Definisi
kesehatan menurut WHO pada 22 juli 1946 berbunyi: “kesehatan adalah suatu
keadaan sehat jasmani, ruhani, dan sosial dan bukan hanya terbebas dari
penyakit serta kecacatan” (Haruyama:2014). Hal yang menarik dari definisi ini
adalah dimasukkan unsur ruhani dan sosial sebagai kriteria dari orang sehat.
Pertanyaannya apakah ciri-ciri dari orang yang sehat secara rohani dan sosial?
Penulis
menyadari bahwa antara ruhani dan sosial adalah dua hal berbeda. Namun dalam
kesempatan ini penulis berpendapat bahwa aspek sosial merupakan bagian
aplikatif dari apa yang tercermin dalam ruhani. Oleh karena itu jika seseorang
memiliki ruhani sehat akan mencerminkan prilaku sosial yang sehat.
Kesehatan Ruhani.
Untuk
menciptakan ruhani yang sehat, agama menjadi bagian paling dipercaya dalam hal
ini. Kesehatan ruhani seseorang ditentukan oleh keyakinan seseorang terhadap
ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Seorang muslim bisa dikatakan sehat ruhani
jika memerlihatkan ketaatan kepada agamanya yang secara kasat mata melakukan
shalat lima waktu, zakat, sedekah, puasa, dan ibadah haji.
Faktanya,
kadang ada orang yang kita pandang sehat secara ruhani karena terlihat taat terhadap
ajaran agama dalam bentuk pelaksanaan ibadah-ibadah ritual ternyata ada yang
tidak sehat secara sosial. Hal ini pertanda bahwa pemahaman agama kita masih
parsial yang memandang agama sebagai petunjuk prilaku ruhani yang diwujudkan
dalam kegiatan ritual semata.
Maka
dari itu dari sudut pandang sistem, antara kesehatan ruhani dan sosial
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika seseorang mencerminkan
pribadi sehat ruhani (taat menjalankan ajaran agama secara ritual), maka idealnya
secara sosial mereka harus sehat, dalam arti mampu melaksanakan secara baik
perintah Tuhan dalam hal hubungan sosial.
Dewasa
ini, untuk mengetahui kesehatan ruhani seseorang, para ahli otak sudah mulai
mengembangkan alat ukur. Hal ini dikembangkan sebagai bentuk evaluasi terhadap kegagalan
berpikir kaum Cartesian.
Taufik
Pasiak (2012) mengemukakan bahwa kaum Cartesian hanya mementingkan realitas
materi, tidak melihat bahwa realitas sebagai bentuk tingkatan-tingkatan yang
antara satu dan lainnya memiliki dinamika dan cara hubungan. Manusia diikat
dalam dunianya, bukan hanya oleh seperngkat sebab-sebab fisik yang mengikatnya
pada dunia tersebut, tetapi juga oleh sebab-sebab metafisik.
Alam
semesta yakni seluruh tatanan ciptaan Tuhan terdiri dari tiga keadaan
fundamental, yaitu keadaan material atau bendawi,
keadaan psikis atau animistik, dan
keadaan spiritual atau malakuti.
Dunia materi yakni dunia kasar dengan segera diliputi dunia psikis (halus)
membentuk wilayah (alam). Dunia malakuti (spiritual) lah yang mengatur semua
hukum alam di wilayah kasar dan wilayah halus. Untuk itulah kesehatan ruhani
(wilayah halus) berkaitan erat dalam menghasilkan kesehatan sosial.
Kesehatan
Sosial
Dengan
demikian, untuk mewujudkan kehidupan yang sehat rohani dan sosial, sejak awal Tuhan
yang menguasai alam malakut, telah memberi peringatan kepada manusia agar
mengikuti petunjuk-petunjuk beruhani dan bersosial sebagaimana dijelaskan dalam
ajaran-Nya.
Kami berfirman: "Turunlah kamu
semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang
siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (Al Baqarah:38)
Petunjuk-petunjuk
hidup dari Tuhan tidak bersifat parsial. Aturan Tuhan berlaku mengatur hidup di
dunia halus (ghaib) dan kasar (nyata). Petunjuk-petunjuk hidup dari Tuhan
mengarah pada kesejahteraan manusia bukan kebinasaan.
Tuhan
memerintahkan kepada manusia untuk bersosialisasi dengan sehat. Dengan ukuran tidak
melakukan pengrusakan yang mengarah pada kebinasaan. Dalam kitab suci Al-Qur’an
kurang lebihnya ada 43 ayat yang melarang manusia berbuat kerusakan
(kebinasaan). “Dan apabila dikatakan
kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab:
"Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan."
(Al-Baqarah:11).
Sejarah
binasanya manusia dijelaskan di dalam kitab suci pada prilaku kaum Lut yang
berprilaku menyimpang dalam hal hubungan seksual. Kaum Lut lebih memilih
berhubungan sesama jenis. Tuhan telah memenuhi janjinya, dengan menurunkan
seorang Nabi untuk memberi petunjuk bahwa apa yang dilakukan kaum Lut telah
melebihi batas dan akan mendatangkan kebinasaan.
Secara
empiris juga terbukti bahwa prilaku tersebut termasuk prilaku sosial yang tidak
menyehatkan. Elizabeth Pisani (2008), menemukan fakta bahwa kebanyakan penularan
HIV di Asia, Eropa, Amerika, Australia, Timur Tengah, Afrika Utara, dan
beberapa bagian dari Afrika Barat, merupakan akibat dari penyuntikkan narkoba,
dan seks anal antar pria serta juga adanya orang yang membeli dan menjual seks.
Elizabeth
Pisani menemukan dari 4000 orang sample pembeli seks, setengahnya telah
berkeluarga. Kita tidak tahu apakah mereka heteroseksual atau biseksual, yang
jelas akibat prilaku sosial tidak sehat tersebut, akan membawa resiko tidak
sehat kepada orang-orang disekitarnya, bahkan orang-orang terdekat mereka yaitu
keluarga.
Kita
memang menghargai setiap hak asasi manusia, tetapi Tuhan telah memberi petunjuk
agar ruhani, akal, atau pikiran kita tetap sehat, sehingga kita mampu
bersosialisasi dengan sehat. Wallahu ‘alam.
Muhammad Plato. @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment