Izinkan
saya untuk berbagi dengan kawan-kawan tentang pengalaman dari tanah suci Mekah.
Bulan Februari 2015, saat itu di Mekah dan Madinah sedang musim dingin. Di
Madinah, tepat jam 12 siang, saya lihat orang-orang berjemur menghangatkan
tubuh karena udara sangat dingin.
Tulisan
ini adalah wujud rasa syukur saya kepada Tuhan. Wujud syukur itu saya niatkan
dengan berbagi pengetahuan dengan siapa saja yang membutuhkan. Jika ada yang
terinspirasi itu dari Tuhan, jika tidak terinspirasi itu karena kebodohan saya.
Sebelumnya,
saya tidak menyangka bisa pergi ke tanah suci dan melihat Ka’bah (rumah Allah)
dengan mata kepala sendiri. Ketika pertama kami melihat kabah, mata ini terus
melotot melihat sedetail-detailnya tentang Ka’bah.
Melayang
ke masa lalu, di kampung saya, hanya ada dua orang saja yang bisa berangkat ke
tanah suci. Saya hanya bisa membayangkan tentang Ka’bah dari cerita mereka. Sampai
sekarang ongkos pergi ke tanah suci masih terbilang mahal. Tapi sekarang saya adalah orang yang
bisa datang ke tanah suci dan melihat Ka’bah, salat dihadapan kabah, salat
dekat Ka’bah, tahajud di dekat Ka’bah, menyentuh Ka’bah, menempelkan kepala di Ka’bah,
dan berdoa di hadapan Ka’bah untuk
keluarga, dan untuk kawan-kawan di tanah air.
Dengan
penuh semanat dalam hati saya berkata, “inilah Ka’bah yang sering diceritakan
banyak orang”. Dan sekarang saya merasakan sendiri mengapa orang-orang selalu
rindu kembali ke tanah suci, karena di tanah suci ada harapan yang tidak pernah mati. Harapan itu ada karena semua
orang merasakan berada di rumah yang telah disucikan oleh Tuhan.
Untuk
mendapatkan salat di dekat Ka’bah, dua jam sebelum waktu salat tiba saya harus
sudah berangkat ke Masjid dan menuju tempat terdekat Ka’bah. Demikian juga
untuk bertahajud dengan puas dekat Ka’bah, jam dua atau jam tiga pagi saya harus sudah berada di masjid.
Pada jam dua atau tiga pagi kondisi di sekitar Ka’bah tidak terlalu berdesak-desakan.
Artinya pada jam itu kita masih bisa memilih
tempat-tempat terbaik untuk salat dan dekat sekali dengan Ka’bah.
Selama
empat malam di Mekah, saya dan kawan-kawan tidak pernah melewatkan malam demi
malam untuk selalu berada dekat Ka’bah. Dengan bermodal sajadah buatan Turki
yang saya beli di toko saat menuju Masjid, saya hamparkan sajadah simetris ke arah
Multajam. Menurut Hadis, siapa yang berdoa di Multajam maka doa-doanya akan
dikabulkan oleh Tuhan. Multajam adalah posisi ruang antara Hajar Aswad dan
pintu Ka’bah.
Karena
posisi Multajam di dekat Ka’bah berdesak-desakan dipenuhi oleh orang-orang yang
Thawaf, maka saya memilih shalat di koridor luar jalur thawaf. Saya memili
posisi searah dengan Multajam. Setelah sajadah terlihat simetris dengan arah
Multajam, saya lakukan shalat tahajud dua-dua rakaat diakhiri dengan witir.
Ketika
dua rakaat pertama selesai, saya perhatikan posisi sajadah sudah tidak simetris
dengan Multajam. Saya coba arahkan kembali lurus dengan Multajam, dan kembali
shalat. Selesai dua rakat kedua, saya perhatikan lagi posisi sajadah, sudah
tidak simetris lagi dengan Multajam. Saya arahkan lagi ke Multajam, dan shalat
lagi. Selesai dua rakaat ketiga, sajadah berubah arah lagi, saya arahkan lagi
ke Multajam, dan selesai dua rakaat keempat, sajadah terlihat semakin jauh
menyimpang dari Multajam.
Setelah
empat kali, saya menyerah. Saya mohon ampun kepada Tuhan dan berpikir apa yang
salah dengan diri saya. Saya berpikir kenapa Allah tidak mau disembah dengan
cara seperti itu. Kegelisahan, keraguan terus ada dalam pikiran. Saya ceritakan kejadian ini pada kawan-kawan di hotel, tidak ada jawaban
memuaskan dan keraguan menggelayut dalam pikiran saya. Serasa bahwa Tuhan tidak
menerima ibadah yang saya lakukan.
Hal
paling penasaran adalah mengapa saya diberi peringatan oleh Allah seperti itu?
Saya berusaha menenangkan diri dengan mengingat sebuah kesimpulan dari Al-qur’an bahwa kasih sayang
Tuhan lebih besar dari murkanya. Dengan mengingat ini pikiran saya sedikit
tenang, namun kejadian itu sampai pulang ke tanah air terus menjadi tanda
tanya?
Rabu,
24 Juni 2015, (Ramadan hari ke tujuh), ketika shalat subuh di masjid, seorang
penceramah berbicara tentang takwa. Saya penasaran karena belum menemukan
definsi ajeg tentang takwa. Ketika seacrhing
di Al-Qur’an digital tentang takwa, saya membaca satu ayat ini.
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (Al-Baqarah:177).
Saat
membaca terjemah yang dicetak tebal di atas, saya teringat kejadian lima bulan
ke belakang di depan Ka’bah. Inilah jawabannya!. Saya tafsir (hubungkan) kejadian lima bulan lalu di depan Ka’abah dengan
ayat ini. Pada kejadian lima bulan yang lalu rupanya Tuhan sedang mengajak
dialog. Ketika saya memaksakan sampai empat kali menghadapkan sajadah ke Multajam, dan empat kali Tuhan
membelokkannya. Kejadian ini memiliki arti bahwa apa yang saya lakukan adalah
salah. Menghadap-hadapkan wajah ketika shalat ke Multajam dengan tujuan supaya doa
dikabul, bukanlah suatu kebajikan yang diperintahkan. Suatu kebajikan sudah
jelas diperintahkan sebagai mana tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 177.
Tuhan
tidak menyukai sikap berlebihan, mengada-adakan
dalam hal keyakinan. Mungkin saya terlalu berlebihan mengimani hadis tentang
Multajam dan saya termasuk kategori yang telah menjadikan Multajam sebagai
berhala.
Menghadap
wajah ke Multajam bukanlah suatu penyebab dikabulkannya doa. Menghadapkan wajah
ke Multajam bukanlah sebab turunnya rohman dan rohimnya Tuhan. Penyebab
turunnya rohman dan rohimnya Tuhan adalah bila kita melaksanakan
kebajikan-kebajikan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Lalu
bagaimana dengan mereka yang berebut berdesak-desakkan, membayar calo, demi mencium hajar aswad? Sungguh jika kita mengaitkan
dengan surat Al-Baqarah ayat 177, hal seperti itu bukanlah termasuk kebajikan
yang diperintahkan. Memaksakan mencium Hajaraswad adalah sikap berlebihan dan bisa dianggap
sebuah pemberhalaan terhadap benda yang
tidak diharapkan oleh Tuhan. Semoga Allah mengampuni kita semua. Amin.
No comments:
Post a Comment