OLEH:
MUHAMMAD PLATO
Mencari
siapa yang salah dalam masalah rumah tangga, seperti mengurai benang kusut.
Saya ingat ketika masih kecil suka main laying-layang, ketika benanganya kusut,
saya coba urai, tapi benang malah tambah kusut dan emosi saya memuncak akhirnya
sambil marah benang dibuang dalam keadaan kusut.
Itulah
perumpamaan bagaimana sulitnya mengurai masalah dalam kehidupan rumah tangga.
Sulitnya mengurai masalah dalam rumah tangga diawali dari ketidaktahuan seluruh
anggota keluarga bahwa hidup dalam sebuah kelompok yang namanya keluarga ada
aturan-aturan yang harus ditaati oleh seluruh anggota keluarga.
Permasalahan
dalam keluarga diawali sejak akad nikah. Pemahaman umum tentang akad nikah
adalah proses sahnya seorang laki-laki berhubungan intim dengan perempuan
karena sudah menjadi suami istri. Itu pikiran cetek saya dulu ketika setelah
melaksanakan akad nikah. Pikiran ini tidak salah tapi terlalu dangkalnya saya dalam
memahami akad nikah.
Saya
baru paham setelah berdiskusi dengan istri tentang bagaimana mengurai masalah
hidup yang ada dalam rumah tangga seseorang. Istri selalu menjadi teman
berdiskusi, karena Beliau selalu mendapat masukkan dari teman-temannya
berkaitan seputar rumah tangga, dan selalu mendiskusikannya, di saat-saat
santai menjelang tidur, sesaat setelah pulang kerja, atau saat sedang makan
dengan saya.
AKAD NIKAH ADALAH PERJANJIAN BESAR ANTARA MANUSIA DENGAN ALLAH SWT., DISAKSIKAN MANUSIA, BAHWA LAKI-LAKI DIJADIKAN PEMIMPIN YANG DIATAATI UNTUK MELAKSANAKAN PERINTAH ALLAH SWT. |
Ketika
saya melakukan survey sederhana dalam media sosial, dan wawancara langsung
dengan istri tentang apa makna akad nikah ketika dulu setelah akad nikah? Jawaban
istri cukup sederhana bahwa setelah akad nikah saya punya suami.
Setelah
berdiksusi lama dengan istri, saya menemukan pemahaman bahwa peristiwa akad
nikah bukan hanya sebatas legalnya hubungan seks dengan alasan sudah suami
istri, tapi akad nikah adalah suatu peristiwa politik. Akad nikah adalah
kontrak sosial yang disaksikan oleh pihak keluarga laki-laki dan keluarga perempuan,
bahwa sesungguhnya laki-laki dan perempuan dalam akad tersebut, DINOBATKAN diambil
sumpahnya sebagai PEMIMPIN (kepala rumah
tangga) secara sah.
Peristiwa
akad nikah yang rongkah itu adalah seperti peristiwa politik dalam pemilu
presiden atau pemilihan kepala daerah. Akad nikah adalah perisitwa penting,
dimana laki-laki dikukuhkan sebagai pemimpin bagi kaum wanita. Peristiwa akad
nikah sebagai pengukuhan pemimpin dalam rumah tangga dilandasi oleh aturan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ank
arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang shaleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An Nisaa,
4:34).
Sebagai
peristiwa politik, akad nikah selain kontrak politik antar sesama manusia,
lebih dahsyat lagi akad nikah sebagai bentuk perjanjian kuat antara manusia
(PRIBADI) dengan Allah. Perjanjian kuat antara manusia dengan Allah dijelaskan
dalam kitab suci Al-Qur’an.
Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain
sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang teguh. (An Nisaa, 4:21).
Akad
nikah bukan saja perjanjian teguh antara manusia dengan manusia, tetapi antara
manusia dengan Allah. Keterangan lebih jelas dari Allah dengan menyamakan
kuatnya konsep penjanjian atau akad nikah dengan perjanjian antara Allah dengan
para Nabi ditandai dengan pengunaan istilah yang sama dalam Al-Qur’an yaitu “perjanjian yang teguh” (miisaqon golidzan).
Dan (ingatlah) ketika Kami
mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim,
Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Al Ahzab, 33:7).
Lebih
jelas Allah merinci isi perjanjian dengan manusia, sebagaimana Allah mengambil
perjanjian dengan Bani Israel.
Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israel
(yaitu): Janganlah kamu menyembah selain
Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan
orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia,
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji
itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (Al
Baqarah, 2:83).
Jadi
ada makna yang harus dipahami oleh kaum laki-laki dan wanita, bahwa peristiwa
akad nikah adalah suatu proses perjanjian teguh antara manusia dengan Allah,
dengan disaksikan oleh manusia sebagai saksi sebagai berikut:
- Akad nikah adalah perjanjian teguh antara laki-laki dan wanita disaksikan oleh seluruh keluarganya, bahwa laki-laki diakui oleh wanita sebagai pemimpin YANG HARUS DITAATI, DIMOTIVASI UNTUK MEMENUHI SEGALA PERJANJIANNYA DENGAN ALLAH SWT. Dilandasi dari surat An-Nisaa, (3:34), sebagai pemimpin, laki-laki bertugas melaksanakan perjanjian teguhnya dengan Allah swt.
- Akad nikah adalah perjanjian kuat antara laki-laki sebagai pemimpin dengan Allah, ISI PERJANJIANNYA yaitu membawa seluruh anggota yang dipimpinnya untuk hanya menyembah kepada Allah, BERBUAT BAIK KEPADA ORANG TUA (IBU, BAPAK), KAUM KERABAT, anak-anak yatim, orang-orang miskin, berkata (berlaku) baik kepada sesama manusia, mendirikan shalat, dan melaksanakan zakat.
Inilah
tugas politik kaum laki-laki yang dinobatkan oleh Allah sebagai pemimpin,
disaksikan oleh manusia-manusia lainnya dari golongan keluarga mereka sendiri.
Sesungguhnya tugas berat ini diemban oleh semua manusia untuk mendukung seluruh
pemimpin di muka bumi ini untuk melaksanakannya. Siapa yang berpaling? Kerugian
akan menimpanya.
Siapa
yang kehidupan keluarganya berkomitmen terhadap perjanjian dengan Allah ini,
maka keberuntungan besar berupa ketenangan jiwa, kelimpahan rezeki, dan
keturunan-keturunan berkualitas akan mereka dapatkan.
Jadi
pangkal penyebab keretakan dalam kehidupan rumah tangga adalah ketidaktaatan
pimpinan (suami) terhadap perjanjian yang sudah dibuatnya dengan Allah (akibat
ketidaktahuan), atau ketidaktaatan yang dipimpin (istri) terhadap
ketentuan-ketetuan Allah yang telah dibebankan dan dilaksanakan pemimpin (suami). Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment