Islam meninggikan derajat kaum perempuan tiga kali lipat
dari pada kaum laki-laki. Di atas kepemimpinan laki-lakilah kedudukan perempuan
harus di posisikan paling tinggi dan terhormat.
Kita setuju, kaum perempuan harus memiliki kesempatan
mengembangkan bakat dan potensinya sebagaimana halnya kaum laki-laki. Mitos
perempuan hanya bisa masak, cuci, dan urus anak di rumah, terlalu berlebihan
dan mendeskreditkan kaum perempuan.
Kita hargai perjuangan Kartini, dan Dewi Sartika yang ingin
meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan melalui pendidikan. Faktanya,
kaum perempuanlah yang harus cerdas di banding laki-laki. Perempuan adalah
madrasah pertama untuk anak-anak penerus bangsa. Maka logis, dari perempuan
tidak cerdas akan lahir generasi-generasi lemah. Sangat logis juga jika ajaran
agama mengatakan bahwa penghormatan tiga kali lipat harus diberikan kepada kaum
perempuan.
Namun apa perlu kita pikirkan kembali? Fakta ada gejala kaum
perempuan bukan sedang dicerdaskan dan ditinggikan derajatnya, tapi telah
dimanfaatkan. Isu gender telah disalahgunakan untuk mengekploitasi kaum
perempuan sebagai mesin pencetak uang bagi para kaum kapitalis. Fakta ini bisa
kita saksikan, pabrik-pabrik stereotif merengkrut tenaga kerja perempuan secara
besar-besaran. Berkembang opini sesat bahwa kaum perempuan bekerja lebih
teliti, mudah diatur, dan tidak banyak tuntutan seperti kaum laki-laki.
Sepintas lalu, rekruitmen besar-besaran tenaga kerja
perempuan tidak bermasalah jika melihat data statistik pengangguran. Atas nama
indek daya beli, kepala daerah mana yang tidak tergiur dengan munculnya
pabrik-pabrik baru di wilayah mereka. Sawah-sawah produktif mulai terancam
untuk dialih fungsikan menjadi pabrik-pabrik. Masalah lingkungan, ancaman
kekurangan pangan, gimana nanti, yang logis di depan mata adalah indek daya
beli meningkat dan IPM naik.
Tapi, apakah mereka pernah berpikir kritis bahwa rekuitmen
besar-besaran tenaga kerja perempuan dapat berdampak pada perubahan sosiologi
masyarakat. Perempuan-perempuan itu berangkat kerja pagi pulang menjelang
magrib. Di depan gerbang, kaum laki-laki menunggu, menjemput istrinya pulang
kerja. Apakah kita tahu, kaum laki-laki itu mulai kehilangan lahan pekerjaan
dan terpaksa menjadi pekerja dirumah tangga.
Oleh: Muhammad Plato
Jika kaum perempuan sebagai madrasah pertama bagi
anak-anaknya, apakah mereka mendidik anaknya secara inten, padahal kita tahu
mereka bekerja hampir seharian. Bisakah kita mengubah kodrat laki-laki menjadi
berjiwa ibu-ibu yang telaten mengurus dan merawat anak?
Apakah kita sadar, kodrat ibu tetaplah ibu, sekalipun telah
bekerja seharian di luar rumah, naluri ibu akan kembali pada kodratnya merawat
anak, dan mengurus rumah tangga. Akibat kodrat inilah penelitian di Amerika
Serikat membuktikan, bahwa kaum perempuan yang bekerja di luar rumah, bekerja
dua kali lipat lebih lama dibanding kaum laki-laki (Elison:2011). Apakah ini
bukan ekploitasi kerja atas nama gender?
Tahukah kita, para tenaga kerja di luar negeri yang kebanyakannya perempuan berinteraksi dalam jangka waktu lama tanpa lawan jenis, mereka berkumpul di penampungan sesama jenis, bekerja, dan liburan sesama jenis. Kondisi ini telah menimbulkan efek negatif terhadap psikologi kaum perempuan, yang mulai tertular penyakit lesbi, menyukai sesama jenis.
Sebuah surat kabar nasional memberitakan, bahwa di suatu daerah
kekerasan di rumah tangga mengalami peningkatan. Salah satu alasan adalah
kondisi laki-laki yang mulai sulit mencari pekerjaan. Masuk akal jika
percekcokkan akan timbul dalam kehidupan keluarga, karena perubahan peran kaum
laki-laki menjadi bapak rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan.
Apakah kita tahu, para iluminati (kelompok penyembah setan),
membajak isu persamaan gender menjadi penghapusan gender? Mereka menginginkan pria berpenampakkan
fisik wanita. Dengan gender netral, masyarakat menjadi jinak dan mudah diatur
untuk keuntungan mereka. Secara statistik, di Amerika Serikat laki-laki dan
perempuan yang tidak menikah semakin meningkat jumlahnya. Ini artinya manusia
akan mengalami defisit generasi penerus.
Henry Makow (2013) seorang ahli teori konspirasi
mengemukakan bahwa rekayasa sosial ini mereka susupkan dalam pendidikan,
politik, dan bisnis. Anak-anak di sekolah sejak dini, sedikit demi sedikit diajarkan
untuk tidak kenal bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan. Dalam dunia
politik mulai dibuat regulasi untuk mendongkrak keikutsertaaan kaum perempuan
dalam kancah politik. Dan dalam dunia bisnis, mulai muncul kebijakan rekruitmen
tenaga kerja hanya untuk kaum perempuan dengan alasan teknis yang semua orang secara
logis bisa menerimanya.
Tetapi apakah kita berpikir apa dampak bagi keluarga bila
kaum perempuan habis separuh waktunya untuk bekerja di pabrik. Siapa yang urus
pendidikan anak-anak dan melayani suaminya. Solusinya memang selalu ada, bisa
mengangkat pengasuh, sekolah fullday, atau diurus suami yang harus dipaksa
menjadi keibuan.
Namun apakah kita akan tutup mata, jika menurut Elison,
hasil riset anak-anak yang diurus oleh ibu biologisnya dengan penuh kehangatan
dia dapat tumbuh menjadi manusia cerdas, sehat dan lebih tahan terhadap stres?
Apakah kita yakin bahwa gejala tawuran yang terjadi pada anak-anak sekolah
adalah mereka yang telah dirawat oleh ibunya dengan penuh kehangantan? Apakah
semua orang tahu, bahwa kualitas kehidupan di rumah merupakan faktor penentu
mendasar terhadap kesehatan fisik dan mental anak? Jangan-jangan
kita telah terlalu jauh mengapresiasi tentang isu persamaan gender ini.
Jangan-jangan benar apa kata Henry Makow bahwa kita telah dikondisikan oleh
para iluminati untuk tidak percaya kepada Tuhan, yang telah menciptakan
laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodrat-kodratnya dengan penuh keseimbangan.
Sasaran para iluminati adalah hancurkan kehidupan keluarga, dan usir kaum
perempuan dari lingkungan rumahnya. Wallahu ‘alam.
Salam sukses dengan logika Tuhan. Follow me @logika_Tuhan
No comments:
Post a Comment