Kening saya berkerut,
ketika mengikuti sebuah rapat koordinasi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia
(ICMI) tingkat Provinsi. Ada seorang Profesor bercerita bahwa dirinya sedang
membimbing disertasi calon doktor. Kandidat doktor menjadikan ayat Al-Qur’an
sebagai landasan teori dalam risetnya. Pak Profesor menyuruh kandidat doktor
beristigfar, karena tidak pantas Al-Qur’an dijadikan sebagai dasar teori. Bagi
Pak Profesor, menjadikan ayat Al-Qur’an sebagai dasar teori adalah pelecehan
terhadap Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan. Pak Profesor segera merekomendasikan
kepada si calon doktor untuk mengubah disertasinya dan mendelet Al-Qur’an dari dasar
teorinya.
Pendapat Pak Profesor
ini dikemukakan di sela-sela forum rapat ICMI tingkat Provinsi Jawa Barat. Saya
lihat tidak ada yang menyanggah pendapat Pak Profesor. Saya tidak tahu, apakah
semua diam karena setuju dengan pendapat Pak Profesor, atau seperti saya,
menyimpan ketidaksetujuan di dalam benak. Sekarang, akan saya kemukakan ketidaksetujuan
saya terhadap pendapat Pak Profesor dalam bentuk tulisan.
Bagi saya, apa yang
dikatakan Pak Profesor bukan kebenaran akhir. Jikalau menjadikan Al-Qur’an
sebagai dasar teori dianggap melecehkan Al-Qur’an, pendapat ini dasarnya tidak
kuat, dan masih dalam perdebatan. Menyikapi kasus ini tergantung pada sudut
pandang dan filosofis masing-masing. Artinya. kepada kaum muslimin yang ingin
menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar teori dalam penelitiannya masih memungkinkan
untuk diperjuangkan.
Menurut saya, profesor-profesor
yang masih berpendapat seperti di atas, adalah mereka yang ketinggalan
informasi tentang perubahan paradigma dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal
itu wajar karena tidak semua profesor memiliki seluruh ilmu pengetahuan. Kelemahan
para profesor adalah semakin tinggi ilmu yang dikuasai semakin fanatik dan
tertutup terhadap kebenaran-kebenaran ilmu lainnya. Kalau saja Pak Profesor ini
benar-benar membimbing kandidat calon doktor, tidak akan muncul kata-kata
menyalahkan, karena tugas pembimbing adalah mengarahkan, mendorong, para calon
doktor untuk bekerja keras mengemukakan pendapatnya dengan memperkaya teori,
pendapat-pendapat ahli, hasil-hasil riset orang lain, yang mendasari
pendapatnya agar bisa berdiri kokoh.
Pak Profesor! Menurut
pendapat saya dalam tataran akademis, seseorang tidak bisa menyalahkan atau
membenarkan pendapat orang lain, tetapi hanya sebatas menguji
argumentasi-argumentasinya, apakah memenuhi kriteria berpikir ilmiah atau tidak?
Selama pendapat-pendapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, kita harus membantu
memperkayanya sekalipun kita tidak setuju. Sebab kebenaran yang kita miliki
pada dasarnya bukan kebenaran akhir. Suatu saat akan ditemukan ilmu-ilmu
pengetahuan baru yang menyebabkan terjadinya perubahan persepsi terhadap
kebenaran yang sebelumnya kita yakini.
Pendapat saya, didasari
oleh perintah Tuhan dalam memberi kebebasan berpikir kepada manusia. Di dalam
hadis dijelaskan bahwa jika seorang berpikir dan benar, maka dia mendapat
pahala dua, dan jika dia berpikir salah, maka masih dapat pahala satu. Hadis
ini menjelaskan bahwa tidak ada kesalahan dalam berpikir, karena perintah
berpikir itu sendiri bagian dari perintah Tuhan. Maka dari itu, jika seseorang
berpikir dan hasil pemikirannya dianggap salah, maka dia mendapat pahala dari
melaksanakan perintah Tuhannya yaitu berpikir.
Tuhan tidak mempersalahkan
orang-orang yang berpikir dan pemikirannya salah, karena para pemikir adalah orang-orang
yang berada di jalan Tuhan dan terbuka terhadap segala pengetahuan. Para
pemikir sejati tidak akan menutup informasi dari luar karena alasan bukan
kelompok atau karena membencinya. Para pemikir sejati adalah orang-orang yang
siap berubah pandangannya karena mendapat informasi tentang kebenaran yang
dianggapnya lebih rasional.
Para pemikir yang
diancam Tuhan masuk neraka adalah mereka yang menafikan pengetahuan-pengetahuan
dari Tuhan, membatasi sumber pengetahuan hanya berdasarkan pada kebenaran
rasional-empiris, dan mempertahankan hasil-hasil pemikirannya sekalipun pun cenderung
atau terbukti secara rasional-empiris mengarah pada kehancuran umat manusia.
Pak Profesorlah yang harus
beristigfar! karena bisa jadi apa yang dilakukannya termasuk menghalang-halangi
kemajuan peradaban Islam. Apa yang dikemukakan Profesor bahwa menjadikan ayat
Al-Qur’an sebagai teori berarti melecehkan Al-Qur’an (mengkerdikan makna
Al-Qur’an), saya tidak sependapat, karena ini bisa jadi menghalang-halangi
manusia yang ingin selalu dekat dengan Tuhan.
Ayat Al-Qur’an
posisinya tetap adalah kalam Tuhan, namun ketika manusia mempersepsinya, Al-Qur’an
itu sudah menjadi milik manusia berdasarkan persepsinya. Ayat Al-Qur’an yang
sudah dipersepsi manusia sifatnya menjadi relatif. Demikian juga ketika manusia
mempersepsi ayat Al-Qur’an menjadi dasar teori, maka kelemahan dan
kerelatifannya bukan pada Al-Qur’an, tapi pada persepsi manusianya.
Pak Profesor harus
memahami, kegagalan manusia dalam mengenal Tuhannya, disebabkan oleh putusnya
mata rantai ilmu pengetahuan dengan Tuhan. Memutuskan hubungan antara ilmu
dengan agama, sama dengan pelanggaran terhadap ketentuan Tuhan, yang
menganjurkan kepada manusia untuk selalu menjaga silaturahmi. Konsep
silaturahmi adalah ajaran universal yang tidak hanya dibaca dalam hubungan
manusia antar manusia, tetapi hubungan seluruh komponen alam semesta, termasuk
hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Nah untuk sementara
begitulah argumentasi saya Pak Profesor! Saya hanya tunduk kepada Tuhan, dan
Pak Profesor adalah utusan Tuhan yang mengajari kami semua. Semoga kita semua
mendapat bimbingan Tuhan, sebagaimana kita selalu berdoa ketika duduk diantara
dua sujud. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment