OLEH:
MUHAMMAD PLATO
“Jangan MELIHAT apa yang dikatakan MANUSIA,
tapi PERHATIKAN apa yang dikatakan
MANUSIA”. (Toto Suharya, 2017). Semoga sedikit tulisan ini membuka pemahaman
kita tentang kebenaran Tuhan.
Manusia seyogyanya
memiliki kemampuan memilah mana hawa nafsu dan mana kebenaran dari Allah. Nabi
Muhammad saw, tidak pernah berkata berdasarkan hawa nafsunya, Beliau selalu mengatakan
berdasarkan kebenaran yang telah diajarkan Allah melalui Jibril.
Pengetahuan dari Allah,
dapat kita pelajari sekarang terkumpul dalam kitab suci Al-Qur’an. “Para ulama
bersepakat bahwa jumlah ayat al-Qur`an adalah 6.000 ayat, tetapi mereka
berselisih pendapat tentang kelebihannya. Ada yang berpendapat lebih 204 ayat,
214 ayat, 219 ayat, 225 ayat, dan 236 ayat. Al-Qur`an standar mushaf ‘Utsmani
yang beredar berjumlah 604 halaman atau 302 lembar yang terdiri dari 114 surat,
6.236 ayat, 77.439 kata, dan 340.740 huruf, menurut pendapat yang masyhur”. (Kandir Nor, 2016).
Kita suci Al-Qur’an
yang isinya 1000 persen pengetahuan dari Tuhan semesta alam, adalah alat ukur,
apa yang dikatakan seseorang adalah kebenaran atau sekedar hawa nafsunya, apakah
yang dikatakan kebenaran dari Tuhan atau hanya membela golongan dan
leluluhurnya.
Kitab suci Al-Qur’an
adalah sumber ilmu pengetahuan yang dapat menghasilkan berbagai ilmu untuk kehidupan
manusia. Dikabarkan dalam Al-Qur’an, orang-orang yang mengembangkan ilmu pengetahuan
bersumber dari Tuhan, dapat melahirkan ilmu dan teknologi super canggih yang
tidak pernah dibuat oleh manusia manapun.
Prof. Kiai. Fahmi Basya,
mengemukakan kedahsyatan ilmu manusia yang berhasil mengembangkan ilmu
pengetahuan dari Tuhan, digambarkan dalam kisah perpindahan istana Ratu Saba ke
Kerajaan Nabi Sulaiman.
“Berkatalah seorang
yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip". (An Naml, 27:40).
Ayat ini adalah bukti
betapa dahsyatnya ilmu manusia yang dikembangkan dari kitab suci. Dengan ayat
ini, Allah memberi tahu kepada manusia bahwa di dalam kitab suci-Nya, ada ilmu
dan teknologi yang bisa dikembangkan manusia. Salah satunya, teknologi
perpindahan benda dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Hanya orang-orang
super cerdas yang bisa memahami keberadaan ilmu ini.
Proses perpindahan
benda dalam waktu super cepat, diberitakan pula dalam peristiwa Isra dan Mi’raj
Nabi Muhammad saw. Abu Bakar adalah sahabat Nabi yang membenarkan terjadinya
perpindahan benda dalam waktu super cepat itu. Pembenaran Abu Bakar bukan tanpa
bukti. Abu Bakar yang pernah datang ke Masjidil Aqsa sangat yakin, peristiwa
Isra Mi’raj yang di alami Nabi Muhammad saw. adalah fakta, karena Nabi Muhammad
bisa menceritakan ciri-ciri Masjidil Aqsa yang disinggahinya ketika Isra
Mi’raj.
Hal menarik adalah Abu
Bakar tidak langsung percaya kepada Nabi Muhammad, sebelum meneliti dengan
bukti. Hal ini bukan berarti Abu Bakar orang ragu, tapi orang yang selalu
berkeinginan memiliki keyakinan haqul yakin.
Saatnya kaum Muslimin menjadi
manusia-manusia super cerdas, yang mampu memahami kebenaran bukan hanya melihat
siapa yang mengatakannya, tapi membenarkan karena membaca berdasarkan pengetahuan,
fakta, pemikiran, yang bersumber kepada kitab suci dari Tuhan Semesta Alam.
Sains Qur’an yang
dikembangkan oleh Prof Kiai Fahmi Basya hanya bisa dipahami oleh
manusia-manusia super cerdas yang tidak menerima kebenaran dari siapa yang
mengemukakannya, tapi dari mana sumber pengetahuan itu didapatnya dan apa
bukti-buktinya.
Limpahan jutaan informasi
sekarang, bukan zamannya lagi mengenali kebenaran bersandar pada orang-orang
yang mengemukakannya. Sekarang zamannya meneliti setiap pengetahuan yang dibawa
orang berdasarkan kebenaran-kebenaran bersumber dari kitab suci. Sekarang
masanya setiap manusia (beragama) memerankan otaknya untuk berpikir. mengkaji setiap
kebenaran harus berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an.
Perintah meneliti setiap
pengetahuan yang dikemukakan seseorang bisa kita temukan dalam Al-Qur’an.
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (surat Al-Alaq, 96: 9-13)
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat, bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (surat Al-Alaq, 96: 9-13)
Pertanyaan ini adalah
pertanyaan mengandung perintah kepada manusia untuk melakukan penelitian. Pertanyaan
ini akan selalu ditanyakan kepada manusia dari zaman ke zaman, karena kebanyak manusia
terperdaya oleh penglihatannya, sehingga tidak bisa membedakan mana kebenaran
dari Tuhan dan mana pemikiran hawa nafsu manusia.
Jika kita urai,
pertanyaan yang ada dalam surat Al Alaq, menjadi beberapa pertanyaan sebagai
berikut:
Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat? Jawaban: Tetap laksanakan shalat. Siapapun yang melarang shalat dia menentang kehendak Tuhan.
Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, atau dia
menyuruh bertakwa (kepada Allah)? Jawaban:
tetap laksanakan shalat, jangan terpengaruh oleh keshalehan, ketakwaan
seseorang, karena kebenaran milik Allah bukan milik orang.
Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? Jawaban: tetap laksanakan shalat, jangan
berniat shalat karena ingin melawan larangan para pendusta.
Pertanyaan di atas,
sesungguhnya mengandung perintah kepada manusia untuk membaca, mengkaji, agar
bisa memahami setiap kebenaran yang datangnya dari Tuhan. Dengan demikian
manusia tidak akan terpengaruh orang ucapan-ucapan manusia apapun latar belakangnya.
Selama ucapan manusia merupakan kebenaran dari Tuhan, siapapun yang
mengemukakannya harus tetap kita laksanakan tidak harus terpengaruh oleh ucapan
manusia.
Siapa pun yang
memerintahkan shalat, manusia, jin, malaikat, harus kita dengar dan laksanakan,
karena shalat adalah kebajikan yang diperintahkan Tuhan. Sebaliknya, siapapun yang
melarang shalat, wajib diabaikan, karena larangan mereka menentang perintah
Tuhan, sekalipun larangan itu datang dari orang-orang yang dianggap suci.
Atas dasar itulah lahir
pepatah “Jangan MELIHAT apa yang
dikatakan MANUSIA, tapi PERHATIKAN
apa yang dikatakan MANUSIA”. (Toto Suharya, 2017). Jika yang dikatakannya
kebenaran dari Tuhan, maka tanpa melihat latar belakang siapa manusianya kita
harus melaksanakan atas dasar ketaatan kepada Tuhan Semesta Alam. Inilah
kecerdasan berpikir yang harus dimiliki manusia abad sekarang. Wallahu ‘alam.
(Penulis, Master Trainer @logika_Tuhan)
Pak saya kurang paham, "jangan melihat apa yang dikatakan Manusia" mksdnya bagaimana?
ReplyDeleteApakah sama dengan kalimat "jangan melihat siapa yang mengatakannya"
Atau memang konteknya berbeda.
Lalu kenapa harus kata "Melihat" yang dipakai bukan kata "Mendengar"
Ya konteknya itu, kebanyak kita melihat dulu bukan mendengar.
ReplyDeleteYa konteknya itu, kebanyak kita melihat dulu bukan mendengar.
ReplyDelete