Sains Islam adalah sains berbasis
wahyu (Al-Qur’an), dalam arti Al-Qur’an menjadi bagian dari epistemologi (cara),
ontologi (subjek) dan aksiologi (tujuan). Pendekatan praktisnya adalah
melakukan analisis logis teks wahyu dan membandingkan dengan pengamatan atas
alam. Itulah pendapat Dr. Agus Purwanto (2015) penulis buku Nalar Ayat-Ayat Semesta.
Selanjutnya Dr. Agus Purwanto
menjelaskan sains Islam berbeda dengan Sains Materialis. Hal yang paling berbahaya
dari Sains Materialis terletak pada penegasan materi sebagai sesuatu yang
tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Sains Materialis
menafikan moralitas, jiwa, dan Tuhan. Jepang adalah negara yang berhasil
mengembangkan Sains Materialis sebagai pondasi dalam pengembangan teknologinya,
namun dari hasil survey, kurang lebih 90% wanita Jepang yang akan menikah sudah
tidak perawan. Di negara-negara maju yang sekuler, kini telah menjadi budaya, dimana pasangan-pasangan yang hendak menikah sudah mencapai 90% melakukan kohabitasi,
(hidup seperti suami istri tanpa nikah). Inilah paradok gambaran dunia
sekarang, dimana teknologi super canggih terus diciptakan sementara manusia menuju
kebinasaan.
Disadari atau tidak, telah berabad-abad
kita mengikuti dogma sains materialis yang menyeret kita semakin jauh dari
Tuhan. Sudah saatnya kita hidup dengan sains yang sesuai dengan kesaksian kita
sebagai makhluk Tuhan pencipta Alam. Dengan dikembangkannya sains Islam, bukan
hanya akan membawa pencerahan bagi umat Islam tapi akan membawa nuansa baru
tentang peran Islam di dunia internasional. Juga membuka wawasan kaum muslimin untuk
menggunakan logikanya dalam menalar ayat-ayat Tuhan tentang alam. Al-Qur’an jangan
lagi hanya dipandang sebagai ajaran moral, tajwij dan kidung.
Selama ini, reduksionisme telah memengaruhi
pola penafsiran Al-Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an direduksi hanya pada aspek moral.
Metode tafsir telah direduksi hanya boleh menggunakan pendapat-pendapat ulama
terdahulu (menafikan ulama-ulama pengguna nalar), melalui kitab-kitab hadis
atau kitab-kitab hasil pemikirannya. Kepada kelompok-kelompok yang menggunakan
metode tafsir di luar itu, dideskriditkan sebagai kelompok-kelompok menyimpang
dan dicurigai sebagai kelompok yang akan merusak ajaran agama. Padahal jika kita
pikirkan, Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan tidak mungkin bisa dipahami hanya pada satu
sisi saja. Untuk itu berbagai sisi Al-Qur’an bisa dipersepsi karena Al-Qur’an
diturunkan dari Tuhan yang maha luas pengetahuannya.
Stigma negatif terutama
dialamatkan kepada mereka yang berani menggunakan nalarnya untuk memahami dan
mengeksplorasi isi Al-Qur’an. Mereka yang menggunakan nalar atau logika dalam
memahami Al-Qur’an diangap telah keluar dari ajaran Muhammad saw. Padahal Nabi
Muhammad sendiri adalah Nabi yang mengemukakan hadis-hadisnya dengan
konstruksi-konstruksi logika yang bersumber dari Al-Qur’an.
Suatu saat kebenaran itu akan
datang. Siapa yang menutup-nutupi kebenaran yang jelas-jelas datang dari
Tuhannya, dialah orang-orang yang tidak amanah, dan dia adalah golongan dari
orang-orang terdahulu yang mendustakan ajaran-ajaran Tuhan. Semoga kita semua
diselamatkan dari sifat-sifat seperti itu.
Logika Tuhan yang penulis
kembangkan adalah sisi lain dari Al-qur’an. Jika pada ayat pertama Al-Qur’an
dijelaskan sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa, pertanyaannya adalah petunjuk
apa? Maka salah satu fungsi Al-Qur’an adalah petunjuk berpikir.
Untuk itulah penulis mencoba
mengkaji Al-Qur’an dari sudut lain. Sudut yang mengemukakan pola-pola berpikir
yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Karena pola-pola berpikir itu ditemukan dari
Al-Qur’an dan Al-Qur’an sumbernya dari Tuhan Penguasa Alam, maka logika-logika
berpikir yang berhasil penulis temukan, untuk mengingatkan bahwa itu milik
Tuhan, disebutlah sebagai logika Tuhan.
Pada intinya apa yang penulis
lakukan tidak jauh dari apa yang dilakukan Dr. Agus Purwanto. Sama-sama
menjadikan wahyu sebagai sumber epistemologi, ontologi, dan aksiologi
pengembangan ilmu, dalam rangka pengembangan Sains Islam. Logika Tuhan bisa
jadi fondasi filsafat dalam membangun Sains Islam. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment