itu kepunyaan Allah; sebab itu tunggu (sajalah) olehmu,
sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu. (Yunus,
10:20).
Jika
perdebatan tentang hal gaib yang bersumber kepada kita suci Al-Qur’an tidak
menemukan titik temu, etikanya harus sepakat mengembalikan kepada Allah, dan
kita tunggu pengadilan Allah yang memutuskan dikmudian hari sampai akhirat. Sikap
demikian itu akan menghasilkan suasana damai dan timbul persatuan karena
sama-sama berharap kepada Allah.
Sesungguhnya
kebenaran itu milik Allah, maka setiap orang punya persepsi tentang kebenaran
berdasarkan pengetahuan yang diperolehnya. Tidak dibenarkan memaksakan kebenaran
persepsinya individu atau kelompok kepada orang lain, kecuali kita saling
bertukar pikiran dengan santun. Dan Allah akan mengadili persepsi kita semua.
Semoga Allah selalu memberi petunjuk dan hidayah kepada kita semua. Wallahu ‘alam.
(Penulis
Master Trainer @logika_Tuhan)
No comments:
Post a Comment