OLEH: MUHAMMAD
PLATO
Globe Asia, salah satu
majalah ternama di Indonesia dan Asia baru memberitakan 150 orang terkaya di
Indonesia. Dari jumlah tersebut terdapat 24 pengusaha kaya dari kalangan muslim
dan sisanya non muslim. (republika.co.id). Bukti bahwa budaya wirausaha masih
rendah di kalangan muslim Indonesia.
Saya sepakat dengan
para peneliti sejarah, sikap bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan jadi
pekerja dari pada pengusaha, adalah warisan budaya zaman penjajahan. Zamah
penjajahan, masyarakat menilai bahwa menjadi pekerja adalah kesejahteraan hidup
di dunia. Nilai ini lahir dari fakta sejarah penjajahan yang mendudukkan golongan priyayi sebagai
pekerja pemerintah Belanda hidup sejahtera. Keluarga raja, bupati, demang,
mereka hidup sejahtera dengan menjadi pekerja dan bekerja sama dengan
pemerintah kolonial. Bersama-sama pemerintah Belanda, kalangan pekerja pribumi
hidup sejahtera.
Saat itulah, cita-cita
dan harapan masyarakat mengkerucut bahwa untuk mencapai hidup bahagia harus
menjadi pekerja. Selanjutnya setelah mencapai kemerdekaan, keejahteraan di
dapat oleh para pekerja abdi negara. Abdi negara yang digaji uang rakyat hidup
nyaman tanpa kerja keras. Budaya disiplin yang rendah tidak mengurangi jumlah
gaji yang dibayarkan oleh negara.
Alam pikiran, dan cita-cita
masyarakat ingin menjadi pekerja, secara turun-temurun diwariskan dalam
keluarga. Keluhan orang tua, dan cita-cita anak-anak, tidak jauh dari bagaimana
menjadi pekerja. Orang tua memandang rendah anak, jika hanya mampu menjadi
pengusaha makanan keliling, sebaliknya bangga melihat anaknya pergi pagi pulang
sore dengan pakaian seragam sekalipun statusnya pekerja tidak tetap dan gaji
habis untuk ongkos.
Budaya menjadi pekerja
menjadi sebab anak-anak tidak menghargai dan mencintai wirausaha. Anak-anak tidak
menghargai usaha bapak dan ibunya yang berjualan bubur, es, kue kering,
gorengan, mie ayam, bakso malang, dan warung-warungan. Begitu menderitanya
anak-anak sampai bunuh diri, ketika diolok-olok karena bapaknya berjualan
bubur. Anak-anak kita telah disesatkan oleh budaya kolonial, yang memandang
rendah wirausaha.
Bangsa kita menjadi
negara besar yang kalah bertempur dengan negara-negara kecil. Kekalahan bangsa
kita iidentifikasi dari minimnya jumlah pewirausaha. Jumlah minimal dua persen
pengusaha dari jumlah penduduk belum dimiliki sampai satu persen. Berbeda
dengan negara-negara kecil tetangga yang sudah berada di atas dua persen.
Begitu akutnya budaya kolonial memiskinkan bangsa ini, sampai menularkan budaya
miskin ke tingkat keluarga.
Budaya miskin yang
harus kita kikis warisan zaman penjajahan adalah mendorong anak-anak menjadi
pekerja berseragam. Keberhasilan etnis Tionghoa menjadi pengusaha kelas dunia,
di mulai dari dorongan orang tua di keluarga. Mereka dorong anak-anak untuk
sekolah ke sekolah terbaik sampai kelas dunia, setelah itu mereka mewarisi
usaha keluarga yang dirintisnya.
Program-program
pendidikan harus membangun kultur jiwa wirausaha. Penghargaan-penghargaan
tinggi terhadap peserta didik jangan sebatas prestasi akademik, seni, dan olah
raga. Harus ada ajang penghargaan bergengsi untuk para peserta didik sebagai
pewirausha, sekalipun hanya menjadi tukang gorengan keliling, reseller pulsa,
pakaian, dan kue kering. Para peserta didik harus diajarkan membuat proposal
bisnis, dengan prediksi-prediksi keuntungan yang bisa membangun dan memotivasi
mereka menjadi pengusaha.
Di lingkungan
pendidikan keberhasilan wirausaha peserta didik tidak dilihat dari hasil, tapi
dari jiwa yang dimiliki. Jiwa-jiwa wirausaha yang harus dimiliki dan
dikembangkan di sekolah adalah kejujuran, kepercayaan diri, keuletan,
kesabaran, ketelitian, dan keyakinan kepada Tuhan tentang keberhasilan sebuah
usaha yang dirintisnya.
Dari ajaran agama,
Allah sangat memandang tinggi kedudukan mereka yang berwirausaha. Perintah
berwirausaha secara eksplisit dianjurkan oleh Tuhan dalam Al-Qur’an,
dicontohkan pula oleh para Nabi sekalipun menjadi pengembala kambing.
“Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An Nisaa, 3:1)
Saling meminta satu
sama lain adalah praktek berniaga, berwirausaha, atau jual beli (trade). “Mata
pencaharian paling afdhol adalah berjualan dengan penuh kebajikan dan dari
hasil keterampilan tangan”. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad)
MELATIH ANAK BERMENTAL KAYA DARI KAKI LIMA
Pada jual beli ada
kesulitan dan kepayahan yang akan dialami. Sesorang mengeluh dengan sedih,
bahwa dirinya harus bangun subuh berkeliling pasar untuk berjualan. Dia
merasakan dirinya terhina dan rendah dihadapan manusia. Padahal jika dia
memahami pandangan Tuhan terhadap pekerja keras dalam berjualan niscaya dia
akan bahagia. “Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah
(lelah) dalam mencari rezeki yang halal. (HR. Ad-Dailami).
Dalam pandangan Allah,
belum tentu yang duduk-duduk di kursi, pakaian bersih lebih tinggi kedudukannya
di banding dengan mereka yang berkeliling memungut sampah dari sisa-sisa bungkus
palstik makanan dan minuman. Allah menyenangi mereka yang mengais rejeki dengan
tangan dan kakinya sendiri. “Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha
tangan sendiri”. (HR. Bukhari). Mereka yang duduk di atas kursi mendapat gaji
belum tentu, makanan yang di makannya hasil dari hasil usaha tangan sendiri.
Orang tua yang
mendorong anak-anaknya menjadi pengusaha memiliki keuntungan dibanding dengan
mereka yang menyuruh anak-anaknya menjadi pekerja. Orang tua yang menyuruh
anaknya menjadi pengusaha tidak dihinggapi rasa khawatir anaknya tidak mendapat
pekerjaan, karena anak tersebut akan menciptakan lapangan pekerjaan, bukan
hanya untuk dirinya tetapi untuk orang lain. Inilah kedudukan tinggi para
pengusaha dihadapan Allah, karena para pengusaha bukan hanya menghidupi dirinya
sendiri tapi mampu menghidupi banyak orang. Sebaik-baiknya manusia adalah
mereka yang bermanfaat bagi banyak orang.
(Penulis Master
Trainer, @logika_Tuhan)
Sangat setuju... Saatnya orang-orang muslim bangkit menjadi pengusaha-pengusaha sukses... Aamiin
ReplyDelete