Sekalipun tidak mungkin hilang
dalam struktur masyarakat, kemiskinan selalu menjadi hantu yang ditakuti.
Setiap tahun pemerintah tidak pernah absen untuk mengumumkan angka penurunan kemiskinan.
Naik turunnya angka kemiskinan, menjadi indikator keberhasilan pemerintah dalam
melaksanakan tugas kepemerintahan.
Masyarakat menilai negatif
terhadap kemiskinan. Anggota keluarga berlomba-lomba mengumpulkan harta benda, mengembangkan
usaha, mempersiapkan pendidikan sampai jenjang tertinggi, agar terhindar dari
kemiskinan. Suatu kesedihan mendalam jika melihat anak-anak keturunannya hidup
miskin. Tidak aneh, kekuasaan, bisnis, diatur agar tidak jatuh ke luar
keluarga, tujuannya agar kekayaan berputar dalam lingkaran keluarga.
Berbagai upaya diilakukan oleh
pemerintah untuk menghilangkan kemiskinan. Subsidi kesehatan, bahan bakar
minyak, makanan pokok, pendidikan, dikeluarkan ratusan triliun dari anggaran
belanja negara. Kehidupan negara-negara kaya menjadi acuan gaya hidup negara
sejahtera. Sepertinya semua sepakat, kemiskinan berakibat buruk bagi kehidupan
dan kesejahteraan berakibat baik untuk kehidupan.
Rasa takut berlebihan terhadap
kemiskinan telah menimbulkan paranoid, apapun dilakukan untuk tidak miskin.
Semua dihalalkan demi tidak miskin, dan kekerasan-demi kekerasan selalu
dialamatkan dengan kemiskinan.
Bersumber dari sebuah survey
global yang dilakukan World Values Survey, ternyata dibalik kemiskinan ada
spiritualitas. Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2009), yang pernah melakukan
survey di 80 masyarakat dunia, menemukan fenomena bahwa sekularitas tidak
benar-benar mematikan agama. Orang-orang Eropa yang berbudaya sekuler masih
mengungkapkan keyakinan formal kepada Tuhan, dengan mengidentifikasi diri
mereka sebagai Katolik atau Protestan. Namun pengaruh kuat agama terhadap
kehidupan sehari-hari, perlahan terkikis.
Lebih dari setengah populasi
dalam masyarakat agraris berdoa secara reguler, dibandingkan dengan hanya
sepertiga dari mereka yang hidup di negara-negara industri, dan hanya
seperempat dari mereka yang hidup dalam
masyarakat pasca-industri. Ukuran di atas memperlihatkan bahwa pastisifasi
keagamaan dua kali lebih kuat dalam masyarakat yang lebih miskin di banding
masyarakat kaya.
Kesimpulan di atas berkaitan dengan
pendapat Ibn Khaldun dalam bukunya Mukaddimah, pengaruh kemakmuran terhadap
tubuh dan kondisi-kondisinya juga berpengaruh terhadap keagamaan dan ibadah. Ibn
Khaldun membandingkan orang-orang yang terbiasa hidup keras dari kalangan
masyarakat pedalaman maupun perkotaan di mana mereka telah terbiasa dengan
lapar dan jauh dari kelezatan dunia memiliki keagamaan yang lebih baik dan
lebih giat beribadah dari pada masyarakat yang
terbiasa dengan kemakmuran dan kemewahan. Sementara mereka yang biasa
hidup nyaman berkecukupan tergolong kepada orang-orang yang tumpul otaknya.
Spiritualitas lebih dekat
dengan kemiskinan. Untuk kita paham mengapa para sufi lebih rela hidup apa
adanya dalam kemiskinan, karena kemakmuran dapat menjauhkan diri dari Tuhan. Demikian
juga sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw, mereka merelakan seluruh hartanya untuk
kepentingan umat, dari pada menahan-nahannya untuk kepentingan pribadi.
Hasil survey yang dilakukan
oleh Norris dan Inglehart memberikan penjelasan logis tentang makna sebuah ajaran
agama. Hasil survey tersebut menjelaskan bahwa ajaran zakat, sedekah, infak,
wakaf, dan hibah adalah ajaran-ajaran agama yang berfungsi menjaga kesadaran
atau ketergantungan (spiritualitas) manusia terhadap Tuhan. Ajaran-ajaran di atas
prinsipnya menjadi pembentuk prilaku manusia agar tetap berada dalam kondisi kekurangan
(miskin). Karena dengan taat pada ajaran-ajaran Tuhan di atas, akan tercipta kondisi
(miskin) di mana manusia tetap tergantung pada Tuhan. Secara horizontal ajaran
itu akan menjaga kelestarian hubungan sosial antar sesama manusia.
Hilangnya kesadaran atau
ketergantungan manusia terhadap Tuhan akan berdampak pada krisis
multidimensional. Manusia tidak bisa menemukan kebenaran tanpa bantuan
pengetahuan dari Tuhan. Untuk itulah dari generasi ke generasi Tuhan mengutus
seorang Rasul, sebagai media untuk menyampaikan berbagai pengetahuan dari Tuhan
agar manusia menuju pada kehidupan sejahtera. Maka dari itu, Tuhan mengutus
Rasul dan menurunkan kitab suci untuk setiap generasi. Sepeninggal Rasul-Rasul
terdahulu, kita sangat kesulitan untuk mengidentifikasi keotentikan isi kitab
suci yang pernah diterimanya, apakah masih otentik dari Tuhan atau sudah ada
campur tangan manusia. Kesulitannya adalah karena jarak antara generasi Rasul
terdahulu dengan zaman sekarang sudah begitu jauh. Bukti-bukti kerasulan pun
sangat terbatas ditemukan, dan menjadi mozaik rumit untuk disusun kembali.
Generasi terdekat dari abad
sekarang dengan Rasul adalah dengan Rasulullah Muhammad saw. yang hidup di abad
7 Masehi. Dikarenakan jaraknya paling dekat dengan generasi sekarang, kitab
suci yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw masih teruji keotentikannya
sebagai firman Tuhan. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sejarah kerasulan Nabi
Muhammad saw, yang masih bisa ditemukan dan terdeteksi hingga zaman sekarang.
Dalam sejarah pun para Khalifah (sahabat dekat Nabi), memiliki catatan sejarah cemerlang
dalam usaha pengumpulan dan pencatatan kitab suci Al-Qur’an secara terencana. Pengumpulan
kitab suci dilakukan oleh orang-orang terpercaya dengan kualitas kejujuran teruji.
Melihat proses sejarah seperti itu, keotentikan kitab suci Al-Qur’an masih bisa
dipertanggungjawabkan hingga sekarang. Secara substansi pun, kitab suci Al-Qur’an
menunjukkan sebagai kitab suci dari Tuhan, karena mengandung banyak
keajaiban-keajaiban logis, empiris, tapi diluar kemampuan nalar manusia.
Penolakan terhadap kebenaran pengetahuan
yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an adalah bentuk ketumpulan otak manusia
dalam memahami informasi yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Harta
kekayaan adalah faktor penyebab tumpulnya otak manusia dalam memahami kebenaran
dan lepasnya keyakinan terhadap Tuhan. Untuk itulah hasil riset Norris dan
Inglehart adalah sebuah penegasan bahwa manusia tidak bisa hidup damai dan sejahtera
tanpa bantuan pengetahuan (firman) dari Tuhan. Semakin jauh dari Tuhan, manusia
akan cenderung destruktif, menuju pada kebinasaan dan kemudian Tuhan akan menciptakan
generasi lainnya. Wallahu ‘alam.
No comments:
Post a Comment