Ketika
mendapat kesempatan berceramah singkat dalam majelis subuh, saya kemukakan
pendapat tentang alaternatif pengertian kata iklhas. Saya artikan kata ikhlas dengan
merujuk kepada surat Al-Ikhlas. Terutama pada ayat yang mengatakan, “Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu”. (Al-Ikhlas, 112:2). Saya rujuk dari tafsir Kemenag,
ayat ini diartikan bahwa Tuhan tempat satu-satunya memohon dan meminta. Isi
kandungan surat Al-Ikhlas, saya jadikan rujukan untuk menjelaskan pengertian
kata Ikhlas.
Lalu
saya jelaskan dalam ceramah, jika orang-orang ikhlas adalah orang-orang yang
memohon dan meminta segala sesuatu hanya kepada Tuhan, maka ikhlas artinya adalah
hanya berharap kepada Tuhan. Jadi, orang-orang ikhlas adalah mereka yang hanya
berharap segala sesuatu kepada Tuhan. Inilah inti ketauhidan manusia kepada
Tuhan.
Dalam
kesempatan lain, saya mendengar ceramah subuh di tempat yang sama. Isi
ceramahnya menjelaskan bahwa “arti Ikhlas bukan berharap. Ikhlas itu tidak
berharap balasan, kecuali hanya ridha Allah”. Menurut pendapat saya, definisi ini rancu, tidak
ajeg. Definisi ini sudah sering kita dengar bertahun-tahun tanpa ada yang
berani melakukan koreksi.
PARA ULAMA SEJARAH / SEMOGA KITA SELALU BERHARAP PADA ALLAH. |
Saya
berpikir, jika ikhlas itu tidak berharap, berarti ridha Tuhan pun tidak
diharapkan. Padahal ridha Tuhan adalah salah satu harapan orang ikhlas. Jika
tidak ada harapan, sulit dipahami bagaimana manusia mau melakukan peribadatan. Hidup
ini ada tujuan, dan tujuan itu adalah harapan.
Hal
lain yang perlu dipahami, dalam dakwah ada etika tidak boleh menyalahkan atau
menyudutkan pendapat orang lain. Dakwah hanya menyampaikan pandangan, pendapat,
dalil, dari hasil pemikiran, penelitian,
tanpa tujuan menyalahkan pendapat orang lain. Dakwah hanya mendeskripsikan
sebuah argumentasi. Masalah penilaian benar atau salah diserahkan pada
keputusan pribadi masing-masing. Tidak ada hak manusia mengambil kebenaran atas
keputusan pribadi, kecuali mendapat pengakuan dari masyarakat berdasar
ketentuan dari Tuhan.
Jika
dalam dakwah menyesatkan dan menyalahkan pendapat orang lain, dakwah itu sama
dengan memecah belah umat. Pendakwah tidak boleh memonopoli kebenaran, karena
kebenaran hanya milik Tuhan. Mencemooh, menyalahkan, merendahkan kelompok lain
adalah hal terlarang. Dalilnya adalah setiap kebaikan dan keburukan akan
kembali pada pelakunya.
Jika kamu berbuat baik (berarti)
kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka
kejahatan itu bagi dirimu sendiri, (Al-Isra, 17:7)
Dakwah
dengan mencemooh atau menyalahkan kelompok lain, sama dengan mencela diri
sendiri. Dakwah adalah mengajari umat untuk memiliki alternatif pemahaman
tentang agama. Dakwah adalah memberi pilihan pemahaman kepada umat agar mereka bisa
menyelesaikan setiap masalah tanpa harus keluar dari perintah Tuhan.
Kembali
pada masalah Ikhlas, saya coba telusuri kata Ikhlas dari Al-Qur’an. Berikut
saya temukan beberapa kata dalam Al-Qur’an yang diterjemahkan Ikhlas. Muhlisin = mengikhlaskan ketaatan. (Al
Baqarah:139). Mimman Aslama = orang-orang ikhlas berserah diri. (An Nisaa:125). Hunafaa a lillahi = dengan ikhlas kepada
Allah.
Jika
dikaitkan dengan surat Al-Ikhlas, makna Ikhlas dapat kita simpulkan berkaitan
dengan ketaatan, berserah diri, ketergantungan, dan tidak mempersekutukan
Allah. Maka kunci ikhlas adalah menjadikan Allah tempat segalanya. Maka makna
ikhlas itu bisa TAAT, BERSERAH DIRI, TERGANTUNG (BERHARAP), TIDAK
MEMPERSEKUTUKAN, Allah swt.
Dalam
hal ini, saya memilih kata “TERGANTUNG/BERHARAP” untuk memahami arti Ikhlas. Hal
yang sering berbeda pendapat tentang ikhlas adalah ada tidaknya harapan. Sebenarnya
jika kita pikirkan semua pekerjaan yang kita lakukan atas nama Tuhan punya
harapan, karena Tuhan selalu menjanjikan balasan atas pekerjaan yang kita
lakukan. Adapun harapan manusia kepada Tuhan, saya bagi tiga kategori.
IKHLAS
|
HARAPAN
DUNIAWI
|
ALLAH SWT
|
JODOH / ANAK
RUMAH / TANAH
SEHAT
PERUSAHAAN
MOBIL
PEKERJAAN
GAJI BESAR
JABATAN
KEDUDUKAN
|
HARAPAN DUNIA AKHIRAT
|
ILMU
|
||
HARAPAN
AKHIRAT
|
SYURGA
RIDHA
DEKAT
AMPUNAN
MAAF
KASIH
PERTOLONGAN
|
Dari
tiga harapan di atas, kita kategorikan; Pertama, ikhlas berharap dunia kepada
Allah. Kedua, ikhlas berharap dunia dan akhirat kepada Allah. Ketiga, ikhlas
berharap akhirat kepada Allah.
Ikhlas
yang diajarkan para ulama kepada kita sejak kecil adalah ikhlas berharap
akhirat. Sehingga dalam kenyataannya, jika kita melakukan sesuatu dengan
ikhlas, maka sama dengan tidak ada balasan, karena berharap akhirat tidak akan
ada wujud benda yang kita dapatkan di dunia.
Atas
dasar itu, para ulama terdahulu mengajarkan kepada kita bahwa ikhlas yang
sesungguhnya adalah tidak berharap apa-apa, artinya tidak berharap balasan dalam wujud sesuatu di dunia,
karena semuanya diharapkan untuk kehidupan akhirat nanti yang kekal.
Ikhlas
yang diajarkan para ulama terdahulu, termasuk ikhlasnya golongan para Nabi, wali,
imam besar dan ulama besar. Ikhlas tingkat golongan ma’rifat yang sudah
memahami benar bahwa kehidupan nyata itu bukan di dunia tapi di akhirat.
Untuk
menuju ke tingkat ikhlas tertinggi, saya
menawarkan kepada kawan-kawan untuk belajar secara bertahap dari ikhlas tingkat
dasar. Mulai dari berharap sesuatu yang bersifat duniawi kepada Allah, beranjak
pada golongan tengah berharap dunia dan akhirat dari Allah, dan pada akhirnya
bertahta pada tingkat yang hanya berharap akhirat untuk kembali kepada Allah,
yang tidak membutuhkan materi. Inilah ikhlas Nabi Muhammad saw yang pada akhir
hanyatnya tidak meninggalkan harta sebiji kurma pun. Ya Allah jadikan kami
pewaris para Nabi. Amin.
Dengan
demikian, tidak ada perbedaan antara ulama terdahulu dengan sekarang dalam hal
makna ikhlas. Hanya saja ulama terdahulu mengajarkan ikhlas langsung pada
tingkat tinggi, ilmunya tidak terjangkau oleh umat yang nyatanya kurang berminat dalam hal membaca. Sehingga keikhlasan
umat saat ini menjadi rapuh karena tergoda dunia. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment