Ada orang yang
mengatasnamakan ahli agama mengajarkan kepada murid-muridnya, agama tidak bisa dipahami dengan logika tapi
dengan hati. Murid-muridnya manggut-manggut terpesona oleh pendapat ahli agama
tersebut. Sang ahli agama pun puas bahwa dia telah mematikan logika
murid-muridnya.
Ada juga yang mengaku
filsuf, berpendapat bahwa cinta itu bukan urusan logika, tetapi urusan hati.
Untuk kedua kalinya, murid-murid itu manggut-manggut terpesona oleh pendapat
filsuf. Sang filsuf pun puas karena dia telah mematikan logika murid-muridnya
padahal dia sendiri berlogika.
Ada juga seseorang yang
mengaku ahli agama terdahulu yang disegani keluasan ilmunya sejagat raya,
mengatakan bahwa haram untuk pelajari logika, karena logika dianggap sebagai
penyebab kekafiran seseorang. Maka ramai-ramailah para bijak bestari, para
pengkhotbah, menjelek-jelekkan logika dan mencap buruk terhdap orang-orang yang
berbicara agama menggunakan logika.
Di televisi, radio,
para pengkhotbah mengatakan dengan penuh nafsu kebencian kepada logika, siapa
yang memahami agama dengan logika, jika benar dia salah. Sambil mengeluarkan
bunyi hadis;
Barangsiapa menguraikan Al Qur'an dengan
akal pikirannya sendiri dan benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan.
(HR. Ahmad)
Apakah bunyi
hadis di atas melarang orang untuk berlogika? Coba pahami dulu konsepnya dengan
baik jangan terburu-buru ambil kesimpulan. Jika ada yang menjadikan hadis ini
sebagai dalil terhadap pelarangan berlogika, maka itu adalah tafsir bukan dalil
mutlak itu sendiri.
Berdasarkan
pengetahuan yang saya miliki (pengetahuan dari berbagai sumber), jika hadis ini
ditafsirkan sebagai pelarangan terhadap aktivitas berpikir (berlogika), tafsiran
itu sudah bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang banyak memerintahkan
manusia untuk berpikir. Kurang lebih 63 kali tercatat di dalam Al-Qur’an, Tuhan
memerintahkan manusia untuk berpikir.
Pendapat penulis
hadis di atas tidak melarang aktivitas berpikir, tetapi hadis di atas melarang
aktivitas berpikir sendiri-sendiri. Memahami Al-Qur’an dengan akal pikiran
sendiri-sendiri akan mengakibatkan perpecahan umat. Perpecahan umat disebabkan oleh sistem
berpikir sendiri-sendiri dan membawa ego-ego sendiri.
Di dalam ajaran
agama kepentingan sendiri harus mengalah untuk kepentingan umat. Untuk itulah
metode berpikir yang dianjurkan dalam ajaran agama adalah berpikir secara
berjamaah dalam tata cara bermusyawarah. Sebagaimana dianjurkan di dalam
AL-Qur’an. “Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”. (Asy syuura:38).
Di dalam
prakteknya, bentuk permusyarawatan dalam berpikir tidak selalu harus berkumpul
dalam sebuah majelis, tetapi bisa berdiskusi melalui kitab-kitab kumpulan hadis
Nabi Muhammad saw, kitab-kitab tafsir ulama terdahulu, buku-buku tafsir
kontemporer, buku-buku riset ilmiah, dan sebagainya.
Pada dasarnya
seorang pemikir tidak akan lepas dari pemikiran-pemikiran orang-orang
terdahulu. Jadi artinya semua yang dikemukakan orang bukanlah murni hasil
pemikirannya. Tidak ada hasil pemikiran yang murni hasil pemikiran sendiri.
Jadi jika ada orang yang mengaku bahwa sesuatu diciptakan berdasarkan hasil
pemikirannya sendiri sudah jelas pendapatnya salah, karena apa yang
ditemukannya adalah pasti dipengaruhi pemikiran orang-orang terdahulu.
Pada prakteknya,
kita wajib mengemukakan pendapat-pendapat orang lain yang memiliki kesamaan
atau perbedaan pemikiran dengan kita, agar kita terhindar dari sifat-sifat
egois yang menyebabkan perpecahan umat. Dengan mengemukakan pendapat-pendapat
orang terdahulu akan menghindarkan kita (para pemikir) dari fitnah-fitnah yang
menyebabkan perpecahan umat.
Metode bernalar
berjamaah, sering kita temukan dalam penelitian-penelitian ilmiah. Di dalam
karya-karya tulis ilmiah kita sering menemukan kutipan-kutipan. Arti kutipan
tersebut selain bentuk permusyawaran dalam berpikir, juga mengukuhkan
kredibilitas pemikir itu sendiri. Maka di dalam tulisan soal agama pun, kita
hendaknya mengutif pendapat para pemikir terdahulu sebagai bentuk
permusyawaratan berpikir dalam bentuk sajian tulisan. Kutif mengutif juga
sering dilakukan para khotib. Kita
sering dengar para khotib mengatasnamakan “para ulama” sebagai bentuk
bahwa apa yang dikemukakannya bukan hasil pemikiran sendiri tetapi hasil
permusyawaratan.
Saya sependapat
dengan Hassan Hanafi dalam bukunya “Dari
Aqidah ke Revolusi”, perbedaan bernalar dalam soal agama dan dunia hanya di
metode. Nalar persoalan agama bersifat deduktif, sedangkan nalar dalam masalah dunia bersifat induktif. Temanya sama,
yaitu masalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Sejauh ini saya
belum menemukan hadis Nabi Muhammad saw yang secara tegas
melarang umat untuk berlogika (berpikir). Jikalau ada, saya tetap dalam
keraguan atas pendapat itu karena tidak sesuai dengan perintah Tuhan dalam
Al-Qur’an. Walahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment